PWMU.CO – Gift-Giving, Rahasia Eksistensi Umat Manusia Gift-Giving bisa mempertahankan eksistensi umat manusia, sehingga begitu besar Islam menganjurkan manusia melakukannya.
Demikian Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Drs Hajriyanto Yasin Thohari MA menyampaikannya pada Kajian Ramadhan 1442 H yang digelar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ahad (18/4/21).
Hajriyanto memaparkan teori relasi sosial dari seorang ahli antropologi Marcel Mauss, dalam bukunya yang berjudul The Gift (1954). “Manusia atau spesies Homo Sapien itu bertahan dan tidak punah sampai hari ini karena memberi dan saling memberi (gift-giving),” ujarnya.
Manusia, lanjutnya, sebenarnya dilahirkan di dunia ini dengan tiga kewajiban utama: memberi, menerima pemberian, dan membalas pemberian itu kepada orang yang memberikan atau orang lain.
Saling beri-memberi (gift-giving)—beda dengan giving gift yang berarti memberi hadiah—itu terus berkembang dan membesar, berputar berkepanjangan dan berputar tak berkesudahan.
Hal ini tampak pada ilustrasi yang Hajriyanto bagikan, di mana ada banyak titik (sebagai homo sapien) dengan banyak garis yang menghubungkan hingga membentuk banyak tanda silang (menunjukkan hubungan saling memberi).
Inilah yang menjadikan sistem sosial bertahan dan homo sapien sampai hari ini belum punah. “Sistem dan mekanisme sosial yang mengontrol dan mengatur gift-giving itu!” terang Duta Besar Indonesa untuk Lebanon ini..
Refleksi Gift-Giving
Hajriyanto lalu mengajak refleksi mengapa beri-memberi bisa mempertahankan eksistensi umat manusia. Berikut pertanyaan refleksi yang ia lontarkan:
Apa jadinya kalau ibu tidak memberikan air susu ibu (ASI) kepada anaknya; ayah tidak memberikan nafkah kepada istri dan anaknya; guru tidak memberikan ilmunya kepada muridnya?
Atau lebih luas lagi, apa jadinya kalau generasi terdahulu tidak memberikan warisan—pengetahuan dan pengalaman di berbagai bidang—kepada generasi sesudahnya? Orang yang (semestinya) mampu memberi kepada yang kurang/tidak mampu tapi tidak memberikannya?
Apa jadinya jika sebuah keluarga tidak bersedia memberikan anak perempuannya kepada keluarga lainnya untuk dinikahi, tidak ada keluarga yang mau menerima pemberian anak perempuan dari keluarga lainnya, orang tidak membalas pemberian?
“Homo sapien pastilah akan punah!” tegasnya.
Hajriyanto menyatakan, selain ada kewajiban memberi, juga ada kewajiban menerima. Di mana semua itu ada sistem sosial yang mengontrolnya. Bagi orang yang tidak mau memberi, akan mendapat sanksi sosial: mendapat julukan pelit, egois, atau bakhil.
Begitupula jika orang tidak mau menerima. Sanksi sosialnya mendapat julukan: congkak, sombong, dan takabur.
Apa jadinya kalau orang tidak membalas pemberian? Hajriyanto kembali mengajak refleksi dengan melontarkan beberapa pertanyaan: ‘”pa jadinya kalau bayi tidak menerima ASI pemberian ibunya, murid tidak menerima ilmu pemberian gurunya, orang menolak pemberian orang lain?”
Intinya, dia menyimpulkan, manusia lahir di muka bumi ini dengan kewajiban memberi. Itulah yang mempertahankan kehidupan ini. Kewajiban memberi, menerima, dan membalas inilah yang mengharuskan orang bekerja dan produktif.
Memberi: Makna Instrumental Ibadah
Hajriyanto menyatakan, memberi adalah jantung dan makna instrumental dari ibadah—seperti iman, shalat, puasa, dan lainnya—dalam Islam.
Lantas Hajriyanto mengutip ayat awal al-Quran, yaitu surat al-Baqarah ayat 3, di mana orang Islam digempur dengan iman kepada yang ghaib, shalat, dan infak.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِا لْغَيْبِ وَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Juga dalam surat al-Lail mulai ayat 5-7: “Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan),”
Tapi sebaliknya, dalam surat al-Lail ayat 8-11: “Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan), dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.”
Kemudian ada anjuran memberi lagi, dalam surat al-Lail ayat 17-19: “Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya.”
Tapi, Hajriyanto menerangkan, ‘memberi’ pada surat tersebut berbeda dengan konsep Mauss yang tidak mengenal free give (pemberian yang gratis), bahkan dalam konsep Mauss seseorang punya kewajiban untuk memberi juga, dan membalas pemberian itu.
“Tapi Mauss tidak mampu menjelaskan bagaimana memberi kepada orang lain karena Allah, bukan karena harapan untuk mendapat balasan dari pemberian itu,” jelas Hajriyanto.
Sedangkan Islam, lanjutnya, mengenal konsep “memberikan itu semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi” sebagaimana dalam surat al-Lail ayat 20.
Hajriyanto menegaskan, jika sudah tidak ada beri-memberi, homo sapien akan punah. Karena itu, begitu besar penekanan Islam di dalam al-Quran mengenai pemberian itu. Kemudian dia mengingatkan, agar orang tetap memberi, baik pada masa normal maupun masa pandemi. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni