Tanah, Jabatan dan Kehormatan: Muhammadiyah ”Ordonantie” oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Saya termasuk orang yang paling bersukur ketika banyak kader-kader terbaik menempati posisi politik pada jabatan publik.
Saya bangga ketika tahu bahwa Soekarno adalah kader mbethik dan santri nginthil Kiai Ahmad Dahlan. Ibu Fatmawati adalah aktivis Aisyiyah, putri tercinta Ustadz Hasan Din, konsul Muhammadiyah Bengkulu. Senang ketika Bu Mega dan Puan masih ada DNA Muhammadiyah. Bersuka cita pula ternyata Soeharto mengaku anak bibit Muhammadiyah yang disemaikan di tanah bumi pertiwi.
Jenderal Besar Soedirman Bapak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang bertubuh ringkih itu adalah aktivis kepanduan Hizbul Wathan dan guru sekolah rakyat Muhammadiyah Ambarawa. Puluhan kader lainnya juga sama dengan berbagai peran dan fungsinya. Sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan.
Teringat pesan Kiai Dahlan kepada generasi penerus Muhammadiyah. ”Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (profesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.”
Kader-kader terbaik ini pernah tidak diakui dan diragukan kemuhammadiyahannya. Kesaksiannnya ditampik, keanggotaannya terancam di copot, sebab dinamika di luaran begitu cepat dan massif. Soekarno pernah memohon-mohon agar tidak dipecat keanggotaanya dalam pidatonya di Istora Senayan, 23 November 1962. Sebagian dikucilkan dan mendapat ’perlakuan buruk’ dari sesama kader.
Soekarno dengan Buya Hamka sesama kader terbaik juga pernah musuhan karena perbedaan pandangan dalam berpolitik. Ada yang memihak Buya Hamka. Tak sedikit pula yang memihak Soekarno. Tapi keduanya tetap baikan. Soekarno menulis pilu tentang ’makin lama makin tjinta’ dan berwasiat agar saat mati dikibarkan panji-panji Muhammadiyah. Sebuah wasiat yang saya saja tak pernah mikir.
Lalu saya siapa? Telah melakukan apa untuk agama dan persyarikatan yang saya banggakan ini? Sehingga saya harus menghakimi sesama kader hanya karena kebetulan mengambil jalan berbeda.
Federasi Pemikiran
Prof Din Syamsuddin dengan tegas menyebut bahwa Muhammadiyah adalah federasi pemikiran, federasi gagasan, ide dan gerakan amal. Berarti setiap kita yang ada di dalamnya berhak menggagas, mengonsep dan bergerak sesuai kemampuan masing-masing tanpa intimidasi, sebab punya hak yang sama tanpa kecuali.
Termasuk kader-kader hebat semisal: Soekarno, Soeharto, Soedirman, Djuanda, Buya Syafi’i, Prof Malik Fadjar, Prof Muhadjir, Prof Amien Rais, Bang Dahnil, hingga Cak Nanto. Mereka berdiaspora sebagai kader-kader militan terbaik. Mereka semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dan layak mendapat apresiasi dengan adil tanpa diskriminasi.
Kader-kader yang berkarier di persarikatan menempati posisi dari Ketua Ranting level paling rendah seperti halnya saya hingga top level Ketua Pimpinan Pusat dan yang berkarier di amal usaha Muhammadiyah atau yang berada di luar persarikatan mempunyai kedudukan yang sama, bertujuan sama dengan manhaj dan ideologi yang juga sama. Jadi tak perlu saling meragukan apalagi merasa paling kader.
Ada yang mencoba membenturkan Muhammadiyah dengan rezim meski melawan fitrah. Nahy munkar tak harus disikapi musuhan dan melawan mapan. Bukankah Kiai Hisyam juga mengambil subsidi dari pemerintah kompeni dan mendapat penghargaan Rider Order van Orange Nassau.
Ki Bagus Hadikusumo diundang ke Jepang bertemu Kaisar, tak perlu dibilang menjilat. Ki Bagus juga setuju menghapus tujuh kata dalam sila pertama Pancasila tak harus dibilang mengalah pada kaum nasionalis sekuler.
Para ulama dan kader-kader terbaik telah berpikir bijak dan arif untuk kebesaran dan marwah persyarikatan. Pun Soekarno dan Soeharto punya ijtihadnya sendiri untuk membesarkan dan manjaga marwah Persyarikatan.
Seakan pelajaran tentang manhaj Muhammadiyah belum selesai diajarkan, sehingga selalu ribut pada soal-soal yang sama berulang-ulang. Ribut soal relasi Muhammadiyah dan negara dengan berbagai turunannya. Ribut soal komunikasi dengan partai politik. Ribut soal dana bantuan negara. Terakhir ribut lagi soal pengelolaan tanah negara kepada Pemuda Muhammadiyah. Seakan belum paham bagaimana ber-Muhammadiyah itu. (*)
Editor Sugeng Purwanto