Megengan: Ziarah Kubur, Selamatan, dan Doktrin Syi’ah oleh H. Syamsudin, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO– Secara etimologi megengan, kata bahasa Jawa ini, artinya menahan. Sebagai pengingat telah dekatnya Ramadhan. Bulan di mana umat Islam diwajibkan berpuasa. Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan hikmah dan pahala ibadah puasa.
Secara terminologi, megengan adalah kreasi budaya menyambut datangnya bulan Ramadhan. Wujudnya ziarah ke makam leluhur dan sedekah atau selamatan yang dalam hidangannya ada kue apam.
Menurut sahibul hikayat, tujuan dari kreasi budaya megengan ini untuk membersihkan jiwa dari noda dan dosa. Tujuan luhur tersebut tersimpan di balik simbol-simbol budaya ziarah ke makam leluhur dan sedekah kue apam. Ziarah kubur merupakan simbol hubungan yang tidak terpisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Antara alam jasmani dan alam ruhani.
Sementara kue apam adalah simbol kesederhanaan. Bahannya murah, pembuatannya mudah. Berbagi kue apam ke tetangga adalah simbol keteguhan beragama. Meskipun hidup sederhana namun tetap bersedekah. Kue apam mengandung makna saling memaafkan. Nama itu dari bahasa Arab afwun. Artinya maaf.
Konon tradisi ini sudah ada sejak zaman awal dakwah Islam di Jawa. Dalam perkembangannya megengan dimanfaatkan sebagai media silaturahmi dan saling memaafkan sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Antara Jawa dan Syiah
Menurut Nur Syam, dosen UIN Sunan Ampel, tradisi megengan diduga diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Kendatipun belum ada bukti historisnya. Tetapi dugaan ini cukup berdasar. Pasalnya kreasi-kreasi yang menyangkut tradisi akulturasi antara Islam dan Jawa kerap berasal dari pemikiran Sunan Kalijaga.
Selamatan sudah menjadi tradisi di Jawa jauh sebelum agama Islam masuk ke nusantara. Dalam acara megengan dan selamatan kemudian diisi dengan doa Islam. Ini merupakan wujud akulturasi antara budaya Jawa dengan ajaran Islam,
Pandangan lain disampaikan Ali Ahmad al-Jurjawi. Menurut dia, semua perayaan Islam menjelang bulan Ramadhan erat hubungannya dengan budaya dinasti Fatimiyyah di Mesir. Bagi mereka Ramadhan adalah bulan yang sangat penting karena berhubungan dengan akidah pemeluk Syiah Ismailiyyah.
Ramadhan adalah bulan Imam (Ismail bin Ja’far ash-Shadiq), sehingga harus disambut dengan sambutan khas. Sepekan menjelang datangnya bulan Ramadhan, hakim agung keluar istana diiringi pengawal berkuda, keliling di seantero Kairo dan Fustat untuk mengecek kesiapan masjid-masjid menyambut bulan puasa. Terutama karpet dan penerangan.
Pada akhir Sya’ban yang disebut yaum ru’yah, khalifah keluar istana diiringi pasukan berkuda yang gagah. Keluarnya khalifah disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Karena dalam doktrin Syiah Ismailiyah, puasa Ramadhan baru dianggap sah setelah melihat wajah khalifah. Khalifah berjalan dari gerbang emas istana menuju gerbang an-Nasr. Lalu menuju pemakaman untuk ziarah kubur. Kuburan merupakan pusaran ibadat kaum Syiah.
Rakyat mengikutinya sampai khalifah kembali masuk istana. Masyarakat berkumpul di depan gerbang Istana menunggu pembagian aneka kue dan manisan. Mereka bersuka cita di tempat itu sampai datangnya saat makan sahur. Sepanjang Ramadhan, istana membagikan makanan untuk berbuka. Para pelayan membawa gayung besar dari keramik yang sebelumnya diwangikan di atas asap kayu gaharu. Semua orang yang berbuka terlebih dulu minum air dari gayung tersebut, (Ali al-Jurjani, I/155-156).
Ziarah Kubur dalam Konsep Islam
Ziarah kubur disyariatkan dalam agama Islam. Di dalamnya terkandung banyak pelajaran, di antaranya mengingat kematian dan hari akhirat. Namun dalam ziarah kubur terdapat syarat. Tidak boleh melakukan perbuatan yang dilarang agama. Dalam hadis riwayat an-Nasai, Rasulullah saw bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, (sekarang) barangsiapa yang ingin ziarah kubur, hendaklah ia melakukannya, dan janganlah ia melakukan hal-hal yang tercela atau tidak semestinya, (HR an-Nasa’i, nomor 2006).
Di antara hal yang tercela atau tidak semestinya, adalah mengeramatkan kuburan, minta keselamatan atau pertolongan kepada penghuni kubur, atau minta sesuatu kepada Allah dengan bertawasul kepada mereka. Itu semuanya perilaku salah yang tidak disyariatkan dalam Islam. Tidak ditemukan teladan Nabi saw, ataupu para sahabatnya, (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, IV/200).
Dalil Ziarah Kubur
1. Nabi saw memang pernah melarang umatnya melakukan ziarah kubur, tapi dalam perkembangannya beliau mengizinkan.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, sekarang berziarahlah ke kuburan, karena dalam berziarah itu terdapat peringatan (mengingatkan kematian).” (HR. Abu Daud: 2816).
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Rasul Allah saw, pernah melarang umatnya melakukan ziarah kubur, kemudian dibolehkan. Dalam kaidah ushul dikatakan, bahwa al-amr ba’da an-nahyi yufidu al-ibahah. Kata perintah yang sebelumnya ada larangan memberikan pemahaman mubah atau boleh.
Wanita Ziarah Kubur
2. Nabi saw pernah menyaksikan seorang perempuan ziarah kubur, bahkan menangis di sisi kuburan. Kemudian beliau menasihati perempuan tersebut agar bersabar. Beliau tidak mempersoalkan keberadaan perempuan tadi di area kuburan. Yang demikian ini disebut sebagai sunnah taqririyyah, di mana sikap diam Nabi saw menunjukkan persetujuannya. Sebagaimana riwayat di bawah ini.
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ ﷺ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَال: اتَّقِي الله وَاصْبِرِي فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي، فَإِنِّكَ لَمْ تُصَبْ بمُصِيبتي، وَلَمْ تعْرفْهُ، فَقيلَ لَها: إِنَّه النَّبِيُّ ﷺ، فَأَتتْ بَابَ النَّبِّي ﷺ، فلَمْ تَجِد عِنْدَهُ بَوَّابينَ، فَقالتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ، فقالَ: إِنَّما الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأولَى
Dari Anas bin Malik ra berkata, Nabi ﷺ pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Kamu tidak mengerti keadaan saya, karena kamu tidak mengalami musibah seperti yang aku alami.” Wanita itu tidak mengetahui jika yang menasihati itu Nabi ﷺ. Lalu diberi tahu, “Sesungguhnya orang tadi adalah Nabi ﷺ. Spontan wanita tersebut mendatangi rumah Nabi ﷺ namun dia tidak menemukannya. Setelah bertemu dia berkata, “Maaf, tadi aku tidak mengetahui Anda.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya sabar itu pada kesempatan pertama (saat datang mushibah) “. (HR. Bukhari: 1203)
Berdoa di Kuburan
3. Nabi Muhammad saw pernah ziarah ke kuburan Baqi yang lokasinya tidak jauh dari Masjid Nabawi, dan beliau berdoa agar ahli kubur di tempat tersebut mendapatkan ampunan dari Allah swt, sebagaimana riwayat di bawah ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا كَانَتْ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ فِي آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا وَإِيَّاكُمْ مُتَوَاعِدُونَ غَدًا أَوْ مُوَاكِلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ
Dari Aisyah dia berkata, “Setiap kali Rasulullah ﷺ bermalam di tempatku, beliau keluar ketika lewat tengah malam menuju kuburan Baqi’, lalu berdoa: Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada penghuni kampung kaum mukminin, semoga kami dan kalian memperoleh yang telah dijanjikan kelak, atau saling memberi (persaksian), dan kami insya Allah akan menyusul kalian.”Ya Allah, ampunilah penghuni kubur Baqi’ al-Gharqad.” (HR. Nasa’i: 2012).
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَى عَلَى الْمَقَابِرِ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَافِيَةَ لَنَا وَلَكُمْ
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya bahwa Rasulullah ﷺ jika mendatangi kuburan, beliau berdoa, “Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kalian wahai penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian, kalian bagi kami sebagai pendahulu dan kami bagi kalian sebagai pengikut. ”Aku mohon keselamatan kepada Allah bagi kami dan kalian.” (HR. Nasa’i: 2013).
Aisyah Ziarah Kubur
4. Aisyah Ummul Mukminin ra pernah menziarahi kuburan saudaranya yaitu Abdurrahman bin Abi Bakar. Perbuatan yang dilakukannya mengandung petunjuk sunnah, karena dinisbatkan kepada Nabi saw (hadis mauquf yang dihukumi marfu’), juga menguatkan hadits yang sebelumnya, di mana perempuan diizinkan ziarah kubur.
انَّ عائشةَ رضي اللهُ عنها أقبلتْ ذاتَ يومٍ من المقابرِ ، فقلتُ لها : يا أمَّ المؤمنينَ ! من أينَ أقبلتِ ؟ قالت : من قبرِ أخي عبدِ الرحمنِ بنِ أبي بكرٍ ، فقلتُ لها : أليسَ كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ نهَى عن زيارةِ القبورِ ؟ قالت : نعم ، كان نهَى ثم أَمَرَ بزيارتِ
Pada suatu hari Aisyah ra terlihat pulang dari komplek kuburan, lantas aku bertanya kepadanya, duhai ibunda orang beriman dari manakah anda? Ia menjawab, dari kuburan saudaraku, Abdurrahman bin Abu Bakar. Aku tanyakan padanya, bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur? Ia menjawab, benar pernah dilarang kemudian ada perintah untuk ziarah, (Sunan al-Kubra lil Baihaqi, IV/78).
Konsep Sedekah
Infak adalah ajaran yang melekat pada jiwa dan raga orang beriman, kapan pun dan di mana pun ia berada, banyak atau sedikit, miskin atau pun kaya, masih dinas ataukah sudah pensiun, bahkan apapun bentuknya, yang penting bisa memberikan kemanfaatan bagi sesama manusia.
Jika saat kecil anak-anak dibiasakan berinfak, maka pada saat dewasa menjadi kebiasaan. Kalau saat hidup sederhana dibiasakan infak, maka saat kaya semakin bersemangat. Dalam surah Ali Imran ayat 134 dikatakan bahwa orang bertakwa harus menginfakkan hartanya baik dalam keadaan sarra’ dan dlarra’. Maksudnya dalam keadaan kaya ataupun miskin, lapang ataupun sempit. Miskin bukan alasan untuk mangkir dari infak, karena infak diberikan sesuai dengan kadar kemampuannya.
Nabi Muhammad saw, pernah ditanya sahabatnya tentang sedekah yang paling besar pahalanya, kemudian beliau menjawab:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَأْمُلُ الْعَيْشَ وَتَخْشَى الْفَقْرَ
Abu Hurairah dia berkata; Seseorang bertanya, “Duhai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Kamu bersedekah saat kondisimu sehat dan jiwamu bakhil (berat bersedekah), kamu mendambakan kemakmuran dan takut miskin.’ (HR. Nasa’i: 2495)
Nabi Muhammad saw, juga bersabda, bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang terjaga kontinyuitasnya walaupun sedikit.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, beramalah sesuai dengan kadar kemampuan kalian, sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan, sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara kontinyu walaupun sedikit.” (HR. Bukhari: 5413)
Editor Sugeng Purwanto