PWMU.CO– Faqih menjalani proses panjang untuk menguasai metode ketegangan waktu dan ruang. Karena perbedaan waktu nash dengan waktu kekinian. Jangan gegabah menuduh faqih sebagai orang-orang yang tidak paham agama karena kebencian dan perbedaan paham.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua PWM Jatim Dr Syamsudin dalam Kajian Ahad Pagi di kompleks Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Probolinggo, Ahad (4/4/2021).
Pernyataannya itu disampaikan karena melihat gejala ada orang yang baru paham agama berani mengkritik ulama faqih.
”Kita jangan gegabah menuduh orang-orang hebat (faqih) tersebut sebagai orang-orang yang tidak paham agama. Ada anak-anak baru 1-2 hari belajar agama lewat internet, sudah mengkritik dan menyalah-nyalahkan Mufti Agung Arab Saudi tidak paham agama,” katanya.
Dia menuturkan, setiap mempelajari ilmu itu ada urut-urutannya. Kalau kita mempelajarinya tanpa melewati urut-urutannya, tentu kita akan memperoleh kendala-kendala dalam memahaminya.
”Saya ingat ketika masih anak-anak, saya diajarkan menghafal amtsilatut tashrif (Gramatika Bahasa Arab), tidak disuruh menghafalkan al-Quran dan al Hadits terlebih dahulu,” paparnya.
Ternyata, kata dia, menghafalkannya adalah bagian dari anak tangga-anak tangga dalam rangka menekuni ilmu agama. Baru kemudian dikenalkan pelajaran tauhid, fiqih, ilmu perbandingan madzhab, ilmu pengantar al-Quran dan hadits dan sejenisnya.
”Dalam proses menjadi faqih, juga harus menguasai metode ketegangan waktu dan ruang. Karena perbedaan waktu nash dengan waktu kekinian,” tegasnya.
Waktu Shalat Subuh
Bahasan dalam Kajian Ahad Pagi ini adalah Tuntunan Ibadah di Bulan Ramadhan yang dirilis oleh PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu.
Salah satu yang disampaikan Ustadz Syamsuddin adalah waktu shalat Subuh yang mundur 8 menit. Ini keputusan Munas Tarjih yang diselenggarakan di Unmuh Gresik pada bulan November – Desember 2020. Keputusan tarjih ini sudah ditanfidz oleh PP Muhammadiyah pada tanggal 20 Maret 2021.
Menurut dia, wacana waktu Subuh ini sudah lama dikaji lebih dari 10 tahun yang lalu. Orang yang pertama kali memutuskan waktu Subuh untuk Indonesia posisi matahari -20 derajat di bawah ufuk adalah Sa’adoeddin Djambek atau Datuk Sampono Radjo.
Dia ahli falak dari Sumatera Barat. Dari situlah kemudian diadakan kajian-kajian literatur dan empirik. Ada sekitar 27 kitab ilmu falak yang dikaji dan hasilnya adalah awal waktu Subuh antara -17 derajat hingga -20 derajat di bawah ufuk. Patokan 1 derajat setara 4 menit.
”Dari 27 kitab tersebut hanya satu yang menyatakan awal waktu Subuh -20 derajat di bawah ufuk,” tandasnya.
Mengikat Warga Muhammadiyah
Dijelaskan, Muhammadiyah kemudian melakukan penelitian empirik terkait hal tersebut. Ada tiga lembaga astronomi di Universitas Muhammadiyah yang melakukan penelitian. Yaitu Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, UHAMKA Jakarta, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Sedangkan Muhammadiyah Jatim menyumbangkan ratusan foto, satu jam sebelum Subuh sampai muncul fajar shodiq. Foto-foto tersebut diambil oleh ahli falak dari Pasuruan, Drs Akh. Mukarram MHum dari Gunung Bromo.
Akhirnya diputuskan dalam Munas Tarjih bahwa Muhammadiyah memedomani awal waktu Subuh, yaitu -18 derajat di bawah ufuk. Setara dengan penambahan waktu awal Subuh saat ini ditambah 8 menit.
”Munas Tarjih ini adalah lembaga keagamaan tertinggi di Muhammadiyah. Maka hasilnya mengikat untuk menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah dengan prinsip Tarjih, yaitu toleran dan tidak demonstratif. Sehingga Putusan Majelis Tarjih ini tidak dalam kapasitas menghakimi, mengoreksi, ataupun menyalahkan putusan pihak lain sehingga tidak terjadi konflik,” tegasnya.
Begitu pula terkait adzan Subuh, tambahnya, tidak boleh mengumandangkan adzan mengikuti waktu lama dan iqomahnya mengikuti aturan +8 menit. Dalam ilmu fiqih, penanda masuknya shalat Subuh ya adzan Subuh tersebut. Sementara untuk waktu shalat yang lainnya, Tarjih Muhammadiyah menyatakan sudah pas waktunya, tidak ada perubahan.
Vaksinasi dan Swab saat Puasa
Terkait vaksinasi dan swab pada saat puasa, menurut Ustadz Syamsuddin, tidak menjadi masalah. Apakah injeksi pada vaksinasi itu di bawah jaringan kulit atau masuk ke dalam otot dan pembuluh darah, itu tidak membatalkan puasa.
”Vaksin itu bukanlah nutrisi melainkan obat, dan juga tidak termasuk dalam nash, yang menganggap vaksin itu sama seperti definisi makanan atau minuman,” tuturnya.
Demikian pula tes swab atau dikenal juga tes usap. Cara kerjanya adalah alat seperti cotton bud dimasukkan ke dalam rongga hidung atau mulut sampai pangkalnya. Kemudian diputar-putar guna memperoleh lendirnya dan dites dengan alat PCR. ”Selama cotton bud-nya tidak ditelan, ya tidak membatalkan puasa,” selorohnya disambut gelak tawa jamaah.
Shalat Tarawih dan Idul Fitri
Ustadz Syamsuddin mengatakan, pandemi Covid-19 ini terjadi secara global, sehingga kita diwajibkan secara bersama-sama melakukan cara bagaimana pandemi ini berakhir. Seperti menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan. Itu adalah bagian ikhtiar untuk segera terbebas dari pandemi covid-19.
”Dalam berikhtiar, kita juga tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan kontra produktif. Contoh, mudik dilarang tetapi sektor pariwisata dihidupkan, orang-orang di pasar banyak yang berkerumun dan tidak pakai masker, kita juga ikutan,” ujarnya.
Ustadz Syamsuddin menutup pengajian dengan penjelasan Surat Edaran PP Muhammadiyah terkait pelaksanaan shalat Tarawih dan Idul Fitri. ”Jika di lingkungan kita ini, tidak ada yang terpapar Covid-19, boleh melaksanakan shalat Tarawih dan shalat Id dengan tetap memperhatikan prosedur kesehatan Covid-19,” ujarnya.
”Hanya saja untuk kegiatan buka bersama, lebih baik dihindari dan dilaksanakan di rumah masing-masing bersama keluarga. Karena akan menimbulkan kerumunan yang berdesak-desakan. Jika di lingkungan kita, ada yang terpapar Covid-19, maka sebaiknya tidak diadakan dahulu kegiatan shalat Tarawih dan Idul Fitri,” jelasnya. (*)
Penulis Ahmad Qori’ Ulul Albab Editor Sugeng Purwanto