PWMU.CO – Tiga prinsip agama yang sesuai Rasulullah SAW tuntunkan disampaikan Prof Dr H Syamsul Anwar MA, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Kamis (22/4/21).
Hal ini dia sampaikan dalam Kajian virtual spesial Ramadhan persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu dan Wardah.
Berikut ketiga prinsip yang dia jelaskan.
Prinsip Kemudahan
Prof Syamsul menyatakan, yang pertama adalah kemudahan. “Agama bertujuan memberi kemudahan, melaksanakannya juga harus mudah,” ujarnya.
Sebagaimana Allah bersabda dalam al-Quran, ” Yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bi kumul ‘usra. ” Artinya, Allah menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghendaki bagimu kesukaran.
Syamsul mengutip sebuah hadits Nabi, Yassiru wala tu’assiru (mudahkan dan jangan kamu mempersukar), basysyiru wala tunafiru (gembirakan, jangan menimbulkan rasa tidak senang).
Kemudian, ulama membuat suatu prinsip: almasyaqqatu tajlibut taisiir. Artinya, dalam melaksanakan agama—termasuk melaksanakan ibadah puasa—diberi kelonggaran.
Melaksanakan sesuai Kemampuan
Prinsip yang kedua, lanjut Syamsul, melaksanakan sesuai kemampuan. Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha.” Artinya, Allah tidak membebankan kepada umat manusia kecuali hal yang mampu dia lakukan.
Rasulullah SAW juga menegaskan, ” Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum.” Artinya, apabila aku perintahkan kamu untuk melakukan sesuatu, maka laksanakan sejauh yang kamu mampu lakukan.
Syamsul pun menegaskan, agama tidak boleh dipaksakan sehingga menimbulkan kesukaran.
Tidak Menimbulkan Mudharat
Prinsip yang ketiga, tidak menimbulkan mudharat. Syamsul mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: “La dharara wala dhirara“. Artinya, tidak ada kemudharatan dan pemudharatan.
“Jadi kita tidak boleh mengalami musibah karena (melakukan) itu,” terangnya.
Kemudian dia menceritakan kisah saat Nabi Muhammad SAW beserta sahabatnya bepergian—menempuh perjalanan jauh—ke luar kota Madinah. Medannya berpasir dan kering. Nabi bersabda, “Karena sedang dalam perjalanan, maka boleh tidak berpuasa.”
Tapi ada sahabat yang memaksakan diri untuk berpuasa, padahal dia sudah tidak kuat. Akhirnya dia pingsan dan para sahabat menghampirinya.
Rasullullah melihat kerumunan itu, lalu bertanya, “Ada apa?”
Kemudian ada sahabat yang menjawab, ada sahabatnya yang pingsan karena memaksakan diri berpuasa dalam perjalanan jauh itu.
Lalu Rasulullah bersabda, “Puasa dalam perjalanan itu maksiat!”
Syamsul menerangkan, hal ini bukan berarti tidak boleh berpuasa saat sedang dalam perjalanan jauh. ‘Maksiat’ berarti memaksakan diri melaksanakan agama.
“Jadi, agama itu dilakukan dengan mudah, sesuai kemampuan, dan tidak menimbulkan mudharat!” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Penulis Mohammad Nurfatoni