PWMU.CO – Bedah Pandemi dari Perspektif Teologis dan Sosiologis oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd pada Kajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 1442 H.
Temanya: Hidup Pascapandemi, Sabtu (17/4/21). Yang menjadi moderator adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Dr dr Sukadiono MM.
Dalam kegiatan yang digelar secara virtual ini, Abdul Mu’ti berkesempatan memaparkan pandangannya bergantian dengan dr Pandu Riono MPH PhD.
Untuk mencairkan suasana siang itu, sambil tertawa, Mukti mengenalkan dirinya sebagai ahli viralogi. “Kalau Pak Dokter Pandu tadi ahli virologi, kalau saya ahli viralogi, cuma memviralkan aja apa yang sudah ditulis oleh berbagai kalangan,” candanya.
Mu’ti mengungkap, jika dilihat dari sudut pandang agama, pandemi bukan sesuatu yang baru pertama terjadi. Pandemi Covid-19 ini salah satu dari sekian banyak pandemi. Sejak zaman Nabi—bahkan sebelum Nabi Muhammad—sudah ada pandemi.
Ragam Pandemi Zaman Nabi
Setelah meninjau berbagai ayat al-Quran, Mu’ti menemukan penjelasan adanya pandemi dalam surat al-A’raf ayat 133. Yaitu terjadi pada masa Nabi Musa AS. Saat itu ada belalang di mana-mana; juga ada kutu, katak, darah, dan topan. “Jadi bagian dari pandemi yang menurut saya cukup besar pada zaman itu,” ujarnya.
Walaupun, lanjutnya, dalam konteks teologi, pandemi ini bagian dari cara Allah menghukum dan mengingatkan umat Nabi Musa yang membangkang.
Selain itu, pada masa Nabi Muhammad juga terdapat pandemi. Beberapa riwayat hadits—dalam Kitab al-Bukhari Hadits 2830 dan 5732, Muslim Hadits 1916, dan Ahmad Jilid 3 Hadits 150—menyebutnya dengan istilah “thaun” .
“Thaun adalah benjolan yang muncul seperti yang dialami oleh unta, tumbuh di bagian ketiak dan sejenisnya. Ibnul Qayyim menjelaskan thaun adalah sejenis wabah penyakit yang memang menular luar biasa,” ungkap lulusan Flinders University, Australia itu.
Berdasarkan penjelasan ahli medis, tambahnya, thaun adalah pembengkakan parah yang mematikan, menimbulkan rasa haus yang sangat parah, dan rasa sakit luar biasa. Sehingga yang terkena itu tubuhnya menjadi hitam, hijau, atau abu-abu. Selanjutnya, nanah akan muncul.
Dari layar yang dia tampilkan melalui Zoom itu, diketahui pula thaun biasanya menyerang ketiak, bagian belakang telinga, ujung hidung, daging, dan bagian tubuh yang lunak.
Dari beberapa Hadits yang telah ia kaji, Mukti juga menemukan cara mengatasi atau menyikapi saat wabah itu terjadi. Hal ini sebagaimana yang bisa kita temukan pada fatwa Majelis Tarjih tentang cara beribadah selama masa pandemi.
Pandemi: Ujian VS Hukuman?
Selanjutnya, Mu’ti membahas sebab pandemi yang masih jadi perdebatan selama ini. “Pak dr Suko sudah menyampaikan (pertanyaan), sesungguhnya musibah atau pandemi itu ujian atau hukuman?” ujarnya.
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jateng periode 2000-2002 itu menerangkan, jika melihat dari sudut pandang agama, musibah itu ujian Allah yang terjadi bukan karena ulah atau akibat perbuatan manusia. “Jadi memang sudah ada ketentuan Allah musibah itu akan terjadi,” jelasnya.
Lalu ia mengutip ayat 22-23 dari Surat al-Hadiid:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Begitupula pada surat at-Taghaabun ayat 11, bahwa musibah itu terjadi atas izin Allah.
Pandemi sebagai Uqubah
Abdul Mu’ti menjelaskan, musibah (pandemi) merupakan uqubah yang terjadi sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari perbuatan manusia. Seperti termuat dalam al-Quran: akan datang musibah ketika umat Islam itu kalah dalam Perang Uhud.
“Karena mereka tidak mengikuti apa yang disarankan dan dianjurkan Nabi menyangkut strategi perang itu,” katanya.
Padahal, tambah pria kelahiran Kudus itu, dalam konteks sejarah, umat Islam sudah hampir menang dalam Perang Uhud. Seandainya para pemanah di puncak Uhud itu tidak turun gunung demi mengambil harta rampasan perang. Secara cerdas waktu itu mereka terbuai taktik pimpinan Khalid bin Walid—sebelum ia masuk Islam.
Selain itu, bagaimana musibah terjadi karena perbuatan manusia juga bisa kita pelajari dari Surat Asy-Syuraa ayat 30: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”.
Natural VS Man Made Disaster
Kalau kita lihat dari sudut pandang kajian ilmiah, termasuk sosiologis, musibah muncul karena dua sebab: alamiah (natural disaster) dan akibat perilaku manusia (man made disaster).
“Walaupun keduanya—alami maupun karena perilaku manusia—memberi pemahaman meliputi hukum alam atau sunnatullah,” ujarnya.
Mukti menyatakan, virus ini bagian dari makhluk Allah yang muncul karena kita melanggar ketentuan-Nya: kita tidak hidup bersih. “Tidak hidup sehat, padahal kita diperintahkan mengonsumsi halalan tayyiban,” jelasnya.
Jika melihat dari sudut pandang akibat, maka musibah bersifat predictable (bisa diperkirakan) dan unpredictable (tidak bisa diperkirakan).
“Tadi pak dokter sudah menyampaikan bagaimana prediksi-prediksi yang diakibatkan pandemi Covid-19. Beliau menjelaskan dari pendekatan epidemiologi bagaimana Covid-19 terjadi dengan segala penjelasan ilmiahnya tadi,” ungkapnya menjabarkan musibah yang bisa diperkirakan.
Hal ini, menurut Mu’ti, menunjukkan bagaimana sebenarnya Covid-19 menjadi sesuatu yang bisa diperkirakan. “Walaupun memang tidak bisa dihentikan, saya kira, tidak bisa sepenuhnya dihapuskan,” komentarnya.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah periode 2002-2006 itu menerangkan, akibat musibah yang unpredictable bisa saja menyangkut akibat-akibat lain—yang sangat luas—yang menyertainya, di luar virus itu sendiri.
Masalah pandemi Covid-19 yang sangat terasa menurut Mukti adalah ekonomi. “Itu unpredictable, tidak bisa diprediksi bagaimana dampak ekonomi terbesar yang Indonesia alami saat ini. Bagaimana ekonomi Indonesia sampai minus lima persen, hingga sekarang belum juga bisa recovery dari itu,” jelasnya.
Selain itu juga, dunia pendidikan juga termasuk akibatnya yang tidak bisa kita perkirakan. “Pak Rektor dan Pimpinan amal usaha di sini merasakan bagaimana akibat Covid ini terhadap kesehatan finansial kampus, terhadap mental peserta didik,” terang pria berusia 52 tahun itu.
Sebab, menurutnya, kita semua tidak siap dengan situasi ini, sehingga masih gugup dan gagap. “Di antara gugup dan gagap itu ada grudak-gruduk , maka banyak juga penyelesaian yang grudal-gradul ,” ucapnya sambil tertawa.
Akibat lain yang tidak terprediksi juga menyertai aspek sosial. Misal, pada fenomena baby booming (angka keahiran meningkat). Mu’ti menggunakan istilah “Baby-baby Corona” untuk anak-anak yang lahir pada masa pandemi ini. Hal ini karena banyak yang menetap di rumah saja.
Tapi di sisi lain, Mu’ti mengungkap, di rumah saja juga mengakibatkan naiknya tindakan kekerasan domestik dan kasus perceraian. Hal ini menunjukkan bagaimana pandemi Covid-19 merubah bagaimana kita berperilaku, baik kaitannya dengan hal-hal bersifat keagamaan maupun yang bersifat keseharian.
Menangani dengan Diniyyah dan Ilmiah
Menangani pandemi, menurut Mu’ti, bisa menggunakan pendekatan diniyyah (spiritual). Yaitu dengan memperkuat mental spiritual, dengan beribadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. “Karena kita memahami musibah pandemi terjadi di luar kehendak kita, baik secara pribadi maupun bangsa,” kata dia.
Pendekatan diniyyah ia nilai penting. “Agar apapun yang terjadi terhadap diri kita adalah sesuatu yang terbaik, dan mudah-mudahan ketika sesuatu terjadi pada diri kita, kita dalam keadaan sedang berbuat baik,” harapnya.
Yang kedua, bisa menggunakan pendekatan ilmiah yang disertai penerapan sunnatullah dan teori-teori ilmiah tergantung dari jenis penyakit atau wabah. “Ini penting karena segala sesuatu terjadi menurut hukum alam. Semua makhluk Allah mengikuti apa yang ada di dalam hukum-hukum Allah dan hukum di kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Mu’ti lantas menerangkan kita bisa mencegah musibah dengan meningkatkan pemahaman (point of view) atas sunnatullah dan teori ilmiah. Artinya, segala sesuatu bisa terjadi dan penjelasan ilmiahnya bisa kita temukan kalau kita memahaminya.
“Kalau hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta ini bisa kita ketahui, maka kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Dengan prediksi itu, kita bisa mencegah atau mengantisipasi agar kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam perhitungan ilmiah itu dapat dihindari,” jelasnya.
Dari penjelasan dr Pandu, Mu’ti membuktikan bahwa kita bisa menjelaskan Covid dengan ilmiah. “Para ilmuwan bisa menjelaskan bagaimana makhluk virus yang tidak bisa dilihat dengan mata itu, dengan dibantu alat canggih, bisa terlihat,” paparnya.
Sesuatu yang sangat kecil itu, lanjutnya, bisa menimbulkan perubahan dan dampak luar biasa. Ia menegaskan, ini bukan terjadi secara alamiah saja karena semua terjadi atas kehendak mutlak Allah.
Sebab, berdasarkan kajiannya terhadap al-Quran, Allah juga tidak malu menciptakan makhluk seperti itu. Innallaaha laa yastahyii an yadlriba matsalan maa bauudlotan fa maa fauqohaa .
“Allah tidak malu membuat perumpamaan dan pelajaran bagi manusia dengan makhluk yang bernama baudzoh atau yang lebih rendah dari itu,” tuturnya. (*)
Bedah Pandemi dari Perspektif Teologis dan Sosiologis. Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni