PWMU.CO – Oesman Effendy nama yang selalu melekat di SMA Muhammadiyah 1 Babat yang dikenal dengan sebutan SMA Muhiba. Dia pendiri sekolah itu tahun 1971 bersama aktivis PCM Babat.
Ini sekolah tertua di Kota Wingko Babat Lamongan. SMA Muhammadiyah 1 Babat juga sekolah pertama di eks Karesidenan Bojonegoro yang mengantongi status Disamakan dan Terakreditasi A.
Kebesaran dan kemajuan SMA Muhammadiyah 1 Babat saat ini tidak lepas dari sosok pendiri sekaligus kepala sekolah pertama yaitu Drs H Oesman Effendy. Dia hanya menjabat kepala sekolah selama dua tahun yaitu 1971-1973. Kemudian dilanjutkan oleh Drs Moh Thohir, putra Kiai Sholeh, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Babat yang pertama.
H Oesman Effendy lahir di Babat, Lamongan, 11 Mei 1941 dari pasangan H. Muchsin dan Hj Maskrani. Kedua orangtuanya adalah aktivis Masyumi di Babat termasuk orang Muhammadiyah terkaya pada saat itu.
Oesman pun bisa sekolah di Yogyakarta setamat Madrasah Ibtidaiyah Babat. Dia masuk ke SMP Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian SMA PIRI Yogyakarta.
SMA ini milik Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta yang didirikan oleh bekas Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah H. Minhadjurrahman Djojosugito. Sekolah di sini atas arahan orangtuanya yang tak memilih sekolah di Muallimin Yogya.
Setelah lulus dia lanjut kuliah di Jurusan Administrasi Negara Universitas Gajah Mada lulus pada tahun 1967. Sejak mahasiswa Oesman Effendy aktif jadi pengurus di Badan Keluarga Mahasiswa UGM. Setelah tamat kuliah Oesman mengikuti kursus administrasi kepegawaian dan keuangan di Yogyakarta. Dari sini dia direkrut menjadi pegawai Departemen Dalam Negeri di Jakarta.
Mundur dari PNS
Dia menikah pada 16 Oktober 1969 saat berusia 28 tahun dengan Hj Siti Fatimah, putri H Noerchalim dan Hj Djamilah. Siti Fatima saat itu masih kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dari pernikahan ini dikarunia sepuluh anak. Yaitu drh Hj Erna Novita, dr Yunita, Marita SE MSi, Yun Ernita SE, Hj Septiana SAg, H Badru Zaman Muhammad SE, Zaki Muhammad ST, Syafik ST, Rosdiyati SE MSA dan Alvian Noor Muhammad SE.
Ternyata keluarganya tak suka dia menjadi pegawai negeri. Lebih baik menjadi pengusaha seperti keluarga lainnya. Maka tahun 1970 H Oesman mundur dari Departemen Dalam Negeri. Pulang ke Babat Lamongan bersama istrinya.
Hidup di Babat, Oesman menjadi blantik sapi. Bukan jual beli satu dua sapi. Tapi bisa mengirim satu truk sapi ke Jakarta untuk memenuhi pasokan daging di ibukota. Dia mencari sapi hingga ke pelosok desa-desa.
Di sela kesibukannya, dia sempatkan berkumpul dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah Babat di rumah HM Saechan, tetangganya. Di tempat inilah berkumpul para tokoh penggerak Muhammadiyah Babat seperti Mochammad Shaleh, Soenhadji Tadjam, Mustaqim Kauman, Tasyam Purnomo, Gholib Ghufron, Marlim THS, Zaenal Mas’ud, Ruslan Efendi.
Juga Adenan Nur Shodiq, Syafi’i Hasyim, A Zaenuri, Wasil Maksum, Abdul Kholiq, Moch Thoha, Moch Thohir, Mahmud Irfan, Muchlis Sulaiman, Khoirul Huda, Kuswarih, Muntholib Sukandar, Fatkhur Rahman Anwar, Zarqoni Sutedja, dan Shofwan Ilyas.
Berawal 6 Murid
Dari pertemuan ini muncul ide mendirikan SMA Muhammadiyah melengkapi SMP Muhammadiyah 1 Babat. Tujuannya agar lulusan SMP tidak jauh sekolah SMA ke Kota Lamongan. Saat itu pula ditetapkan Oesman Effendy sebagai kepala sekolah.
Untuk mewujudkan sekolah ini PCM Babat membeli gedung di Jl Raya 180. Lokasi ini sampai sekarang masih ditempati menjadi sekolah unggul di Lamongan.
Menurut sesepuh Muhammadiyah di sini, Abdul Aziz, saat dibuka tahun ajaran baru jumlah siswa hanya enam anak. Termasuk Abdul Azis yang memiliki Nomor Induk Siswa 0001.
Dia bercerita, Oesman adalah sosok berkarakter tenang, tidak banyak bicara. Tiap tahun sekolah ini berkembang. Kemajuan pesat tahun 1974 sampai 1990. Saat itu Oesman menjadi ketua Bagian Pendidikan dan Kebudayaan PCM Babat.
Aminullah, mantan Wakasek Humas SMA Muhiba menjelaskan, dari murid 6 anak saat pertama berdiri, sekarang rata-rata siswa baru per tahun menerima 200 anak.
”Meluluskan ribuan alumni yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan ada yang di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Saudi Arabia,” terang Aminullah yang juga menjadi sekretaris Alumni SMA Muhiba.
Ditambahkan, bangunan sekolah yang awalnya terbatas, sejak tahun 2000 membangun gedung menjadi tiga lantai. Sekarang SMA Muhiba terus berbenah dengan menyediakan berbagai fasilitas penunjang pendidikan.
”Guru-guru berkualitas dan kompeten di bidangnya, ada ekstrakurikuler, organisasi siswa, komunitas belajar, tim olahraga, dan perpustakaan sehingga siswa dapat belajar secara maksimal. Proses belajar dibuat nyaman,” tuturnya.
Antar Anak ke Pondok
Menurut Syafik, putra kedelapannya, ayahnya figur yang tegas dan keras dalam mendidik. Mungkin karakternya mewakili perjalanan hidupnya yang penuh dengan perjuangan yang keras dan penuh kesulitan.
”Tapi kasih sayang beliau di balik itu jauh lebih besar pada kami. Perhatiannya pada pendidikan agama, budi pekerti, dan akhlak terus diwariskan semasa hidupnya,” paparnya.
Syafik menyampaikan, salah satu kebiasaan yang rutin dilakukan ayahnya adalah mengantarkan putra dan putrinya berangkat mengaji di Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat asuhan KH Muchlis Sulaiman.
”Ayah selalu berpesan dan berwasiat pentingnya menjaga silaturahmi di tengah keluarga dan juga ingin putra dan putrinya menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Pesan yang selalu diingat,” tutur Syafik.
Oesman Effendy wafat pada usia 53 tahun setelah menjalani sakit sekitar dua tahun. Ia dimakamkan di Kuburan Islam Desa Karangasem, Babat pada tanggal 23 Agustus 1994. (*)
Penulis M Faried Achiyani Editor Sugeng Purwanto