PWMU.CO – Ketika Ahli Viralogi Ketemu Ahli Virologi. Bukan Prof Abdul Mu’ti kalau tidak bikin gerr-gerrean sebuah forum. Pantas saja, julukannya kan Bapak Muhammadiyah Garis Lucu.
Begitulah yang terjadi saat berlangusng “Kajian Ramadhan 1442 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim” yang digelar secara virtual, Sabtu (17/4/21).
Ceritanya, pada pengajian yang digelar sejak pagi hingga siang itu, dia kebagian menyampaikan materi yang terakhir. Tepat sebelumnya, ada Pandu Riono yang membahas pandemi dari perspektif kesehatan.
Tak menyia-nyiakan kesempatan sebagai pemateri ber-DNA lucu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu langsung melancarkan joke–joke segarnya.
Sambil ketawa, Abdul Mu’ti mengenalkan dirinya sebagai ahli viralogi. Rupanya dia untuk mengimbangi nara sumber sebelumnya, yang ia plesetkan sebagai ahli virologi.
“Kalau Pak dr Pandu tadi ahli virologi, kalau saya ahli viralogi, cuma memviralkan aja apa yang sudah ditulis oleh berbagai kalangan,” candanya, disambut gelak tawa peserta yang tampak dari ekspresi wajah mereka. Maklum tidak seperti forum tatap muka, ketawa peserta forum Zoom tidak bisa didengar karena mereka menonaktifkan mikropon.
Jelas Abdul Mu’ti sedang melucu, karena setelah itu, dia memaparkan secara serius dan mendalam pandemi dari perspektif teologis dan sosiologis—sesuai dengan keahliannya sebagai Guru Besar Bidang Pendidikan Agama Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebelumnya, Pandu Riono memang banyak membahas soal Covid-19, sesuai bidang keahliannya yaitu ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Baby-Baby Corona
Di tengah materinya yang serius, Mu’ti kembali melontarkan candaan. Menurutnya, kita ini tidak siap dengan situasi pandemi Covid-19. Jadi masih gugup dan gagap dalam mengambil sikap.
“Di antara gugup dan gagap itu ada grudak-gruduk. Maka banyak juga penyelesaian yang grudal-gradul ,” ucapnya dengan santai, sambil tertawa beberapa saat, baru lanjut menyampaikan materinya lagi.
Mu’ti juga menyindir fenomena baby booming (angka kelahiran meningkat) dengan leluconnya. Dia menggunakan istilah “baby-baby Corona” (anak-anak Corona) untuk anak-anak yang lahir pada masa pandemi ini.
“Lha kenapa anak-anak Corona ini banyak terjadi?” tanyanya retoris.
“Karena penduduk Indonesia ini sebagian besar kalangan muda, dan sekarang kan mayoritas tinggal di rumah saja. Ternyata di rumah saja itu banyak juga yang dikerjakan di rumah, sehingga kalau awal-awal muncul istilah lockdown itu tidak sekadar lockdown, tapi kemudian ada “down” yang lain yang berakibat pada meningkatnya angka kelahiran,” jelasnya dengan ekspresi datar khasnya, kali ini tanpa tertawa. Tapi, peserta malah ketawa.
Esktrem Kanan dan Kiri Covid-19
Tak cukup itu. Abdul Mu’ti masih saja melucu ketika berinteraksi dengan moderator di tengah materi.
“Prof Abdul Mu’ti, bagaimana cara menjawab teman yang bertanya perihal Covid yang terlalu ekstrem kiri dan ekstrem kanan…” belum selesai moderator mengulangi pertanyaan salah satu peserta, Mu’ti sudah tertawa.
Lalu moderator melanjutkan, “… di kalangan mahasiswa atau masyarakat lain yang susah meyakinkannya?”
“Saya belum tahu. Yang kanan bagaimana. Yang kiri bagaimana, he-he-he … Jangan-jangan ada yang kanan-kiri oke malah?” jawabnya sambil tertawa, lalu disambut tawa yang lainnya.
“Mungkin begini ya. Yang kiri itu kan, mohon maaf ya, terlalu mengandalkan hal-hal yang sifatnya ilmiah murni. Dan berpendapat, pandemi ini sama sekali tidak ada hubungan dengan agama. Mungkin begitu kira-kira. Itu ashabul syimal-nya kira-kira itu,” jelas ahli viralogi itu, eh!
“Kalau asyhabul yamin (kelompok kanan) berpendapat ‘Yasudahlah kalau ditakdirkan kena Covid ya kena, kalau nggak ya nggak‘,” ujarnya.
Sebaliknya, menurutnya, golongan kanan ini mengabaikan semua hal yang sifatnya ilmiah. Dia menyadari ini memang sering terjadi di masyarakat.
Abdul Mu’ti Dapat Gelar Baru LC
Lantas ia menceritakan gelar barunya. “Saya ini termasuk dapat gelar LC, Pak Dokter Pandu. Saya Lulusan Covid (LC) juga,” ujarnya sambil tertawa. Diikuti gelak tawa lainnya.
“Tapi sudah vaksinasi, Pak?” tanya Pandu Riono.
“Sudah vaksinasi satu.”
“Oke….” jawab Pandu.
Kemudian Mu’ti fokus refleksi diri. “Saya mencoba semaksimal mungkin mengikuti protokol. Walaupun kadang-kadang muncul kejenuhan mengikuti protokol itu,” ungkap Abdul Mu’ti LC (bukan gelar yang sebenarnya).
Tapi memang karena persoalan kesibukan dan tugas-tugas, tidak mungkin ia tidak melaksanakan kegiatan di luar rumah.
“Memang ada saat di mana saya secara personal abai protokol 3M yang disampaikan para ahli kesehatan itu dalam hal tertentu memang tidak bisa kita ikuti secara penuh,” katanya.
Ia mengaku agak susah untuk tidak bersalaman. “Apalagi saya ingat, ya. Waktu itu ada sebuah acara keluarga. Saya bertemu dengan kawan-kawan lama ketika saya masih di kampung,” tuturnya.
Nah, lanjutnya, mereka itu seperti … Boleh cerita sedikit, lah. Seperti bertemu idola, begitu. Mengucapkan ini, Mu’ti tidak kuasa menahan tawanya. Begitupula yang lain, tawa terdengar beberapa saat.
“He-he-he … seperti bertemu idola yang sekian lama nggak ketemu, hanya lihat di kayar kaca. Mereka ini excited betul ya, he-he-he …,” ceritanya.
Dari situ, tambahnya, tidak terhindarkan untuk tidak shaking hand (menjabat tangan). Padahal ia paham, menurut protkes tidak boleh bersalaman apalagi berpelukan. “Seperti Telettubbies he-he-he … itu kan tidak boleh,” ujarnya sambil tertawa lagi.
“Jadi kalau dulu ada acara berpelukan seperti Telettubbies, selama Covid ini kan nggak (berpelukan),” imbuhnya.
Ia kemudian mengaku telah membuktikan secara pribadi bagaimana pentingnya mengikuti prokes. “Walaupun juga ada alumni Covid mungkin sangat disiplin dan tidak pernah ke mana-mana tapi kena (Covid) juga,” terangnya.
Untuk itu, menurutnya, ikhtiar yang sifatnya ilmiah dan mengikuti panduan protkes yang ada memang penting.
Saat dinyatakan positif, Mu’ti juga seperti tidak percaya. “Tapi saya ikuti semua yang disampaikan oleh para dokter. Saya termasuk konsultasi ke Pak Dokter Suko (Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya) dan alumninya banyak di PWM itu he-he-…he,” ungkapnya sambil tertawa.
Begitu ia dinyatakan positif Covid-19, semua teman menasehatinya untuk senantiasa berpikir positif dan ber-taqorrub kepada Allah. Menurutnya, ini memang ternyata mendatangkan ketenangan jiwa.
Mu’ti menyatakan, dalam kondisi itu, banyak yang tidak bisa semata-mata diatasi dengan medis. Pendekatan mental juga diperlukan. Misalnya, membangkitkan optimisme atau bersama-sama dengan komunitas alumnus LC untuk saling berbagi pemgalaman.
Ia juga menekankan pentingnya sikap atau mindset dalam menghadapi sesuatu untuk mendukung kesembuhan. “Memang tidak mudah menjelaskannya, tapi kalau pengalaman ini bisa dikumpulkan menjadi bunga rampai dari mereka yang survive (bertahan) adalah cara menjelaskan betapa pentingnya ilmu dan agama,” terangnya. Kali ini serius, tanpa gerrrrr (*)
Ketika Ahli Viralogi Ketemu Ahli Virologi: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni