PWMU.CO – Tiga Perempuan Aisyiyah Bicara Kiprahnya di Hari Kartini dalam acara Covid-19 Talk on TV, Rabu 21 April 2021.
Mereka adalah Direktur Rumah Sakit Umum (RSU) Muhamamdiyah Babat Lamongan dr Fara Nurdiana MKes; dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Ega Anastasia Maharani MPsi Psikolog; dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Lailatis Syarifah Lc MA.
Acara live di tvMU bertema “Perempuan dalam Berkarya, Mengabdi untuk Negeri dan Bermartabat bagi Keluarga” ini diselenggarakan MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) dengan dukungan Lazismu.
Kisah Sukses Dokter Fara
Fara Nurdiana mengisahkan pendirian RSU Muhammadiyah Babat Lamongan di tengah tantangan pandem Covid-19. Menurutnya, pendirian RSU itu tidak terlepas dari adanya Rumah Sakit (RS) Muhammadiyah Babat yang sudah berdiri tahun 1968.
“Lokasi RS Muhammadiyah Babat yang berada di tengah perkampungan, serta dekat dengan pasar, menyebabkan sulit berkembang,” tuturnya.
Karena itu, sambungnya, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Babat berinisiatif mendirikan rumah sakit lagi di tempat yang strategis, sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat karena aksesnya lebih mudah.
Di tengah penjelasan itu, dua host—Budi Santosa dan Arrizqi Qonita—mengungkapkan rasa penasarannya: bagaimana cara dokter Fara dan seluruh elemen RSU Muhammadiyah Babat berjuang di awal pendirian RSU. Sementara saat itu pandemi Covid-19 baru saa melanda Indonesia.
Ketua Pimpinan Ranting Aisyiyah Babat Tengah itu menelaskan, persiapan pendirian rumah sakit sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Yaitu tahun 2005 saat membeli lahan.
Singkat cerita, pada 2 Maret 2020 RSU Muhammadiyah Babat mendapat izin operasional. Maka dia merencanakan pada tangal 29 Maret akan mengadakan peresmian dengan menghadirkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.
Tetapi, di saat bersamaan pemerintah mengumumkan dua orang terkena Covid-19. Maka rencana peresmian tidak bisa dilaksanakan. Dan RSU Muhammadiyah Babat dituntut siap berjuang menangani Covid-19.
“Awal pandemi kami hanya bisa menerima pasien untuk kemudian kami rujuk. Selanjutnya, mau tidak mau, kami harus menyiapkan sumber daya baik manusia maupun fasilitas meski minim agar bisa ikut menangani pasien Covid-19,” ujar dosen Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla) tersebut.
Dia menjelaskan, RSU Muhammadiyah Babat yang sempat mengalami minus pada tiga bulan pertama itu, kini telah sukses menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan Jasa Rahardja yang berlaku efektif seak 1 April 2021.
“Kami tekankan pada teman-teman, ini perjuangan. Semoga pada akhirnya kita bisa menikmati hasil perjuangan ini bersama sama,” tutur dr Fara.
Proses Adaptasi Meluluhkan Stigma
Pembicara kedua, Ega Anastasia Maharani yang berkesempatan hadir langsung di studio menjelaskan asal-muasal terjadinya stigma di masyarakat seputar pandemi Covid-19.
“Hal ini tidak terlepas dari informasi mengenai Covid-19 yang cepat sekali berubah-ubah, sehingga mempengaruhi psikologi masyarakat,” ungkap dia.
Sebagai contoh, lanutnya orang yang teridentifikasi positif atau reaktif pada awalnya harus diisolasi di fasilitas kesehatan secara khusus. Tidak lama setelah itu terjadi perubahan dengan adanya isolasi mandiri di tempat tinggal masing-masing.
“Ini menimbulkan kebingungan di sebagian kalangan,” tutur psikolog klinis itu.
Dosen Pendidikan Guru PAUD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) ini menambahkan, setelah lebih dari satu tahun mengalami pandemi, masyaraka sudah bisa beradaptasi.
“Mereka tetap bisa menyalurkan kebutuhan dasar untuk menjalin komunikasi serta berkontribusi meski mobilisasi terbatas. Contohnya yang sedang kita lakukan saat ini. Mengadakan podcast, acara secara streaming, dan lain-lain,” terang dia.
Sehingga, sambung dia, kebutuhan masyarakat dapat tersalurkan dan safety (keamanan) tetap bisa dipertahankan.
Anggota Majelis Pendidikan dan Kesehatan Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah (PCIA) Malaysia tersebut menambahkan pentingnya dukungan pada kelompok rentan dan para survivor, sehingga penanganan selain fokus pada fisik juga tetap memberikan pendampingan psikis.
Tuntunan Ibadah Ramadhan
Sementara itu Lailatis Syarifah—dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta—memaparkan secara singkat rumusan Tarjih tentang panduan ibadah di masa pandemi Covid-19.
“Pada prinsipnya mirip dengan tahun kemarin, tapi ada kelonggaran. Di antaranya bisa iktikaf di masjid,” tutur perempuan yang biasa disapa Latis.
Latis yang terhubung via Zoom Clouds Meeting tersebut menambahkan, “Boleh melakukan kegiatan menyemarakkan Ramadhan dengan tetap hifdzun nafsi (menjaga diri),” ujarnya.
Peran Keluarga
Di sesi terakhir, tiga perempuan hebat ini diminta host untuk mengutarakan pendapat dan pengalaman tentang peran keluarga (suami) di balik kesuksesan mereka.
“Peran suami istri bagaikan libas (pakaian), saling melindungi melengkapi memperindah,” tutur Lailatis Syarifah.
Anggota Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat Aisyiyah tersebut menyampaikan, ada sabda Rasulullah yang menyatakan manusia setara di hadapan Allah SWT.
“Maka selayaknya laki laki perempuan dalam hal ini suami-istri saling menghormati,” ujarnya.
“Respect each other (saling menghotmati),” tutur Arrizqi Qonita, sang host, menanggapi pernyataan Latis.
Pengalaman berikutnya disampakan Fara Nurdiana. “Kami terbiasa saling membantu. Jika saya sedang bekerja maka suami yang meng-handle urusan anak-anak dan rumah, baik memandikan menyiapkan makan ataupun menidurkan. Begitu juga sebaliknya jika suami sedang bekerja,” ungkapnya.
Sementara itu Ega Anastasia Maharani menyampaikan, keluarga sebagai supporting system. “Sehingga dalam keluarga tidak perlu ada yang merasa powerfull atau lebih berkuasa,” tutur dia.
Kepada para perempuan yang telah sukses menyeimbangkan peran dalam keluarga dan masyarakat, dia memberi pesan agar mereka mengangkat perempuan perempuan lain yang belum seberuntung mereka. (*)
Tiga Perempuan Aisyiyah Bicara Kiprahnya di Hari Kartini: Penulis Yunia Zahrotin Nisa’ Editor Mohammad Nurfatoni