PWMU.CO – Keadilan hukum di Indonesia perlu cepat diselamatkan Dr M Busyro Muqoddas SH MHum sampaikan, Rabu (21/4/21), jelang Maghrib.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik ini menyampaikannya pada kajian Ramadhan Sehat dan Aman.
Yaitu program kajian virtual spesial Ramadhan persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu dan Wardah.
Tiga Aspek Keadilan
Busyro Muqoddas mengatakan, keadilan—tidak terlepas dari keadilan hukum—merupakan wujud konkret kristalisasi pengertian-pengertian moral, etika, dan akhlak.
Yang pertama, moral, berdasarkan pandangan masyarakat tentang kebaikan. Yang kedua, etika, berdasarkan pandangan orang yang berpikir konseptual mendalam, kritis, dan radikal. “Itu tentang baik atau buruk, pantas tidak pantas,” ujarnya.
Sedangkan yang ketiga, akhlak, ialah konsep tentang kebajikan, kejujuran, kesetaraan, dan kedamaian yang langsung datang dari Allah dan Rasulullah SAW.
Busyro menyarakan agar ketiga landasan keadilan itu sebaiknya bersifat komplementer. “Kalaupun ada kekurangan, agama bisa menjiwainya. Begitulah konsep tentang keadilan, termasuk keadilan hukum,” jelas mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Dia sepakat ketiga aspek landasan keadilan itu hadir dan menginspirasi bangsa. “Jika merenung kembali—dengan memperhatikan konsep-konsep yang berbasis filsafat, ideologi, dan historis—pasti akan ditemukan dokumen otentik yang resmi, dan itu sudah tersebar,” terangnya.
Negara ini, lanjutnya, perwujudan organisasi besar yang lahir dari gerakan moral, etika, dan akhlak. Yang mana, tokoh-tokoh bangsa pendahulu telah menerapkannya terhadap gerakan demoralisasi pemerintah kolonial Belanda dulu.
“Pada masa itu, terjadi penjajahan terhadap potensi ekonomi, kultural, dan agama yang perlawanan ini menggumpal menjadi perlawanan rakyat indonesia. Bertaut dengan pertolongan Allah, kemudian lahirlah negara Republik Indonesia,” jelas Busyro.
Lanjutkan Lawan Imoralitas
Negara ini, lanjutnya, secara jujur—sama ucapannya antara hati nurani dengan kewarasan otak—harus diakui merupakan produk gerakan perlawanan terhadap imoralitas: ketidakadilan Belanda waktu itu.
“Keadilan, cita-cita yang diperjuangkan oleh pendahulu, itu pengorbanan yang luar biasa masyaallah!” ujar pria kelahiran Yogyakarta, 17 Juli 1952 itu.
Menurut Busyro, jiwa, komitmen dan visi yang dulu sudah founding fathers tunjukkan—sekarang memperoleh pijakan fakta sosial—harus diupayakan terwujud kembali dengan usaha yang lebih dibanding upaya para founding fathers dulu.
Sebab, pada situasi seperti sekarang, menurut dia terjadi pengulangan penjajahan pada masa lampau—sebenarnya substansinya sama, yaitu penjajahan hakikat kemanusiaan—tapi terwujud dalam bentuk yang lain.
“Saat ini dijajah terus, di situ timbul ketidakadilan yang korban utamanya masyarakat,” ucapnya.
Tokoh-Tokoh Teladan Inspiratif
Di bidang penegakan hukum keadilan di Indonesia tidak lepas dari tokoh-tokoh teladan. Busyro merasa pantas bersyukur karena Indonesia punya banyak sosok tokoh yang bisa menjadi teladan inspiratif.
Untuk itu, Busyro mengimbau generasi muda agar ikut bersyukur. Caranya, berupaya secara ruhaniah dan berpikir dengan kekuatan narasi agar bisa lebih dari sosok-sosok teladan itu.
Lantas ia menyebutkan nama-nama yang bisa menjadi teladan. Tokoh teladan di kejaksaan menurutnya ada Prof Dr H Baharudin Lopa. Untuk di Jaksa Agung, ada Jaksa Agung pertama Prof Kasman Singodimejo.
Di kalangan hakim agung, Prof Asikin Kusumah Atmadja, H Bismar Siregar, dan Dr Artidjo Alkostar. Ketiganya sudah wafat.
“Di kepolisian ada nama luar biasa Jenderal Hoegeng. Masyaallah kita rindukan sekali, polisi saat ini butuh sosok seperti itu,” ujarnya.
Di kalangan pengacara ada Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, dan Adnan Buyung Nasution.
Selain nama-nama di atas, ada pula tokoh-tokoh penegak hukum politik yang menunjukkan keadilan hukum. Misal, Bung Karno, Bung Hatta, Kiai H Hasyim Asyari, Kiai H Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, dan Prof Kahar Muzakir.
Busyro menyatakan, para penegak hukum itu menggambarkan fakta tanah di negeri ini gemah tipah loh Jinawi. Artinya, memperoleh suatu rahmat dari Allah dengan indikasi adanya sebagian nama-nama itu.
Di satu sisi, mengingat ada banyak nama itu membuat Busyro bersyukur Indonesia tidak kekurangan contoh tokoh teladan. Tapi di sisi lain ia merasa terbebani. “Bisa ta generasi muda mengambil contoh-contoh itu, kemudian mereplikasi pada dirinya secara individual dan kolektif?”
Lalu dia optimis, “Saya kira sangat bisa! Semua usaha itu pasti bisa asal dengan penuh kejujuran, kerja keras, cerdas dan ikhlas!”
Yang juga lerlu diperhatikan adalah adab kesalihan vertikal ” hablum min Allah” sekaligus adab kesalihan sosial, politik, dan penegakan hukum. Mengingat, menurutnya manusia Indonesia banyak manusia otentik, insan kamil.
Jejak Penegakan Keadilan
Sebagai orang berlatar belakang hukum, bahkan sampai sekarang bergerak di bidang penegakan hukum dalam arti luas, Busyro bisa menyimpulkan gambaran penegakan keadilan di Indonesia berdasarkan sosial yang konkret.
Pertama, praktik penegakan hukum masih diskriminatif, membeda-bedakan. Sebab, ada faktor orientasi politik, persaingan bisnis yang tidak sehat, dan fanatisme kelompok yang berlebih-lebihan—inilah akar radikalisme sesungguhnya.
“Justru yang terjadi sekarang radikalisme politik. Karena yang dominan saat ini politik. Rakyat seharusnya dominan, tapi masih perlu dikapitalisasi dengan pencerahan-pencerahan,” komentarnya.
Menurut Busyro, inspirasi-inspirasi dari tokoh bangsa tadi masih sangat relevan, apalagi jika diperkuat melalui pendidikan.
“Tidak ada bangsa yang besar di dunia ini yang memiliki peradaban tinggi, kecuali pendidikannya juga serius, diatur, dikelola oleh Kementerian Pendidikan yang memang ahli di bidang pendidikan,” ungkapnya.
Yang kita butuhkan, tapi menurut Busyro masih kekurangan saat ini adalah sosok yang punya visi sekaligus paham basic value pendidikan di dunia ini.
Kesadaran Hadapi Demoralisasi
Busyro menayatakan, modal sejarah, sosial, dan kultural bangsa ini—melalui berbagai riset antropolog dalam maupun luar negeri—sebenarnya menunjukkan bangsa Indonesia kaya-raya.
“Tidak hanya sumber daya alamnya, tapi juga pada bidang moral, kultural, kesadaran beragama secara integratif, agama secara ritual vertikal, kesadaran transendental pada ilahi, sekaligus kesadaran sosial,” jelas Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY) periode 2005-2010 itu.
Yang banyak masyarakat lakukan menurutnya, kesadaran transendental (ilahiah) integratif dengan kesadaran kebangsaan (sosial). Busyro mengajak untuk melihat hikmah pandemi Covid-19 dimana masyarakat begitu guyub. Kalau ada tetangga sakit, tetangga-tetangganya bergerak mencukupi gratis. “Itulah keaslian rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Modal sosial bangsa seperti inilah yang harapannya tidak disia-siakan. “Jangan didemoralisasi dengan pemilu yang selalu mengandalkan kemenangan itu pada besarnya suap!” tuturmya.
Busyro menyatakan, pemimpin yang radikal adalah pemimpin formal yang tampil melalui cara-cara demoralitasnya tinggi itu. “Maaf, yang sedang melakukan cultural terorizing itu justru poses-proses politik yang mengendalikan suap tadi. Sebab dibalik suap tadi ada cukong, rentenir politik. Nah, ini nagih nanti!” jelas Busyro.
Misal si A jadi bupati, gubernur, dan seterusnya. “Nah cukong ABC yang dulu berhasil mencukongi sehingga dia menang—politik ijon—dia nagih,” jelasnya.
Dia lantas mencontohkan dalam hal infrastruktur. Misal tidak perlu jembatan, bikin jembatan. Tidak perlu tol, bikin tol. Pindah kantor bupati, walikota, dan sebagainya; padahal kantornya masih representatif.
“Tanpa ada studi kelayakan yang indepeden, profesional, dan secara metodologis bisa dipertanggungjawabkan. Kalau ini yang terjadi, inilah bentuk kekufuran,” katanya.
Busyro menyadari usia negara Indonesia mencapai 76 tahun, tapi perlu kita pahami usia bangsa Indonesia sudah lebih dari seratus tahun. Tampak dari usia organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang sudah 108 tahun dan NU yang juga sudah hampir berusia seratus tahun.
“Senioritas Muhammadiyah-NU dan organisasi lainnya itu lebih tinggi daripada senioritas kelembagaan birokrasi negara. Maka jika negeri ini mulai mengkapitalisasi umat beragama itu bukan saja terhormat, tapi menjawab kebutuhan,” terang dia.
“Indonesia ke depan memang harus kita selamatkan secepat-cepatnya!” imbaunya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni