Kisah KH Ahmad Badawi Merundung Kiai Dahlan, oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi pemuka Islam.
PWMU.CO – KH Ahmad Badawi jelas istimewa. Beliau menjadi Ketua (Umum) PP Muhammadiyah untuk dua periode, 1962-1965 dan 1965-1968. Maka, siapa bisa mengira bahwa di masa lalunya beliau pernah mengolok-olok KH Ahmad Dahlan karena tak sepaham. Siapa dapat menyangka bahwa dulu dia berani mem-bully KH Ahmad Dahlan, pamannya sendiri.
Ahmad Badawi lahir di Kauman, Yogyakarta pada 5 Februari 1902. Saat berusia enam tahun, pada 1908, dia nyantri di Pondok Pesantren Lerab, Karanganyar, Jawa Tengah untuk belajar nahwu dan sharaf. Lima tahun dia di sana.
Selanjutnya, pada 1913, selama dua tahun dia belajar kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Di pesantren ini, dia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf). Berikutnya, mulai 1915 untuk lima tahun dia nyantri di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruan, Jawa Timur.
Terakhir, pada 1920-1921 Ahmad Badawi belajar ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang, Jawa Tengah. Di titik inilah, pada 1921, bisa dibilang masa belajarnya di berbagai pesantren telah selesai.
Total 13 tahun Ahmad Badawi merantau mencari ilmu di beberapa pesantren. Memang, beliau sejak kecil-sebelum Muhammadiyah berdiri-sudah pergi belajar ke banyak tempat. Saat awal berangkat, sekali lagi, beliau baru berusia enam tahun.
Ide Nakal
Bagaimana hasil belajar Ahmad Badawi? Beliau mempunyai keahlian di berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu fikih dan ilmu falak. Dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya itu, dia punya pengaruh di Kauman, Yogyakarta, terutama di kalangan generasi muda.
Di sisi lain, Ahmad Badawi menemui kenyataan, bahwa setelah pulang kampung ke Kauman dia merasa aneh dengan langkah dakwah KH Ahmad Dahlan. Dalam pandangannya, itu berbeda dengan pemahaman keagamaannya.
Tersebab itu, muncullah ide nakal: sia akan mengolok-olok KH Ahmad Dahlan dengan cara memainkan musik rebana saat sang tokoh melintas di kampung Kauman. Rencana olok-olok itu dinilainya sebagai bagian dari usaha untuk menghambat gerakan reformasi Islam yang dilakukan KH Dahlan saat itu.
Ahmad Badawi yang punya pengaruh di kalangan anak muda Kauman, tak sulit ketika dia meminta mereka mengolok-olok KH Ahmad Dahlan dengan cara memainkan rebana. Mereka siap untuk melakukan “misi” Ahmad Badawi.
Langkah Gagal
Di suatu hari, KH Ahmad Dahlan keluar dari rumahnya untuk sebuah keperluan. Baru saja keluar, tiba-tiba sekelompok anak muda yang dipimpin Ahmad Badawi mengiringinya dengan musik rebana. Dengan cara itu mereka bermaksud mem-bully KH Ahmad Dahlan.
Bagaimana respon KH Ahmad Dahlan? Atas olok-olok dengan musik rebana itu, sang ulama menyikapinya dengan tenang. Tak diacuhkannya aksi anak-anak muda itu. KH Ahmad Dahlan terus melangkah, berjalan seperti biasanya.
Sambil meneruskan langkahnya berjalan di kampung Kauman, KH Ahmad Dahlan tetap menyapa dan melepas senyum kepada warga lain yang berpapasan dengannya. Sikapnya ini, memang berdasarkan kebiasaannya selama ini yang ramah kepada semua orang yang ditemuinya.
Intinya, secara keseluruhan, tak ada yang berubah dalam performa Ahmad Dahlan dalam menghadapi ulah Ahmad Badawi dan teman-temanya. Tampak, bagi beliau, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Hal yang sebaliknya ada di ‘pihak seberang’. Anak-anak muda di bawah koordinasi Ahmad Badawi yang mem-bully KH Ahmad Dahlan merasa tidak berhasil dengan langkah bully itu. Akhirnya, “sajian rebana” itu berhenti dengan sendirinya.
Buah Debat
Ahmad Badawi tak langsung menyerah dalam usahanya menghentikan langkah dakwah KH Ahmad Dahlan. Setelah ‘demo rebana’ dinilai tidak berhasil, dia lalu mengajak KH Dahlan berdebat.
Permintaan debat-yang memang diperkenankan dalam Islam-disambut baik oleh KH Ahmad Dahlan. Lalu, ditentukanlah waktu dan tempatnya.
Debat itu dilaksanakan pada malam hari dan disaksikan oleh anak-anak muda pengikut Ahmad Badawi. Debat berlangsung lama, sejak usai shalat isya’ hingga pukul 01.00 dini hari.
Apa ujungnya? Selepas acara, Ahmad Badawi bisa menerima pemikiran-pemikiran KH Ahmad Dahlan. Setelah itu, Ahmad Badawi lalu mendukung langkah-langkah KH Ahmad Dahlan. Sikap yang sama kemudian juga diikuti oleh anak muda para pengikut Ahmad Badawi.
Sejak itu, Ahmad Badawi berusaha menyesuaikan langkah-langkahnya dengan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan. Salah satunya, dalam menyikapi hafalan-hafalan ayat suci al-Quran (https://suaramuhammadiyah.id/2020/11/05/kiai-dahlan-dibully-dengan-rebana/).
Misal, di waktu-waktu sebelumnya, Ahmad Badawi banyak menghafal ayat al-Quran tertentu dan dengan maksud khusus pula. Maka, atas masalah ini, dikritisi oleh Ahmad Dahlan. Bahwa, bagi pendiri Muhammadiyah itu, tidak ada perbedaan antara ayat satu dengan ayat yang lain dalam al-Quran. Semuanya, harus diamalkan.
Catatan KH Ahmad Dahlan tersebut diterima dengan baik Ahmad Badawi. Lalu, penyesuaian demi penyesuaian yang lain rajin dilakukan oleh Ahmad Badawi.
Selanjutnya, kesemua perubahan sikap Ahmad Badawi itu bermuara kepada bulatnya tekad dia untuk menjadi anggota Muhammadiyah. Keanggotaannya secara resmi di Muhammadiyah tercatat pada 25 September 1927.
Sejak berkiprah di Muhammadiyah, Ahmad Badawi lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya dalam bertabligh. Dia-pun mengajar di sekolah (madrasah) serta berdakwah lewat pengajian dan pembekalan kemuhammadiyahan.
Dalam perkembangannya, Ahmad Badawi dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pada 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, dia juga diamanati sebagai Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Muallimat pada 1942). Di Madrasah Muallimat dia memiliki harapan untuk memberdayakan perempuan agar cakap menjadi muballighat.
Siapa Ahmad Badawi?
Dari segi garis keturunan, sesungguhnya Ahmad Badawi adalah keponakan KH Ahmad Dahlan. Hal ini karena ibu dia yaitu Nyai Siti Habibah adalah adik kandung KH Ahmad Dahlan.
Adapun dari sisi pemikiran keagamaan, mestinya Ahmad Badawi dekat dengan Ahmad Dahlan atau Muhammadiyah. Hal ini, karena ayah dia yaitu KH Muhammad Fakih termasuk generasi awal Muhammadiyah. Sang ayah, adalah salah satu Pimpinan Muhammadiyah pada tahun 1912 yaitu sebagai Komisaris.
Itulah garis hidup. Setelah sempat tak sepaham dalam hal pemikiran dan langkah keagamaan, pada akhirnya Ahmad Badawi menjadi anggota Muhamadiyah. Malah di belakang hari bahkan Ahmad Badawi-seperti yang telah disebut di depan-mendapat amanah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiayah dua periode yaitu 1962-1965 dan 1965-1968.
Demikianlah, Ahmad Badawi adalah generasi Kauman terakhir yang sempat bertemu KH Ahmad Dahlan dan yang lalu menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Beliau termasuk keluarga dekat KH Ahmad Dahlan yang tergolong akhir-akhir masuk Muhammadiyah.
Capaian-Capaian Lain
Bagaimana aktivitas dan prestasi Ahmad Badawi di luar Muhammadiyah? Pada masa perjuangan kemerdekaan, Ahmad Badawi pernah aktif di Angkatan Perang Sabil (APS). Beliau turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada 1947-1949, Ahmad Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH Mahfudz sebagai Imam I dan KRH Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ahmad Badawi juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram. Keanggotaannya itu atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pada 1963, di masa Orde Lama, Ahmad Badawi diangkat menjadi Penasihat Pribadi Presiden Soekarno di bidang agama Islam. Saat itu, kalangan internal Muhammadiyah menilai Ahmad Badawi memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga dipandang perlu mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno.
Sementara, di sisi lain, Soekarno merasa dirinya memerlukan nasihat-nasihat agama. Oleh karenanya, bila Ahmad Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Ahmad Badawi.
Pada 1968, di masa Orde Baru, Ahmad Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di DPA dia memberikan nasihat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam.
Ada lagi yang istimewa pada diri Ahmad Badawi. Beliau produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya cukup banyak.
Berikut ini antara lain judul-judulnya: Pengajian Rakyat, Kitab Nukilan Syu’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Haji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasyi’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (bahasa Indonesia), dan Jadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (https://darularqamgarut.sch.id/kh-ahmad-badawi-ketua-1962-1965/).
Demikianlah, sebagian riwayat KH Ahmad Badawi. Beliau yang meninggal pada hari Jum’at 25 April 1969 di Yogyakarta adalah sosok teladan. Meninggal di usia 67 tahun, lelaki ini patut menjadi sumber inspirasi bagi para pejuang dakwah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 29 Tahun XXV, 16 April 2021/4 Ramadhan 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.