Bila Allah Tidak Butuh Puasa Kita, ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Orang yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa dan Cara Mengqadhanya ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: ‘Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makanan dan minumannya.'”
Esensi Puasa
Puasa itu tidak makan, minum, dan berkumpul suami istri dari Subuh sampai Maghrib. Dengan puasa demikian, secara syariah, puasa kita sah. Tetapi secara hakikat puasa demikian belum mendapatkan esesinya. Karena itu setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya ada maqashidusysyari’ah atau maksud disyariatkan ibadah itu.
Puasa pada awalnya adalah menahan apa yang dapat membatalkan puasanya itu. Akan tetapi tentu ada maksud di balik perintah puasa itu. Yaitu agar, di samping, menahan lapar dan dahaga dan juga nafsu seksual. Kita diharapkan juga menahan lisan dari berkata dusta atau yang tidak berguna. Juga perbuatan yang tidak berguna, yang dapat merugikan atau menyakiti hati orang lain.
Kompilasi Hukum Islam
Dalam kehidupan kita dikenal dengan lima kerangka hukum Islam yang harus diperhatikan. Dua hal yang berlawanan yaitu wajib atau fardlu dan halal yang lawannya adalah haram. Sunnah lawannya makruh atau bidah. Dan mubah.
Wajib atau fardlu dan halal telah dijelas dalam agama ini, demikian pula yang diharamkannya. Nash yang menjelaskan posisi hukum ini sangat jelas baik di dalam al-Quran maupun Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam. Hukum wajib atau fardlu berarti tidak boleh ditinggalkan oleh setiap mukmin-mukminah. Tidak diperkanankan seorang hamba menentukan sendiri hukum wajib atau fardlu ini kecuali yang hanya telah ditetapkan berdasar syara’.
Konsekwensi dari hukum ini adalah seseorang tidak dianggap beragama Islam jika tidak menjalankannya, terutama jika dengan keyakinan bahwa hal tertentu itu tidak wajib bagi dirinya. Dalam hal ini pasti juga ada maksud dari diwajibkannya kewajiban ini, bukan sekedar diwajibkan tanpa tujuan yang jelas.
Sedangkan hukum halal adalah berkaitan dengan persoalan makanan dan minuman. Dan hal ini diberikan pilihan-pilihan sesuai selera masing-masing. Maka lawan dari hukum ini adalah apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ وَلَوۡلَا كَلِمَةُ ٱلۡفَصۡلِ لَقُضِيَ بَيۡنَهُمۡۗ وَإِنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura; 21)
Sedangkan yang sunnah juga demikian. Dengan definisi jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak masalah. Maka yang makruh sebaliknya, jika dikerjakan tidak masalah jika ditinggalkan mendapat pahala.
Sedangkan bidah itu jika ditinggalkan lebih baik dan tentu berpahala—menjalankan sunnah atau sabda Nabi—karena jika dikerjakan malah mendapat ancaman sebagai perbuatan yang sesat dan mengantarkannya dimasukkan ke dalam neraka. Dalam kaitan ini khususnya adalah dalam masalah ibadah mahdlah.
Sedangkan yang mubah adalah keadaan yang tidak membawa dampak dosa atau pahala. Dalam hal ini tentu dijalankan atau tidak dijalankan tidak masalah. Dan masalah ini yang terutama berkaitan dengan masalah keduniawiaan, yaitu pilihan-pilihan mana yang ditentukan berdasar pertimbangan pribadi.
Akan tetapi jika pilihan aktifitas itu menambah kebaikan maka akan menjadi berpahala, dan sebaliknya jika pilihan aktifitas itu menambah keburukan maka di dalamnya akan menambah dosa.
Maqashidusysyari’ah dalam Puasa
Puasa sebagai ibadah wajib atau fardlu bagi setiap mukmin -mukminah, pasti di dalamnya mengandung maksud dari disyariatkannya. Yang tidak hanya untuk menahan lapar dan dahaga tetapi lebih dari itu—sebagaimana penjelasan dari hadits di atas—adalah adanya upaya untuk merekonstruksi diri sendiri. Memperbaiki diri dari segala sifat yang tidak semestinya.
Kita mengaku sebagai hamba Allah maka kita harus mau melakukan perlawanan terhadap nafsu diri sendiri yang selalu cenderung ke arah negatif. Dan memang begitulah pertempuran yang sangat dahsyat ini jangan sampai melemahkan diri kita, sehingga bendera kemenangan nafsu berkibar karena telah mampu menaklukan diri ini. Justru harus sebaliknya, diri ini dapat menaklukkan nafsu sehingga lemah tidak berdaya dan akhirnya mampu kita kendalikan dengan kendali iman kepada Allah SWT.
Dengan pengertian lain bahwa jika puasa ini tidak dapat memperbaiki sifat diri untuk tunduk kepada hukum Allah, maka puasa ini tidak memiliki makna yang berarti, boleh dikatakan puasa ini adalah sia-sia belaka. Tetapi apakah kemudian sebaiknya kita tidak berpuasa saja, karena toh sia-sia? Tentu tidak demikian maksud hadits di atas, puasa tetap harus dijalankan, tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran untuk terus-menerus memperbaiki diri dari penguasaan nafsu atas diri kita.
Kemenangan Itu jika Mampu Menundukkan Nafsu
Nafsu dalam diri ini tidak bisa hilang, tetapi ia dapat ditundukkan dengan nilai akidah yang ada dalam diri kita. Sekuat apa akidah dalam diri ini sekuat itulah nafsu dalam diri ini dapat dikuasai. Tetapi jika nafsu yang dominan maka diri kita akan dikuasai nafsu yang tidak akan pernah puas dan selalu buas.
أَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيۡهِ وَكِيلًا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (al-Furqan: 43)
Semoga dengan puasa ini kita dapat lebih jernih membaca dan melihat keadaan diri dan sekeliling kita, untuk kemudian dapat melanjutkan kehidupan ini dengan lebih bijak dalam rangka berkhidmat untuk kemaslahatan kehidupan bersama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni