Ironi Sekolah Online oleh Agus Widiyanto, Jurnalis SMP Muhammadiyah 3 Waru Sidoarjo.Tulisan ini Juara Harapan II Lomba Penulisan Opini 5 Tahun Milad PWMU.CO.
PWMU.CO-Tanggal 16 Maret 2020, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) alias sekolah online. Kelas tatap muka di sekolah ditutup. Belajar dari rumah dimulai. Bagi siswa, pengumuman itu jadi berita yang menggembirakan. Mendapatkan jatah tambahan waktu libur. Tapi ini hanya di awal- awal saja. Satu semester berlalu, mereka mulai bosan. Banyak ironi mulai muncul.
PJJ menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Salah satu penyebabnya adalah pemakaian gawai. Pemakaian gawai untuk murid yang semula diketati, kini bebas. Sebab PJJ tidak bisa dipisahkan dari gawai.
Satu tahun telah berlalu, dinamika praktik PJJ membawa perubahan bagi siswa dan guru. PJJ menuntut siswa kreatif mencari sumber informasi di internet. Begitu banyaknya informasi yang ditawarkan di internet memberikan siswa banyak pilihan.
Selama PJJ siswa bisa diklasifikasikan menjadi tiga tipe. Pertama, siswa kreatif. Tipe ini siswa mencari banyak sumber untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, siswa yang serius namun tidak memiliki skills yang cukup tentang internet. Siswa ini kebingungan menemukan data yang diinginkan.
Ketiga, siswa malas. Tipe yang ini hanya mengakses pranala yang dianggap lebih menarik tanpa memperhatikan isinya. Asal comot saja.
Masa PJJ yang tidak jelas akhirnya membuat siswa mengalami kondisi kejenuhan yang memuncak. Kesulitan pemenuhan kebutuhan data internet di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit juga memberikan andil ketidakefektifan pemberlakukan PJJ.
Fakta Sekolah Online
Kebiasaan pembelajaran tatap muka tidak gampang mengubah mindset secara instan untuk sekolah online. Apalagi pada aspek pendidikan karakter. Sangat susah membentuk karakter siswa lewat pembelajaran online. Belum lagi kendala sinyal internet yang menghambat proses belajar mengajar. Tidak semua siswa mempunyai kemampuan yang sama membiayai fasilitas PJJ.
Selama tiga hari (5-8 Agustus 2020) Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengadakan survei fakta terkait pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi Covid-19. Survei yang diikuti oleh responden dengan rentang usia 17 tahun ke atas. Usia siswa SMA hingga mahasiswa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 persen mengaku masih bersekolah atau kuliah.
Dari 87 persen dari jumlah responden tersebut mengatakan melakukan pembelajaran online, sedangkan yang tidak belajar berjumlah 13 persen. Dari responden yang belajar online, 92 persen siswa mengalami masalah serius dalam pembelajaran daring selama pandemi.
Jika siswa/mahasiswa pada rentan usia 17 tahun ke atas masih menyisakan masalah yang begitu banyak, lalu bagaimana dengan siswa yang berada di bawah usia 17 tahun. Siswa pada level ini akan ditemukan masalah yang lebih besar.
Sebuah ironi, ketatnya regulasi dunia pendidikan tidak sebanding dengan regulasi di bidang yang lain. Sekolah masih dilarang, sementara warkop semakin ramai didatangi siswa. Mal dan supermarket juga boleh buka. Bahkan tempat rekreasi mulai ramai.
Siswa dan mahasiswa tetap sekolah dari rumah. Interaksi antar pendidik dan siswa sebatas lewat layar gawai atau laptop. Padahal tujuan utama dari proses pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut selalu berinteraksi dengan sesama.
Mungkinkah pembelajaran hanya dilakukan lewat dunia maya selama pandemi? Hemat saya, sebaik apa pun metode pembelajaran yang digunakan guru dalam PJJ tidak akan berjalan efektif. Banyak keterbatasan yang dihadapi guru. Salah satunya tatap muka.
Secara fisik tidak bertatap muka secara langsung dengan siswa akan sulit untuk melakukan afirmasi maupun penguatan materi yang disampaikan. Apalagi saat siswa enggan membuka video saat pembelajaran live teaching.
Kelas online menjadi ruang kosong. Guru seperti sedang berbicara sendiri, disebabkan kurangnya respon dari siswa. Dalam keadaan seperti ini ruh mengajar tidak akan bisa muncul. Ikatan emosional antara guru dan siswa pun nihil. Akibatnya, belajar hanya sekadar memenuhi absensi saja. Setelah absen, guru tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh siswanya.
Jangan Cuma Berwacana
Pemerintah harus segera mengembalikan fitrah dunia pendidikan. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan adalah wadah yang tepat untuk pembinaan karakter siswa. Pendidikan karakter tidak bisa dihadirkan dengan model pendidikan jarak jauh.
Kalau fasilitas umum sudah boleh beroperasi seperti warkop buka sampai malam, mal sudah diizinkan membuka stan pameran, hotel boleh menerima pesta, tempat-tempat hiburan juga ramai pengunjung, mengapa dunia pendidikan masih dikungkung?
Siswa dilarang ke sekolah. Padahal mereka berkeliaran ke tempat lain untuk refreshing dari kejenuhan atau cari sinyal yang kuat. Tentu, ini lebih berbahaya, karena kegiatan mereka di luar tanpa pengawasan. Andai saja mereka bersekolah aktivitasnya masih diawasi guru.
Jika berbicara masa depan bangsa, mengapa para pemimpin tidak tanggap untuk mengambil sikap terhadap ironi ini? Keputusan sangat ditunggu untuk menyelamatkan generasi milenial bangsa ini. Stagnasi dan pendangkalan ilmu pengetahuan terjadi begitu masif di berbagai lini kehidupan selama wabah. Bukankah itu lebih berbahaya daripada virus corona?
Pandemi Covid-19 sudah berjalan satu tahun. Kita tidak tahu kapan virus ini akan berakhir. Menunggu pembelajaran tatap muka sampai virus corona hilang adalah keputusan yang konyol. Langkah ini membahayakan masa depan bangsa.
Pembukaan UUD 45 memberikan amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka harus ada langkah cerdas, sistematis, dan berkesinambungan untuk merumuskan model pembelajaran di era baru ini. Pendidikan tatap muka sebuah kebutuhan untuk mendapat hasil maksimal.
Membentuk karakter siswa tak patut andalkan dunia maya. Harus dijalankan di dunia nyata. Proses yang terbangun lewat interaksi fisik antara guru dan murid di lingkungan pendidikan. Semoga wacana pemberlakuan pembelajaran tatap muka di awal bulan Juli 2021 bisa menjadi kenyataan. Keseriusan pemerintah dinantikan. Bukan sekadar berwacana hingga menjadi ironi. (*)
Editor Sugeng Purwanto