PWMU.CO – Indonesia Punya Potensi Tsunami Covid-19 seperti India disampaikan Wakil Ketua MCCC PP Muhammadiyah Arif Jamali Muis MPd, dalam Covid-19 Talk on TV, Rabu (28/4/21).
Program diskusi interaktif ini persembahan MCCC Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan didukung tvMu. Temanya, Tsunami Corona di India dan Usaha Indonesia Mencegah Serupa.
Arif Jamali Muis mengatakan, Indonesia punya potensi hampir sama dengan India. Yaitu dalam hal jumlah penduduk yang besar, longgarnya prokes dan budaya kegiatan keagamaan.
“Kekhawatiran kita sejak awal masuk Ramadhan, fokus jangan lengah terhadap prokes,” katanya.
Maka, lanjutnya, program MCCC adalah terus mengampanyekan prokes. “Mudiknya Idul Fitri itu luar biasa kalau tidak kita cegah dan menjadi perhatian bersama,” komentar dia.
Kekhawatiran kita, tambahnya, setahun lalu ketika Idul Fitri—Muhammadiyah kencang membicarakan jangan mudik, patuhi prokes dan sebagainya—saat itu ketakutan terhadap Corona masih tinggi. Konsentrasi masyarakat terhadap pencegahan juga tinggi.
Sekarang? Arif Jamali memaparkan masyarakat sedang euforia vaksin. Juga kerinduan berkerumun untuk buka puasa bersama itu sangat tinggi. Dia menekankan, sebenarnya boleh berkegiatan, tapi tetap dengan prokes yang kencang.
Menurutnya, kesadaran bersama ‘kita belum dalam kondisi baik dan ancaman itu masih sangat tinggi’ harus muncul dari semua. Arif lantas mengkritik kebijakan yang tidak satu kata.
“Gubernur Jawa Timur mengatakan santri boleh pulang, Jawa Tengah mengatakan jangan, macem-macem,” kata dia.
Arif menyarankan, agar menutup perbatasan dengan negara lain yang punya potensi cukup tinggi. “Meski sudah terlanjur masuk duluan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujarnya.
Gagal Fokus PSBB Alat Pemerintah
Kolonel CKM (Purn) dr Achmad Yurianto memperjelas, dalam sistem perundang-undangan Indonesia tentang wabah, puncak pengendaliannya berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tapi, ia mengungkap inilah yang sering menjadi gagal fokus dalam masyarakat. “PSBB dianggap alat pemerintah untuk mengendalikan masyarakat, padahal PSBB itu alat masyarakat untuk mengendalikan penyakit,” jelas Yuri.
Karena penyakit menular ini harus menempatkan komunitas sebagai subjek sekaligus objek.
Tinggalkan Kekakuan Birokrasi
Kemudian Yuri mengajak belajar dari pengalaman 100 tahun lalu dari Belanda. Saat Pemerintah Hindia-Belanda—yang menjajah Indonesia—mengedukasi masyarakat, mereka meninggalkan kekakuan birokrasi.
Berdasarkan telaah referensinya, Yuri menceritakan bagaimana dulu di Jawa, pondok pesantren menjadi agen perubahan. Mereka bisa mengubah paradigma kebiasaan masyarakat untuk menghindar agar tidak tertular Flu Spanyol.
Sedangkan pada kelompok masyarakat lain, menggunakan budayawan—seperti dalang wayang orang, ketoprak, ludruk—sebagai media edukasi.
Lalu belajar dari pengalamannya sendiri sebagai Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Yuri memanfaatkan fasilitas jejaring yang bisa menjangkau nasional.
“Saya minta bicara dengan RRI Tahuna, Toli-Toli, Atambua untuk berbicara langsung dengan pendengar, ‘apakah pesan yang saya sampaikan dari Jakarta dengan fasilitas nasional adalah pesan yang dibutuhkan di daerah?’,” ucapnya.
Ternyata belum tentu, karena ada gap (celah ketidaksesuaian). Menurut Yuri, di sini butuh peran memberikan ruang kepada tokoh masyarakat, agama, atau budaya untuk bisa berbicara.
Edukasi Prokes lewat Speaker Mushala
Yuri lantas menyadarkan betapa kurangnya waktu masyarakat untuk menyimak media massa. Dia bertanya, “Berapa banyak waktu orang untuk mendengar televisi? Radio? Apalagi membaca koran!” ujarnya.
Dia pun menawarkan potensi besar yang jarang masyarakat gunakan, yaitu mengedukasi lewat speaker mushala. “Kalau kita bisa memanfaatkan pengeras suara yang ada di mushala sesaat sebelum adzan untuk mengingatkan prokes, insyaallah orang akan mendengar!” sarannya.
Menurutnya, beginilah cara menempatkan masyarakat sebagai subjek dari proses perubahan ini
Hindari Kesalahan Kalkulasi
Di India, perhitungan kebijakan berdasarkan perhitungan angka lebih mendominasi. “Oh sudah turun, sudah turun, sudah turun… Oke deh saya kendorin, kendorin, kendorin… Bubar!” jelasnya.
Yuri mengingatkan, “Kendalinya bukan pada angka laboratorium, karena kita menyadari betul tidak 100 persen kasus itu tertangkap dengan laboratorium.”
Banyak kasus yang belum bisa mengakses laboratorium. “Artinya, sebenarnya, kita tidak bisa mengatakan, (misal) kasus konfirmasi hari ini 5 ribu, maka kenyataannya di lapangan juga 5 ribu, belum tentu,” terang Mantan Dirjen P2P Kemenkes RI itu.
Hal ini juga Indonesia alami. Seperti pada kasus pascagempa Mamaju, tiga hari berturut-turut tercatat nol kasus konfirmasi positif. Tapi hasilnya berubah begitu pemerintah kirim mobil unit laboratorium ke sana.
Melihat sikap ini, Yuri mengajak Indonesia tidak lagi fokus melihat kasus India, karena Indonesia sudah punya sistem yang bagus. Tapi melihat daerah merah untuk mempertimbangkan dalam merumuskan kebijakan.
“Provinsi DKI misal, atau lebih kecil lagi, melihat kabupaten mana di Yogya yang lebih tinggi kasusnya dibanding kabupaten lainnya,” terang Yuri. (*)
Penulis Sayyidah NuriyahEditor Mohammad Nurfatoni