PWMU.CO – Mengapa Beribadah, Tak Cukup Beriman dan Berbuat Baik Saja? Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Drs Hajriyanto Y. Thohari MA menjelaskan itu dalam kajian Ramadan Sehat dan Aman, Kamis (15/4/21).
Program kajian spesial Ramadhan ini persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu. Program harian ini dilaksanakan mulai pukul 17.00 WIB hingga Magrib. Saat menjadi nara sumber, Hajriyanto sedang berada di Beirut, Lebanon.
Sebelum membahas keikhlasan, Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 ini mengajak mengenali ibadah yang sesungguhnya. Kata Ibadah berasal dari bahasa Arab yang berarti pengabdian atau penghambaan. Jadi ibadah bisa meliputi seluruh kegiatan manusia selama hidup di dunia ini, yang dilakukan dengan sikap batin, niat pengabdian, dan penghambaan diri kepada Allah.
Berdasarkan ayat wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun, Hajriyanto mengingatkan kita pada perintah Allah: agar beribadah, melakukan pengabdian, atau dengan kata lain melakukan penyembahan kepada-Nya.
Hajriyanto kemudian menjawab pertanyaan yang sering muncul, yaitu mengapa beribadah. Kenapa tidak cukup dengan beriman dan berbuat baik saja?
Pertama, dalam kenyataan historis, tidak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa, sedikit banyak, mengintrodusir (memperkenalkan) ibadah atau tindakan-tindakan ritual. Bahkan, ideologi yang punya program menghapus agama—seperti Komunisme—ternyata juga punya ritual sendiri. Hajriyanto pernah melihat ada ritual-ritual negara komunis di Tiananmen, Moskow atau di Pyongyang.
“Ritual-ritual, inisiasi-inisiasi, baiat, dan dedikasi tertentu bukan hanya ada dalam agama, melainkan juga dalam aliran kepercayaan. Hal inilah yang membuat hubungan antara mereka lebih kuat,” tutur pria berusia 60 tahun itu.
Kedua, iman dan amal shalih harus berhubungan secara organik, di mana iman dan amal shalih memerlukan ibadah. “Sebab, iman yang abstrak itu—untuk melahirkan dorongan dalam diri seseorang ke arah perbuatan yang baik—harus memiliki kehangatan dan keakraban dalam jiwa seseorang,” ujarnya.
“Walhasil, ibadah merupakan kelanjutan dari iman, bahkan menjadi perlembagaan iman,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon itu.
Makna Ibadah: Intrinsik dan Instrumental
Hajriyanto menerangkan, dalam Islam, mendekati sebuah ibadah itu bisa dari sisi makna. “Ibadah, dalam Islam, selalu dapat didekati secara maknawi. Ibadah memiliki dua makna, yaitu makna intrinsik dan makna instrumental,” ungkapnya.
Ia kemudian menjelaskan makna instrinsik ibadah dalam Islam. Yaitu ibadah sebagai taqarrub, pendekatan diri kepada Allah. Misal, shalat dan puasa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hajriyanto lalu mengutip ayat 19 surat al-Alaq: Kalla la tuti’hu wasjud waqtarib. Artinya, “Sekali-kali tidak, janganlah kamu patuh kepadanya (kepada setan), sujudlah, serta dekatkanlah dirimu kepada Allah.”
Pria kelahiran Karangayar ini kemudian menjelaskan makna instrumental dari ibadah. “Adalah makna yang dapat kita ambil dari ibadah tersebut sebagai sebuah instrumen (alat) untuk melakukan pendidikan terhadap diri kita sendiri,” terangnya.
Hajriyanto lantas mengaitkannya dengan perintah dalam al-Quran. “Kita tahu puasa disebutkan di dalam kitab suci al-Quran, ‘La’allakum tattaqun‘, (agar kamu sekalian bertakwa); kalau salat itu dikatakan, ‘Wa aqimis shalata lidzikri‘, (dan dirikanlah salat untuk mengingatku),” urainya.
Jadi, lanjutnya, selain shalat dan puasa menjadikan kita sebagai orang-orang yang muttaqin (bertakwa), juga menjadikan kita sebagai orang-orang yang lidzikri (mengingat-Nya). Kita berlatih setiap hari untuk menyadari kita selalu disaksikan Allah SWT.
“Segala gerak-gerik, perilaku, dan amal perbuatan kita selalu disaksikan Allah. Tidak ada tempat bersembunyi dari Allah,” jelas Ketua Badan Pengurus Lazis Muhammadiyah 2010-2015 itu.
Menurutnya, hal ini menjadikan kita lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan ibadah puasa, sebab tidak ada yang tahu selain Allah SWT. “Teman kita pun tidak tahu kita sungguh-sungguh puasa atau tidak, tapi kita latihan untuk meyakini Allah SWT senantiasa melihat dan menyaksikan puasa kita,” tuturnya.
Karena itu, tambahnya, ibadah puasa menjadi instrumen kita untuk menjadi orang yang berhati-hati, waspada, dan selalu meyakini Allah senantiasa tahu apa yang kita kerjakan.
“Kalau kita ngumpetkan uang negara atau makan di tempat tersembunyi Allah juga akan tahu, karena itu semua menjadi instrumen bagi kita untuk mendidik diri kita dengan sebaik-baiknya!”
