PWMU.CO– RA Kartini sebenarnya bukan pejuang emansipasi dan feminisme seperti yang populer ditokohkan selama ini. Dalam surat-suratnya, dia memahami posisinya sebagai wanita Jawa. Sudah menerima takdirnya sebagai istri keempat Bupati Rembang.
Lantas siapa yang awal mula menokohkan sosok Kartini sebagai pejuang emansipasi? Orang Belanda. Mereka butuh sosok orang Jawa cerdas yang bisa diangkat menjadi simbol keberhasilan politik etik.
Orang Belanda itu adalah Jacques Henrij Abendanon, Menteri Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Dia mengenal Kartini dari sahabatnya Snouck Hurgronje. HJ Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon, akhirnya dekat dengan Kartini dan menjadi sahabat pena.
Ahli sejarah dan sosiolog Harsja W. Bahtiar dalam tulisannya berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita, mengatakan, kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Masuk Lingkungan Elite
Harsja menceritakan, Abendanon mengunjungi Kartini dan dua adiknya di Jepara. Dia lantas menjadi sponsor Kartini untuk memasuki lingkungan elite penguasa kolonial. Berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jenderal pada resepsi di Istana Bogor. Pertemuan ini meninggalkan kesan baik kedua pihak.
Bacaan Kartini akhirnya beragam setelah mendapatkan koran dan buku Belanda. Dalam buku Kartini Sebuah Biografi tulisan Sitisoemandari Soeroto (1979) menceritakan, tahun 1899 di usia 20 tahun, Kartini membuat korespondensi di majalah Belanda, De Hollandsche Lelie.
Dia ingin mengetahui perkembangan pergerakan perempuan di Eropa. Mengenai sikap dan gagasan perempuan di Eropa. Dia mengenalkan diri sebagai anak perempuan Bupati Jepara di Hindia Belanda.
Dia mencari teman korespondensi. Teman perempuan seusia dari Belanda yang paham pemikiran dan perubahan yang terjadi di Eropa. Tulisan Kartini itu mendapat respon dari Estella Zeehandelaar, aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Sejak itu, keduanya saling berkirim surat bertukar pikiran.
Teman korespondensi Kartini lainnya Annie Glasser, guru yang mengajarinya bahasa Prancis. Teman ini dikenalkan oleh JH Abendanon. Juga berkenalan dengan tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur politik etik C.Th. van Deventer.
Door Duisternis tot Lich
Enam tahun setelah Kartini meninggal pada 17 September 1904 di umur 25 tahun, JH Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini pada tahun 1911. Diberi judul Door Duisternis tot Lich. Buku ini juga diterbitkan edisi bahasa Inggris berjudul Letters of a Javaness Princess.
Armijn Pane menerjemahkan buku itu dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran yang terbit tahun 1922.
Setelah buku itu terbit Hilda de Booy-Boissevain mengadakan pengumpulan dana untuk pembangunan sekolah di Jepara, kota kelahiran Kartini. Kemudian dibentuk Komite Kartini Fonds diketuai C.Th. van Deventer pada 27 Juni 1913.
Sejak itu sosok Kartini dipromosikan sebagai orang pribumi pejuang emansipasi kepada orang-orang di Belanda untuk menggalang dana pembangunan sekolah di Jawa. Nama Kartini pun populer di orang kaya Negeri Kincir Angin itu.
Promosi orang Belanda itu terdengar di kalangan pribumi. Terjemahan buku Kartini pun dibaca kalangan aktivis. Setidaknya dalam Kongres Wanita Indonesia pada 22 Desember 1929 sosoknya menjadi bahasan. Sampai-sampai WR Soepratman juga tertarik lalu menciptakan lagu berjudul Raden Ajeng Kartini yang sekarang masih populer setelah diubah syair dan judulnya menjadi Ibu Kita Kartini. Diperkirakan lagu itu digubah sekitar pelaksanaan Kongres Wanita itu.
Ketika Indonesia merdeka, pemerintah langsung mengambil alih penokohan Kartini. Presiden Sukarno pada tanggal 2 Mei 1964 mengeluarkan Kepres No. 108 tahun 1964 tentang penetapan RA Kartini sebagai Pahlawan Nasional dan tanggal lahirnya, 21 April, sebagai Hari Kartini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto