Respon KH Ahmad Dahlan Jawab Godaan Politik pada Muhammadiyah, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh pergerakan.
PWMU.CO – Sejak awal Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan untuk mengembangkan dakwah, sosial, dan pendidikan. Hal itu dipegangnya secara teguh. Maka, ketika pada 1918 di sebuah acara ada usulan dari Agus Salim agar Muhammadiyah berubah haluan menjadi organisasi politik, tegas Ahmad Dahlan menolaknya.
Di mana dan seperti apa suasana pertemuan yang di dalamnya ada usulan Agus Salim itu? Bagaimana penerimaan hadirin atas usul itu? Apa respon Ahmad Dahlan?
Mari kita ikuti kisah dari RH Hadjid, salah seorang murid KH Ahmad Dahlan yang paling awal. Dia mengungkapkan, “Pada kira-kira tahun 1918 ketika saya baru berumur 23 tahun ada rapat tahunan Muhammadiyah. Yaitu suatu rapat anggota Muhammadiyah yang diadakan di muka Madrasah Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada waktu itu dibicarakan tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.”
Di saat itu, lanjut Hadjid, “Terdapatlah dua pendapat dalam sidang itu yaitu Pertama, pendapat Kiai Dahlan. Kedua, pendapat Haji Agus Salim. Konon, Haji Agus Salim mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik.”
Bagaimana respon yang hadir? “Pada waktu itu saya bersesuaian pendapat dengan Haji Agus Salim, karena pada waktu itu argumentasi Haji Agus Salim sangat menarik. Saya-pun kelihatan keras dalam menyetujui pendapat Haji Agus Salim,” jelas Hadjid.
Siapa Agus Salim
Siapa Agus Salim? Agus Salim (1884-1954) sejak 1915 mulai masuk ke dunia pergerakan nasional melalui Syarikat Islam. Di lembaga ini, dia bersama HOS Tjokroamito dan kawan-kawan memperjuangkan nasib bangsa yang mayoritas beragama Islam. Melalui Syarikat Islam pula dia memulai karir di bidang politik, intelektual, dan keagamaan.
Agus Salim cerdas dan pandai meyakinkan orang. Muridnya banyak dan kelak murid-muridnya tak sedikit yang menjadi tokoh nasional. Misal, Hamka, pada 1927 di Mekkah, Hamka-yang saat itu berusia 23 tahun-menyempatkan diri belajar kepada Agus Salim.
Belakangan, Agus Salim menjadi anggota “Panitia Sembilan” BPUPKI yang mendapat amanah mempersiapkan UUD 1945. Pasca-kemerdekaan, Agus Salim masuk Partai Masyumi.
Sejumlah jabatan pernah diamanahkan kepadanya, seperti Menteri Muda Luar Negera dalam Kabinet Syahrir II dan III, 1946-1947. Lalu, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir Syarifuddin, 1947. Kemudian, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta I dan II, 1948 dan 1949.
Sementara, dalam bidang intelektual dan keagamaan, sejak Januari – Juni 1953 dia menjadi dosen tamu di Cornel University di AS. Beliau dipercaya untuk memberikan kajian tentang “Pergerakan dan Cita Islam Indonesia”.
Atas berbagai capaian kebaikannya itu, Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah penghargaan yang memang pada tempatnya.
Dengan gambaran sekilas performa Agus Salim seperti di atas, maka bisa dibayangkan sosok Agus Salim yang pintar dan punya bakat diplomasi. Maka, tak aneh jika tokoh seperti Hadjid yang memiliki kedekatan dengan Ahmad Dahlan karena merupakan salah satu murid paling senior, malah sepakat dengan pendapat Agus Salim.
Sekali lagi, mari ikuti pengakuan Hadjid: Soal usul agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik “Saya bersesuaian pendapat dengan Haji Agus Salim, karena pada waktu itu argumentasi Haji Agus Salim sangat menarik. Saya-pun kelihatan keras dalam menyetujui pendapat Haji Agus Salim”.
Respon Benar
Bagaimana tanggapan Ahmad Dahlan atas godaan politik pada Muhammadiyah itu? “Akhirnya pembicaraan itu dihentikan oleh Kiai Dahlan dengan mengetuk palu pimpinan sambil berdiri hingga sidang tenang kembali. Setelah keadaan tenang, Ahmad Dahlan menanyakan dua persoalan kepada peserta sidang.
Yaitu: pertama, apakah Saudara-Saudara sudah mengerti benar tentang arti Islam dan apakah arti Islam yang sebenar-benarnya? Kedua, apakah Saudara-saudara ini senang dan berani menjalankan Islam dengan sesungguhnya?” jelas Hadjid.
Bagaimana sikap hadirin? Kata Hadjid, “Kita semua yang hadir tercengang dan kagum mendengarkan dua persoalan yang diungkapkan Kiai Dahlan itu. Para peserta semuanya terdiam, tidak ada yang sanggup menjawabnya. Sungguh luar biasa dua persoalan yang dikeluarkan oleh manusia yang berjiwa mukmin dan ikhlas semata-mata” (Hadjid, 2013: 125-126).
Jika mencermati jawaban Ahmad Dahlan, tampak beliau tak langsung menggunakan kata-kata penolakan dalam menanggapi usulan anggota Muhammadiyah yang bernama Agus Salim itu. Ahmad Dahlan malah secara retoris menggunakan kalimat tanya.
Bagi yang mengikuti pemikiran dan pergerakan dakwah Ahmad Dahlan, tak sulit untuk memahami apa yang dikehendaki Ahmad Dahlan dengan dua pertanyaannya itu. Baca saja, misalnya, ayat ini: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali-‘Imran104).
Seperti yang kita ketahui, surat tersebut termasuk yang sering diulang-ulang oleh Ahmad Dahlan untuk dipahami dan diamalkan. Bahwa, kita akan menjadi orang-orang yang beruntung jika aktif menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Perhatikan, rangkaian aktivitas amar makruf dan nahi munkar bukankah bisa kita kerjakan tanpa harus punya kekuatan politik? Maka, tak perlu dengan organisasi politik untuk bisa beramar makruf nahi munkar. Bahkan, dengan Muhammadiyah yang bukan organisasi politik itu, ruang gerak dakwah menjadi leluasa dan akselerasi dakwah menjadi kencang.
Pilihan Ahmad Dahlan agar istiqomah dengan semangat awal saat didirikannya Muhammadiyah terbukti benar. Hal ini diakui oleh, antara lain, kader Muhammmadiyah bernama Nur Cholis Huda. Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur itu, lebih dari seratus tahun kemudian, menulis kesaksian, bahwa:
“Kalau saja dahulu KH Ahmad Dahlan bersedia mengubah Muhammadiyah menjadi organisasi politik maka ceritanya akan sangat berbeda. Tidak ada amal usaha Muhammadiyah berupa pendidikan anak usia dini berjumlah 30.115, SD/MI berjumlah 2.766, SMP/MTS berjumlah 1826, SLTA sebanyak 1407, pondok pesantren sebanyak 341, SLB berjumlah 50, dan perguruan tinggi mencapai 165. Belum lagi Rumah Sakit, Panti Asuhan, masjid, dan lain-lain” (2020: 156).
Di Sepanjang Hayat
Menjawab dua pertanyaan Ahmad Dahlan di “Pertemuan 1918” itu, kecuali ingat QS Al-‘Imraan [3]: 104, kita juga bisa ingat ayat ini: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (QS Al-An’aam [6]: 162-163).
Jika kita hayati, maka lewat ayat di atas Allah meminta kita agar keseluruhan hidup kita bernilai ibadah kepada-Nya. Shalat, jelas ibadah yang diperintahkan. Ibadah-ibadah yang selain shalat ada perintah dan petunjuk cara pelaksanaannya. Tapi, kecuali itu, “Hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah”.
Artinya apa? Jika kita mau, semua gerak langkah di sepanjang kehidupan kita bisa bernilai ibadah. Maka, di titik ini, Muhammadiyah-tanpa perlu menjadi organisasi politik-bisa memainkan peran agar umat tetap berada di Jalan Islam.
Setia Haluan Muhammadiyah
Islam sebagai agama harus didakwahkan. Islam wajib kita perjuangkan. Caranya, tidak harus melalui organisasi politik. Haluan Muhammadiyah sudah jelas sejak berdiri hingga kini.
Bahwa, maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sementara, untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Muhammadiyah melaksanakan dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.
Tentu, untuk mewujudkan tujuan Muhammadiyah, diperlukan pengorbanan. Maka, sekali lagi, dengan gaya bertanya, Ahmad Dahlan menggugah kita: “Apakah kamu sekalian berani memperjuangkan Islam? Menyerahkan harta benda dan jiwa dengan sungguh-sungguh untuk memperjuangkan agama Allah? Walaupun dengan mengorbankan yang sangat ia cintai dan walaupun dengan menderita ancaman, hukuman, dan siksaan sekalipun” (Hadjid, 2013: 132).
Mari, kita jawab tantangan KH Ahmad Dahlan di atas dengan amaliah nyata. Harta, tenaga, waktu, dan apapun yang kita “punya” (termasuk jiwa) harus selalu siap kita korbankan di jalan dakwah. Sikap ini, bagian dari wujud setia kita kepada haluan Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Cara KH Ahmad Dahlan Jawab Godaan Politik pada Muhammadiyah ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 30 Tahun XXV, 23 April 2021/11 Ramadhan 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.