Nasib Agama dalam Politik Kekuasaan oleh Tony Rosyid, pengamat politik dan pemerhati bangsa.
PWMU.CO-Seringkali kita dengar kalimat ”Islam disudutkan”. Di Eropa, masyarakat Kristen juga merasa bahwa Kristen dipinggirkan. Terutama di Prancis yang sejak tahun 1905 secara ekstrem memisahkan negara dari gereja. Bergantung agama apa yang berhadapan dengan kekuasaan, seringkali merasa disudutkan dan dipinggirkan.
Secara umum, bagi kekuasaan, agama tidak begitu penting kecuali sebagai alat legitimasi dan pemberi dukungan sosial. Agama apapun, kalau memberikan dukungan sosial (social capital), didekati, diajak kerja sama dan dimanfaatkan.
Memang, nasib agama Islam di Timur Tengah dan Kristen di Eropa di masa lampau, serta Yahudi di Israel dan Islam di Arab Saudi saat ini, memiliki situasi di mana agama dan kekuasaan tidak saja harmonis, tapi menyatu. Keduanya bisa berbagi bersama karena saling membutuhkan dan saling melegitimasi.
Namun, hubungan kekuasaan dan agama tak selalu akur. Bahkan seringkali memakan korban di sepanjang sejarah. Penindasan kekuasaan terhadap umat beragama (atau kelompok keagamaan) dan pemberontakan atas nama agama terhadap kekuasaan sering terjadi.
Intinya, kekuasaan rukun dengan umat beragama jika agama itu dibutuhkan. Tapi ketika agama jadi ancaman, cerita akan terlihat sebaliknya.
Era pemilihan umum di banyak negara, agama sering menjadi bagian dari isu penting. Bergantung kecenderungan pemilih. Kalau pemilihnya punya fanatisme terhadap agama tertentu, maka para tokohnya direkrut dan dilibatkan sebagai vote getter. Narasi agama muncul menjadi penguat legitimasi. Semata-mata untuk mencari dukungan suara.
Hal ini terjadi di Indonesia. Musim Pemilu, ulama, kiai, ustadz, pendeta, dan tokoh-tokoh agama laris dan banjir proyek. Kontrak kampanye bertebaran. Selesai kampanye, the end.
Sebaliknya, jika di negara di mana pemilihnya anti agama, maka isu agama dijadikan sebagai common enemy. Musuh bersama. Bukan karena calon penguasa tidak suka dan benci terhadap agama tertentu. Tidak! Tapi lebih pada upaya mendapatkan simpati dan dukungan pemilih yang fobi terhadap agama itu. Only that.
Jualan Agama
Di Amerika, Australia, Prancis, dan beberapa negara Eropa lainnya, kampanye anti Islam seringkali muncul saat Pemilu. Bukan karena calon presiden atau perdana menteri gak suka sama Islam. Tapi ini semua dilakukan untuk mengambil suara dari kantong pemilih yang anti dan fobi terhadap Islam.
Setelah jadi presiden, mereka tidak benar-benar memusuhi Islam. Meski terkadang memang ada yang benci terhadap Islam. Ini cenderung sebagai oknum dan lebih bersifat kasuistik. Tidak bisa digeneralisir. Sebab dalam politik, kepentingan umumnya menetralisir hal-hal yang berkaitan dengan perasaan personal, termasuk rasa suka dan kebencian. Banyak orang mati rasa ketika jadi pemimpin.
Sebaliknya, di Indonesia, capres-cawapres, para caleg dan calon kepala daerah, justru menggunakan narasi agama, bahkan melibatkan para agamawan, terutama ulama dan ustadz sebagai juru kampanye. Bukan karena mereka religius. Bukan lantaran mereka taat beragama lalu mengusung isu agama, tidak! Kampanye pakai peci, tapi gak shalat. Mengutip Alkitab, tapi gak pernah ke gereja. Ini hal biasa. Itu nasib agama dalam politik.
Dan faktanya, saat menjabat, nyaris tak ada kepentingan agama, ulama dan umat yang diperjuangkan. Para politisi secara umum hanya memanfaatkan fanatisme keagamaan pemilih untuk meraih dukungan. Mungkin mengecualikan PKS, karena mendedikasikan sebagai partai dakwah. Melekat agama dalam perjuangannya. Sampai hari ini, tampaknya masih konsisten.
Dalam proses kekuasaan, kalau agama itu resisten dan jadi ancaman bagi kekuasaan, ya disikat. Disingkirkan. Setidaknya dipinggirkan. Entah dengan cara dipreteli legilltimasinya, dikurangi perannya, dibubarkan ormasnya, dikriminalisasi dan diteroriskan tokoh-tokohnya, atau diadu domba hingga dengan sendirinya porak-poranda.
Ini bukan karena penguasa benci dan tidak suka pada agama. Belum tentu juga. Ini lebih bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dimana penguasa merasa terancam oleh aksi kelompok keberagamaan tertentu.
Mampu Negosiasi
Dalam konteks ini, menjadi tantangan bagi umat beragama untuk selalu mengasah kemampuannya membangun komunikasi dan bernegosiasi dengan kekuasaan, beradaptasi, atau setidaknya jika ingin berpolitik, bahkan beroposisi.
Dibutuhkan kemampuan strategi yang mampu memenangkan agama dalam dialektikanya dengan kekuasaan. Sehingga agama akan selalu bisa eksis dalam dinamika kekuasaan yang terus bergilir dan berganti-ganti aktornya.
Di sini butuh kemampuan menerjemahkan formalitas, normalitas dan moralitas agama ke dalam konteks yang terus menuntut perubahan.
Simbol, atribut, dan ajaran normatif dalam agama sangat penting, namun mesti dikemas dalam bentuk aksi perjuangan yang tepat dan lebih taktis. Sebab, agama tanpa strategi perjuangan yang tepat pada faktanya telah mengambil banyak risiko bagi nasib pemeluk dan eksistensi masa depan agama itu sendiri.
Satu sisi, agama tidak boleh kehilangan prinsip dan nilai-nilai fundamentalnya, tapi di sisi lain, untuk eksis dan punya pengaruh, meniscayakan langkah-langkah operasional yang strategis.
Ekspresi keberagamaan rentan untuk berhadap-hadapan, bahkan bermusuhan dengan kekuasaan. Di sinilah umat beragama seringkali mengambil risiko ketika kekuasaan sudah mulai merasa terancam.
Relasi pro-kontra agama-kekuasaan dalam sejarah mesti mampu mematangkan umat beragama untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih strategis agar agama terus mampu mempertahankan eksistensinya dan punya ruang untuk menebarkan pengaruh sosialnya.
Jakarta, 2 April 2021
Editor Sugeng Purwanto