Puasa Latih Keikhlasan
Hajriyanto menyatakan, dengan suasana didikan seperti itu, maka puasa akan melahirkan sikap keikhlasan dalam diri. “Ikhlas bahwa semua yang kita kerjakan semata-mata untuk mengharapkan ridha Allah SWT. Tidak ada tujuan-tujuan yang lain!” tuturnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, Allah SWT mengajarkan cara beramal di kitab suci al-Quran: Hendaklah kita selalu menempatkan apa yang kita amalkan dengan penuh keikhlasan.
“Innamaa nuth’imukum liwajhillahi laa nuriidu minkum jazaa-an walaa syukuuran. Aku beramal memberikan makan kepada kalian itu semuanya, liwajhillah, semata-mata untuk mengharap dapat melihat wajah Allah,” katanya.
Artinya, lanjut Hajriyanto, kami beramal shalih, berjihad, melakukan perjuangan, dan melakukan serangkaian kebaikan-kebaikan, adalah semata-mata karena Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari siapapun, bahkan tidak pernah mengharapkan ucapan terima kasih.
Jika Tidak Mampu Menangkap Makna
Hajriyanto menyimpulkan, ibadah mahdhah dalam Islam—seperti shalat, dzikir, membaca al-Quran—itu semuanya mengandung makna instrinsik dan makna instrumental. Seperti pada makna intrinsik shalat: Wa aqimis shalata lidzikri (dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku). Sedangkan makna instrumental dari salat adalah mendidik kita menjadi orang yang ikhlas dan memiliki jiwa menolong orang lain.
Seperti yang tertera dalam surat al-Maun ayat 4. “Celakalah orang-orang yang shalat,” ucapnya.
Lalu Ketua Umum PP Muhammadiyah 1993-1998 itu menerangkan, orang-orang yang shalat celaka jika tidak bisa menangkap makna intrinsik dan makna instrumental dari shalat itu.
“Sudah capek-capek shalat, malah dikatakan celaka. Yaitu, (dijelaskan pada ayat berikutnya) orang-orang yang alpa dalam shalat mereka, karena (dijelaskan dalam ayat selanjutnya) hanya ingin dilihat orang. Tetapi, dia tetap enggan memberikan bantuan kepada orang-orang yang butuh bantuan. Jadi kalau dari shalatnya tidak bisa menangkap makna intrinsiknya, maka juga tidak bisa menangkap makna instrumentalnya,” urainya.
Sebab, menurutnya, makna instrumental itulah yang mendorong seseorang untuk suka menolong. “Filantropisme dan voluntarisme sangat dikembangkan dalam Muhammadiyah, berdasarkan ajaran dari Kyai Haji Ahmad Dahlan, yaitu kita harus memiliki semangat kedermawanan dan semangat kerelawanan!” tuturnya.
Keimanan dan Puncak Keikhlasan
Menurut Hajriyanto, ibadah puasa itu manifestasi keimanan. “Kita tahu tidak ada puasa tanpa iman, dan hanya imanlah yang menggerakkan orang untuk berpuasa,” ungkapnya pada segmen terakhir program gelar wicara virtual itu.
Ia menjelaskan, perintah berpuasa memang hanya ditujukan kepada orang yang beriman. “Orang yang tidak beriman, tidak percaya atau mengingkari wahyu, mengingkari kenabian, apalagi mengingkari Tuhan, maka dia tidak wajib beribadah puasa,” jelas Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah 2000-2005.
Sedangkan orang yang beriman, tambah Hajriyanto, yaitu yang percaya Allah selalu melihatnya, maka dia berpuasa dengan tertib, disiplin, dan penuh keikhlasan.
Selain itu, orang yang beriman juga berpuasa dengan penuh amanah. “Meskipun tidak ada orang yang melihatnya, dia akan tetap berpuasa sampai waktu berbuka puasa itu tiba.” tuturnya.
Menurutnya, itulah yang akan membawa seseorang pada perasaan ikhlas melaksanakan apapun di dunia ini. “Tidak pernah melaksanakan sesuatu hanya karena pamrih yang bersifat duniawi: agar dipuji orang sebagai orang yang shalih, mendapat penghargaan yang tinggi karena dianggap menjalankan perintah agamanya, atau bahkan agar dianggap sebagai orang yang bersih dan suci,” jelas Hajriyanto.
Hajriyanto menyatakan, ibadah puasa memang dapat menjadi sarana yang sangat efektif untuk menjadikan diri sebagai orang-orang yang ikhlas: selalu melaksanakan segala sesuatu karena Allah SWT.
Itulah mengapa Rasulullah SAW bersabda: Innamal amalu bin niat. Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya.
“Kalau kita niat karena Allah, bukan karena makhluk Allah, artinya bukan karena faktor pandangan manusia lain, maka kita menjadi pribadi yang ikhlas,” ujarnya.
Orang yang ikhlas, sambungnya, tidak akan pernah kecewa. Kemudian ia mencontohkan ucapan orang yang kecewa dengan amal-amal kebaikannya. “Saya sudah memeras keringat membanting tulang kok tidak mendapatkan balasan, saya sudah berikan segalanya kok tidak mendapatkan apa-apa, bahkan sekedar ucapan terima kasih saja tidak,” ucapnya.
Akhirnya, Hajriyanto menyimpulkan, untuk mencapai keikhlasan maka penting melakukan semata-mata karena Allah, tanpa mengharap balasan, apalagi ucapan terima kasih. (*)
Mengapa Beribadah, Tak Cukup Beriman dan Berbuat Baik Saja? Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni