PWMU.CO – Meluaskan Makna Yatim dan Miskin disampaikan Budi Setiawan ST, Selasa (20/4/21) menjelang Maghrib. Itu bagian dari tanggung jawab menegakkan nilai kemanusiaan, karena manusia— khalifatul fil ard —bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam semesta
Budi adalah Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah atau lebih dikenal dengan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).
Dia menyampaikannya pada kajian Ramadhan Sehat dan Aman. Program kajian virtual spesial Ramadhan ini persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu dan Wardah.
Budi menyatakan, penting menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga manusia akan kembali pada fitrahnya. Karena sejak Nabi Adam sampai sekarang fitrahnya manusia sama, yaitu bertahan hidup melawan keganasan alam. Kalau sekarang melawan penyakit.
Dan ini, sambungnya, hanya bisa dilakukan dengan kerja sama. Muhammadiyah tidak mungkin berjalan sendiri, meskipun punya jejaring yang luar biasa.
Khalifah, Kemanusiaan dalam Ajaran Islam
Budi mengisahkan penciptaan manusia dalam surat al-Baqarah yang memuat dialog Allah dengan malaikat ketika Dia akan menciptakan manusia.
“Saat Allah mengatakan, innii jaa`ilun fil ardhi khalîfah , malaikat komplain: ‘Ya Allah kenapa Engkau mau menciptakan manusia yang punya hobi saling membunuh dan berbuat kerusakan?’,” ujar Imam Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta itu.
Lantas Allah yang Maha Bijak mengatakan, “Aku lebih ngerti.”
Peringatan malaikat itu, lanjut Budi, menjadi isyarat manusia punya potensi berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal, Allah mengatakan fungsi manusia sebenarnya adalah khalifatul fil ardh (khalifah di bumi).
“Untuk itu, penting manusia menyadari dirinya dan tugas utamanya (sebagai) khalifah: (mengelola) bumi beserta isinya,” ujarnya.
Yang juga penting untuk manusia, menurutnya, adalah mengendalikan potensi diri yang merusak itu.
Budi lanjut bercerita bagian menariknya. Saat Allah menciptakan Adam—untuk membandingkan kelebihan dan kekurangan Adam dibanding dengan malaikat—Allah bertanya kepada malaikat, “Sebutkan nama-nama!”, malaikat ternyata tidak mengerti.
Tapi saat Allah meminta Adam menyebutkan nama-nama, Adam cepat sekali menjawabnya. “Di sinilah kita melihat kelebihan manusia dibanding malaikat: ilmu. Dengan ilmu itulah manusia ditugasi untuk mengelola alam semesta,” terangnya.
Budi menjelaskan, selain membekali manusia dengan ilmu, Allah juga memuliakan manusia. Laqad karamna bani Adam: Muliakanlah bani Adam itu di darat maupun di laut!
Kemudian, tambahnya, pada surat at-Tin, menunjukkan Allah menciptakan manusia pada sebaik-baik kejadian. Laqad khalaqnal insana fii ahsani taqwim .
Nilai Dasar Khalifah fil Ardh
Lalu Budi mengajak kembali melihat sejarah, bagaimana Adam turun ke bumi karena “dihukum” Allah dengan tidak menggunakan pakaian. Adam segera menutupi dirinya dengan daun-daun yang ada. Menurutnya, ini menunjukkan nilai dasar manusia—adab atau akhlak manusia—adalah pakaian.
Dari waktu ke waktu, dengan kecerdasan dan kreativitasnya, manusia bisa menciptakan pakaian seperti yang kita pakai sekarang. “Dulu mulai dari memakai daun-daun, kemudian kulit binatang. Sekarang, dengan ilmunya, manusia menjadi sangat luar biasa,” ucap Budi.
Maka, sambungnya, dalam mengupayakan pakaian pun kita tidak boleh melupakan fungsi manusia untuk mengelola lingkungan. “Pakaian tetap harus mengenal fungsi lingkungan,” tuturnya.
Begitu pula dalam bidang lainnya, misal untuk mencari makan. Awalnya hanya untuk ambil makanan di mana pun, lalu berkembang untuk bercocok tanam. “Dalam pengelolaan itu, manusia yang mestinya menggunakan ilmunya untuk bercocok tanam, tapi (kemudian) bersaing dengan hewan buas. (Jadi) lama-lama menciptakan senjata, dari batu sampai logam,” ungkap Budi.
Dia juga menyatakan, sejak peristiwa Habil-Qabil, ada fenomena perebutan terus-menerus. Lalu Allah memerintahkan Nabi dan Rasul untuk mengingatkan fungsi manusia di bumi sebagai khalifah .
Ajaran Kemanusiaan Kiai Dahlan
Budi mengajak untuk mengingat sejarah masyarakat Muslim, di mana masyarakat Jawa kala itu terjajah, tidak terdidik, dan miskin. Kiai Dahlan—sebagai ulama yang mengkaji al-Quran sehingga paham fungsi manusia—tergelitik, “Islam itu harusnya membuat manusia sejahtera, cukup penghidupan, dan saling menghormati,” tuturnya.
Tapi kok manusia jauh dari kondisi seperti itu? Lalu Kiai Dahlan mengkaji al-Quran dan berdialog dengan para ulama. Ia melihat ada yang salah dengan pemahaman yang ada.
Budi mengatakan, melalui surat al-Maun, Kiai Dahlan fokus mengajak muridnya mengamalkan nilai kemanusiaan. “Sudahkah kamu menolong anak yatim? Kamu mau gak disebut orang yang mendustakan agama? Maka bantu anak yatim, bantu fakir miskin!” ucapnya menirukan Kiyai Dahlan.
Mendengar itu, sambungnya, murid Kiai Dahlan langsung lari ke alun-alun mencari anak yatim dan fakir miskin. “Mereka butuhnya apa? Makan. Jadi ya diberi makan! Badannya kotor… Suruh mandi dulu, dikasih baju, baru diajak makan,” ceritanya.
Menurut Budi, Kiai Dahlan memahami apa yang benar-benar menjadi kebutuhan. “Jangan kita berjalan muluk-muluk kalau orangnya lapar. Itu nilai dasar manusia yang butuh makan. Ajaran agama jelas menuntun manusia sejahtera,” tegasnya.
Perluasan Yatama dan Sakana
Melihat asal katanya, yatama (anak yatim) itu tidak terperhatikan. “Jadi bukan yang tidak punya bapak, tapi anak terlantar itulah anak yatim,” jelas Budi.
Ia manambahkan, orang miskin bukan mereka yang tidak punya uang, tapi memang saat itu butuh bantuan. Budi pun menceritakan saat evakuasi merespon bencana Merapi.
“Tengah malam kita lari-lari. Ada orang dalam mobil bagus teriak minta tolong. Saya yakin orang itu kaya, tapi saat itu dia miskin! Meskipun mungkin punya tabungan di bank, tapi saat itu ia minta tolong!” jelasnya.
Di sini, Budi mengajak untuk meluaskan pengertian anak yatim dan orang miskin. Kemudian dia mengingatkan, “Kita wajib menolong orang-orang yang terlantar dan orang miskin. Inilah yang harus kita kembangkan, sehingga nantinya kita bisa berbuat lebih banyak.”
Budi mengungkap, akar kata orang miskin adalah “sakana“, yaitu tenang tapi tidak berdaya. Orang tidak bisa mengatakan apa kebutuhannya karena terlalu tidak berdaya. “Maka kita harus aktif mendatangi orang tersebut. Kita teliti, bukan tanya dia butuh apa!” tuturnya.
Karena, sambungnya, kadang orang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dirinya butuhkan, asal menyebutkan apa yang dia mau. “Tapi justru secara kelembagaan kita harus mengerti apa kebutuhannya,” kata Budi.
Dalam kebencanaan, ada standar kebutuhan minimal seseorang yang menjadi perhatian. Misal, sehari butuh berapa liter air dan kalori, sehingga bisa menghitung kebutuhannya.
Lebih luas lagi, perlu menyesuaikan juga dengan jenis kelamin dan usianya. Kebutuhan laki-laki dan perempuan beebeda. Kebutuhan anak juga beda dengan kebutuhan orangtua. “Melalui ilmu yang Allah anugerahkan, kita bisa meneliti apa kebutuhan orang,” kata Budi.
Akhirnya, Budi mengungkap tantangan ke depan, yaitu menjawab berbagai kompleksitas kebutuhan seseorang. “Orang kaya butuh yang lain, misal ketentraman. Islam harus bisa memberikan ketentraman. Begitu pula dengan seorang profesional dengan kesibukan kerjanya butuh yang lain juga,” terangnya.
Ke depan, Budi dan timnya akan mengeksplorasi. “Jadi yang diberikan bukan apa yang diminta, bukan apa yang kita punya, tapi apa yang mereka butuhkan,” jelasnya.
Kemanusiaan Masa Kini
Budi mengungkap, kita tidak bisa lagi melakukan kegiatan secara perorangan, tapi tersistem dalam organisasi. “Teman-teman di ranting—yang di pelosok—menjadi bagian kegiatan yang di-remote dari pusat, dan ada feedback, evaluasi,” tuturnya.
Ia menyadari, sasaran dakwah kemanusiaan Muhammadiyah dari Aceh sampai Papua memiliki suasana sosial yang berbeda-beda. Yang perlu diperhatikan mulai sekarang, menurutnya, bagaimana dakwah-dakwah kemanusiaan Muhammadiyah tetap memperhatikan nilai atau kulturnya.
“Saya yakin kita tidak mau menabrak kultur itu selama masih sejalan dan seiring dengan nilai-nilai agama Islam. Islam juga sangat mendukung nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal,” katanya.
Budi sekali lagi menegaskan, Muhammadiyah sebagai organisasi yang besar tetap harus melihat fungsi kemanusiaan. Lantas ia ingat ucapan Hajriyanto Y Thohari—Ketua PP Muhammadiyah—tentang trisula abad ini.
“Ada MDMC-LPB, Lazismu dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), kita gerak bareng dengan lembaga lain, tetap fokus kemanusiaan,” ungkapnya.
Akhirnya, Budi menyadari pandemi mengajarkan betapa nilai-nilai kemanusiaan yang mungkin selama ini agak tersisihkan menjadi sesuatu yang utama. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni