Orang yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa dan Cara Mengqadhanya ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Orang yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa dan Cara Mengqadhanya ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Abu Salamah berkata; Aku mendengar Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Aku berutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali pada bulan Sya’ban”. Yahya berkata: “Karena dia sibuk karena atau bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari)
Mengqada Puasa
Mengqada puasa merupakan rukhshah atau dispensasi atau keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini Allah mengehendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesukaran:
..يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ ..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah 185)
Betapa baiknya Allah yang memiliki rasa sayang yang besar kepada hamba-Nya, seolah Allah sangat peduli dengan keadaan atau kondisi hamba yang sedang mengalami kesulitan atau keberatan.
Dan begitulah agama ini sesungguhnya mudah dan sederhana janganlah kemudian dipersulit dengan hal-hal yang di luar apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa
Dalam Surah al-Baqarah, yang berkenaan dengan puasa Ramadhan ada tiga kriteria orang yang berhak mendapatkan dispensasi untuk tidak puasa, sebagaimana firman-Nya:
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah; 184)
Pertama, orang yang sakit. Orang yang sakit, yang masih ada harapan untuk sembuh maka ia boleh membatalkan puasanya atau tidak berpuasa. Di antara para ulama memasukkan kriteria ini adalah para pekerja berat yang tidak memungkinkan secara fisik untuk berpuasa dan konsekwensinya ia harus mengganti di hari yang lain sebanyak puasa yang ditinggalkannya, misalnya di hari ia libur bekerja.
Juga termasuk ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui juga terkategori ini. Tetapi jika masih merasa berat untuk mengqadha maka ia boleh dengan membayar fidyah saja. Hal ini masyhur sesuai pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radiyallahu anhuma.
Tetapi ada juga pendapat dari para ulama bahwa ia tetap harus mengganti di hari yang lain setelah merasa mampu menjalankannya. Yang berpendapat demikian termasuk madzhab Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’I dan Imam Hambali.
Kedua, orang yang dalam perjalanan atau musafir. Jika dalam perjalanan itu sangat memberatkan baginya untuk menjalankan puasa makai a boleh membatalkan puasanya. Di antara syarat utamanya adalah perjalanan itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Dan dengan sebab demikian maka ia harus mengganti di hari yang lain.
Ketiga, orang yang tidak sanggup berpuasa, entah karena sudah tua renta sehingga fisiknya tidak memungkinkan untuk berpuasa, atau orang yang sakit dan secara medis tidak ada harapan untuk sembuh.
Maka ia boleh tidak berpuasa dengan menggantinya membayar fidyah yaitu nishfu sha’ ai kilu jarami wa nishfu taqriban. Yakni satu setengah kilo gram atau yang mendekati itu berupa bahan makanan pokok, atau menyiapkan makanan dan mengundang orang miskin.
Dalam ketentuan ini boleh-boleh saja jika dikeluarkan berupa bahan makanan pokok yang diberikan kepada satu orang miskin saja jika memang ia sangat kelihatan kemiskinannya di antara yang lain.
Dan waktunya menurut para ulama boleh setiap hari di keluarkan atau di awal Ramadhan atau tengah Ramadhan dan juga di akhir Ramadhan. Dan para ulama bersepakat tidak boleh diganti dengan berupa uang, karena secara redaksinya adalah tha’am yakni berupa makanan. Wallahu a’lam.
Waktu Mengqadha puasa Ramadhan
Qadha atau atau mengganti dalam hal ini puasa Ramadhan karena sebab-sebab di atas, merupakan bagian dari wujud dari sifat Rahman Rahim Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena agama ini memang dikonsep untuk tidak memberatkan kepada hamba-hamba-Nya.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah 186)
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj 78)
Termasuk bagi mereka yang tidak mampu membayar fidyah, para ulama dengan bersandar ayat-ayat di atas berpendapat tidak masalah (laisa alaihi syai’), karena memang fidyah itu juga bagi yang mampu membayarkannya. Termasuk dalam hal ini jika sudah pikun atau hilang ingatannya walaupun ia mampu atau memiliki harta. Karena ibadah itu bagi yang mukallaf.
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ وَأَطِيعُواْ وَأَنفِقُواْ خَيۡرٗا لِّأَنفُسِكُمۡۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (at-Taghabun; 16)
Dengan demikian, sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin di atas, Ibunda Aisyah radliyallahu anha berkata, bahwa beliau dapat mengqadha puasa di bulan Sya’ban.
Dengan bersandar pada hadits ini para ulama berpendapat waktu mengqadla puasa adalah sebelum datangnya Ramadhan berikutnya, sehingga kalau melampui waktu Ramadhan berikutnya maka ia berdosa.
Tetapi pun demikian ada juga yang berpendapat bahwa menqadha puasa itu tidak dibatasi waktunya kapan saja, karena redaksi ayat tidak memberikan keterangan batasan akan hal itu. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Orang yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa dan Cara Mengqadhanya: Editor Mohammad Nurfatoni