PWMU.CO– Nishfu Sya’ban atau pertengahan bulan Sya’ban bagi sebagian masyarakat dianggap hari istimewa. Saat memasuki Nishfu Sya’ban usai shalat Maghrib diadakan baca surat Yaasiin disertai membawa air untuk mendapat berkah doa.
Postingan soal Nishfu Sya’ban pun ramai di media sosial. Pengasuh Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Pare HM Faried Ma’ruf (75) yang paham hadits menjelaskan masalah ini kepada anak asuhnya, Senin (29/3/2021). Panti asuhan ini terletak di Jl Mas TRIP Kampung Pandean, Pare, Kab. Kediri.
Faried Ma’ruf yang pendekar Tapak Suci Kediri menjelaskan, kepercayaan keistimewaan Nishfu Sya’ban berdasarkan hadits dha’if (lemah) atau maudhu’ (palsu).
Dia memberikan contoh amalan itu seperti kirim doa untuk kerabat yang telah meninggal dunia dengan Yasinan atau tahlilan. Dikenal juga dengan Ruwahan.
”Ruwah sebutan bulan Sya’ban bagi orang Jawa. Berasal dari kata arwah, sehingga bulan Sya’ban identik dengan kematian. Makanya sering di beberapa daerah masih laris tradisi kirim doa, yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban. Padahal Nabi saw dan para sahabat tidak pernah mencontohkan,” kata Faried Ma’ruf yang lulusan Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta..
Amalan lain misalnya, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan khataman al-Quran, shalat dan doa.
Hadits Sanad Terputus
Menurut dia, malam Nishfu Sya’ban ada beberapa kritikan di dalamnya, di antaranya, pertama, tidak ada satu dalil pun yang sahih menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Dia merujuk Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, tidak ada satu dalil pun yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha negeri Syam. (Lathoif Al Ma’arif, 248). Juga yang mengatakan seperti itu adalah Abul Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi.
Contoh hadits dhaif yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban yaitu hadits Abu Musa Al Asy’ari. Ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya. (HR Ibnu Majah no. 1390).
Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, hadits ini munqothi’, terputus sanadnya. Berarti hadits tersebut dhaif atau lemah.
Kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
Janganlah mengkhususkan malam Jumat dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jumat dari hari lainnya untuk berpuasa. (HR Muslim no. 1144).
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jumat lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jumat lebih utama daripada malam-malam lainnya.
Hari Jumat adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jumat. (HR Muslim).
Tatkala Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jumat dari malam lainnya dengan shalat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak dikhususkan dengan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada dalil yang mendukungnya. (At Tahdzir Minal Bida’, 28).
Pendapat Ulama
Ketiga, malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam lainnya. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya.
Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan,”Siapa saja yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau siapa saja yang biasa berpuasa pada ayyamul biidh (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).”
Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115)
Keempat, dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hambaNya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban.
Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, keutamaan malam Nishfu Sya’ban sebenarnya sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas dia pun memberi jawaban, ”Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban? Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Faried Ma’ruf menambahkan, Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, ”Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang sahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).
Ziara Kubur
Faried Ma’ruf juga membahas tradisi menjelang Ramadhan seperti ziarah kubur. Yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat. Dikenal juga sebagai tradisi nyadran.
Menurut dia, ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
Lakukanlah ziarah kubur karena itu mengingatkan kalian pada akhirat (kematian). (HR. Muslim no. 976).
”Jadi yang masalah adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam,” tuturnya.
Mandi Keramas
Begitu juga keyakinan menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar, padusan, atau keramasan. Amalan seperti ini, sambung dia, juga tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
”Puasa tetap sah walau tidak keramasan, atau padusan ke tempat pemandian atau pantai seperti ke Parangtritis, mandi di Sedudo Nganjuk, Sendang Tirto Kamandanu Desa Menang Kec. Pagu Kab. Kediri,” tuturnya.
Diterangkan, mandi besar itu ada jika ada sebab yang menuntut untuk mandi seperti junub maka mandi wajib (mandi junub). Lebih parahnya lagi mandi semacam ini yang dikenal dengan padusan, ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilath) dalam satu tempat pemandian.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat amalan yang tidak ada tuntunannya. Karena (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat. (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih).
Ikuti Sunnah Nabi
Dikatakan, orang yang beramal sesuai tuntunan Rasulullah akan merasakan nikmat telaganya kelak. Sedangkan orang yang mengamalkan ajaran tanpa tuntunan, terhalang dari meminum dari telaga yang penuh kenikmatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, Wahai Rabbku, ini adalah umatku. Lalu Allah berfirman, Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu. (HR Bukhari no. 7049).
Umar bin Abdul Aziz berkata,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Siapa saja yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. (Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ibnu Taimiyah)
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto