Kenangan Ustadz Nadjib Ngumpulno Balung Pisah, catatan Abdul Wahab, Jurnalis Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya tentang Nadjib Hamid.
PWMU.CO – Meski lahir dan besar serta pendidikan dasar saya tumbuh dan berkembang di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, saya akui silaturahim dengan keluarga besar Muhammadiyah Jawa Timur awal tahun 1995 (pertama saya merantau di Surabaya) belumlah ada.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, satu diantaranya adalah minimnya informasi bagaimana saya harus berkiprah di Muhammadiyah. Padahal sebenarnya ada tugas khusus dari kakak saya, almarhum Ki Ageng Fatah Wibisono—salah satu ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah era pak Din Syamsuddin—untuk dolan ke kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim menemui Ustadz Nadjib Hamid.
Namun hal itu belum bisa saya lakukan karena rasa sungkan atau pakeweuh saya. Selain itu, ada rasa minder karena saya merasa bukan kader langsung dari Ustadz Nadjib Hamid. Walhasil, saya hanya bisa memendam keinginan untuk berkhidmat di Muhammadiyah.
Meski sama-sama lahir di Paciran, Lamongan, setiap kali bertemu Ustadz Nadjib Hamid saat liputan di acara-acara Muhammadiyah atau PWM, saya tidak punya keberanian untuk ngomong langsung ingin berkhidmat di Muhammadiyah melalui media siaran, seperti rutinitas yang saya lakukan selama ini.
Kenangan Ngumpulno Balung Pisah
Lama memendam bisa berkhidmat di Muhammadiyah melalui media, akhirnya momen itu datang juga. Sore itu sekitar pukul 15.30 tahun 2018—seingat saya—HP saya berdering. Tertera nama Fajar, teman saya liputan waktu masih di Suara Surabaya. “Ded, Pak Nadjib mau ngomong, “ujarnya.
Belum hilang rasa kaget dan penasaran saya, di ujung telepon pak Nadjib langsung menanyakan kepada saya. “Mas, tolong saya dibantu ya di Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) bersama teman-teman lain ngurusi dakwah digital Muhammadiyah, ” pinta Ustadz Nadjib.
Tanpa diminta dua kali, saya langsung bilang, “Siap ustadz,” jawab saya dengan tegas. Sejak saat itu dan berkat Ustadz Nadjib saya bisa berkhidmat di Muhammadiyah Jatim.
Ketika saya gabung di LIK PWM Jatim, saya baru tahu ternyata banyak teman-teman pewarta Muhammadiyah yang lainnya. Ini juga salah satu peran Ustadz Nadjib Hamid dalam ngumpulno balung pisah untuk bersama berkiprah di LIK.
Kenangan lain yang masih saya ingat dengan sosok Ustadz Nadjib Hamid adalah saat koordinasi pemakaman almarhum Ki Ageng Fatah Wibisono tahun 2013. Ketika keluarga besar saya memutuskan, pemakaman almarhum di Lamongan, maka saya langsung teringat sosok almarhum Ustad Najib Hamid, yang memang hanya dia satu-satunya pimpinan Muhammadiyah Jatim yang saya kenal.
Akhirnya saya mewakili keluarga melakukan kordinasi dengan beliau untuk membantu proses pemakaman kakak saya, almarhum Ki Ageng Fatah Wibisono. Selamat jalan Mas, Pak, dan Ustadz Nadjib Hamid. Terima kasih untuk kesempatan yang sudah diberikan kepada saya.(*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.