Kenangan Manis bersama Nadjib Hamid: Orang Baik Cepat Wafat? Ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
“Saya tulis secara singkat. Kenangan yang sesungguhnya jauh lebih mendalam daripada tulisan ini.”
Awal Bergabung ke PWM Jatim
Tahun 1996-an Mas Nadjib Hamid menemui saya di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. “Saya disuruh menemui Pak Nur,” katanya seraya memberikan map. Beberapa hari sebelumnya KH Abdurrahim Nur—Ketua PWM Jawa Timur 1989-2000—mengatakan bahwa Mas Nadjib ingin bergabung di PWM Jatim.
“Coba ditanya apakah niatnya sudah bulat, sudah sungguh-sungguh. Di PWM kan tidak ada apa-apanya. Jangan sampai dia nanti menyesal,” demikianlah kira-kira pesan beliau saat itu. Tidak ada apa-apanya artinya secara finansial itu kering. Hanya tempat pengabdian.
Ketika Mas Nadjib menemui saya, saya tidak menanyakan apapun. Saya tidak melaksanakan perintah Ustad Rahim—sapaan akrab KH Abdurrahim Nur. Saya juga tidak membuka map yang diberikan. Mungkin map itu berisi semacam lamaran untuk bergabung.
Hati saya diliputi rasa gembira. Saya kenal dia tetapi belum akrab. Saya gembira karena ada tokoh muda, kader tulen Muhammadiyah, bersedia bergabung di kantor PWM. Maka tidak lagi diperlukan tanya ini itu. Ini saja sudah merupakan berkah.
Mas Nadjib belum punya rumah. Dia dan keluarga tinggal di rumah milik Ir HR Soelaiman, salah seorang anggota PWM Jatim saat itu. Rumah itu memang diniatkan Pak Sulaiman untuk semacam pos angkatan muda Muhammadiyah. Namun di tangan Mas Nadjib rumah itu disulap menjadi semacam tenda besar bagi banyak anak muda.
Ada aktivis IPM, Pemuda Muhammadiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah. Tetapi juga ada anak-anak yang tidak kerasan di rumahnya sendiri. Lalu tidur di situ. Ada yang mungkin sedang konflik dengan orangtuanya.
Dengan segala karakter khas anak remaja. Semua disantuni, dilayanai, dan mereka jadi kerasan. Kekaguman saya juga kepada istrinya, Hj Luluk Humaidah yang bisa mengimbangi misi mulia Mas Nadjib.
Di belakang hari, setelah Mas Nadjib punya rumah sendiri dan pindah ke tempat tinggal baru, kebiasaan menampung anak muda tetap berlangsung. Mereka bukan hanya tinggal di rumahnya tetapi sampai dicarikan jodoh dan dikawinkan.
Memang ini termasuk “kegemaran” Mas Nadjib dan istri menjadi makjomblang gratisan. Bukan hanya yang tingggal di rumahnya. Orang daerah banyak juga yang pesan ke Mas Nadjib agar anaknya dicarikan jodoh.
Maka apa lagi yang perlu ditanyakan? Tidak ada! Yang telah dilakukan Mas Nadjib lebih dari cukup menjawab pertanyaan Ustadz Rahim yang diperintahkan kepada saya. Maka pertaanyaan saya kepadanya: “Kapan Mas Nadjib bisa masuk kantor, besok atau lusa?”
Dia agak kaget. Tapi hanya sebentar. Mungkin dia berpikir kok tidak ditanya apapun. “Besok saya bisa masuk. Lalu apa tugas saya?” tanyanya.
“Tugas Mas Nadjib, kantor kita yang belum seperti kantor, tolong diubah menjadi seperti kantor,” kata saya.
“Nggih!” jawabnya pendek dan mantap.
Lalu dia tidak bertanya lagi. Itu tugas berat. Mengubah keadaan yang awut-awutan menjadi seperti kantor beneran. Kami bersalaman. Map saya serahkan lagi kepadanya tanpa saya buka. Dia berdiri lalu berkeliling menyalami para karyawan PWM Jatim. Tidak saya dampingi karena dia sudah kenal hampir seluruh karyawan. Itulah awal Mas Nadjib bergabung dengan PWM.
Pindah Kantor
Kantor belum rapi, belum seperti kantor beneran karena pindahan dari kopleks Kapasan. Sebelumnya PWM berkantor di Kapasan 73-75 Surabaya.Kondisnya sempit. Umpel-umpelan. Ada SD, SMP, SMA, SMK, IKIP Muhammadiyah, FIAD, Kantor PDM Surabaya dan kantor PWM.
Semua menyatu di tempat itu. Sebelum di kapasan PWM pernah ngontrak di bekas bioskop Indra Jalan Panglima Sudirman. Melihat kantor PWM di Kapasan yang umpel-umpelan, rampaknya Prof Malik Fadjar gerah melihat kondisi ini. Lalu Universitas Muhammadiyah Malang membelikan dua rumah yang berjejer si jalan Kertomenanggal yang menjadi kantor PWM sekarang.
Kantor PWM pindah ke tempat yang baru. Tapi masih berupa bangunan rumah tangga. Ruang rapat pimpinan menggunakan ruang tamu rumah itu. Agak sempit. Ruang kerja karyawan di ruang keluarga yang agak lebar. Barang-barang arsip dokumen di simpan di salah satu bekas kamar tidur. Belum ada cleaning service. Ruangan dibersihakan karyawan sendiri. Mas Nadjib mulai merapikan tumpukan dokumen arsip. Memilah-milahnya.
Salah satu hobi Mas Nadjib yang menguntungkan banyak orang ialah dia sangat telaten membukukan putusan-putusan organisasi. Termasuk membuat buku Agenda PWM Jawa Timur. Setiap habis Musyawarah Wilayah (Muswil) dia bikin buku agenda itu. Berisi putusan-putusan Muswil, nama, alamat, dan nomor telepon orang penting di pimpinan Muhammadiyah. Mulai pimpinan pusat, pimpinan wilayah, majlis, lembaga, ortom tingkat wilayah, pimpinan daerah. Semua lengkap dengan nomor telepon dan alamat rumah. Ini sangat memudahkan komunikasi antar pimpinan persyarikatan.
Jabatan Mas Nadjib di Kantor PWM disebut Sekretaris Eksekutif. Semacam Kepala Kantor. Saya adalah orang pertama yang diuntungkan dengan kehadiran Mas Nadjib di PWM. Sebelumnya saya ke kantor setelah jam kerja karena masih aktif sebagai pegawai negeri.
Setiap hari atau dua hari sekali. Memeriksa surat-surat masuk, membuat catatan dan membuat konsep surat. Tetapi dengan adanya Mas Nadjib semuanya beres. Selesai! Saya tingal tanda tangan.
Tahun 2000 Mas Nadjib masuk jajaran PWM Jatim. Saya mengusulkan agar dia menjadi Sekretaris PWM 2000-2005. Tapi dia menolak. Saya tahu dia sangat mampu menjadi sekretaris. Lebih baik daripada saya. Tetapi dia minta saya tetap menjadi sekretaris dan dia menjadi wakilnya.
Saya tahu itu karena sikap tawadhuknya. Rendah hatinya. “Kalau Pak Nur sibuk kegiatan dinas, nanti saya akan mengerjakan tugas-tugas PWM,” katanya. Sebenarnya selama ini sudah dia yang mengerjakan. Maka dia menjadi wakil sekretaris sekaligus merangkap sekretaris eksekutif.
Majalah Matan
Prof Syafiq A Mughni, saya, Mas Nadjib, dan Ahmad Fatichuddin (sekarang dosen Universitas Muhammadiyah Gresik) berembuk soal penerbitan Matan, majalah PWM Jatim. Selama ini paham keagamaan warga Muhammadiyah banyak dipengaruhi majalah Al Muslimun terbitan Persis Bangil. Waktu majalah Al Muslimun tidak terbit lagi terjadi kekokosongan bacaan bagi warga Muhammadiyah Jawa Timur. Ada majalah Suara Muhamamdiyah tetapi hanya para pimpinan yang berlangganan.
Maka kami berempat mengusulkan kepada PWM untuk menerbitkan majalah. Bersyukur PWM merestui. Tujuan utama ialah memperluas wawasan paham keagamaan warga Muhammadiyah Jawa Timur. Kedua, memberi informasi keorganisasian.
Ketiga, memberitakan kegiatan Muhamamdiyah di daerah agar bisa diketahui daerah lain. Syukur bisa mengispirasi. Pemberitaan kegiatan mulai tingkat paling bawah, tingkat ranting. Hal ini agak sulit dimuat di Suara Muhammadiyah. Berita itu terlalu “kecil”.
Kami berempat membagi tugas. Kami harus selalu menulis supaya majalah ada isinya dan sesuai dengan misi. Pak Muammal Hamidy (almarhum) ditugasi mengisi tanya jawab agama. Beliau dari Persis Bangil. Ketua Majlis Tarjih PWM. Sangat dekat dengan Ustadz Abdul Qadir Hassan, pengasuh tanya jawab di Al Muslimun. Tapi pemahaman keagamaan Pak Muammal lebih moderat dibanding Ustadz Qadir. Cara menulisnya juga poluler.
Tugas paling berat jatuh ke Mas Nadjib. Dia harus mengoreksi semua tulisan terutama tulisan Arab. Jangan ada salah ketik. Harus mencari reporter yang bersedia mengabdikan diri . Dia sering menunggui di percetakan sampai majalah itu terbit, hingga larut malam. Juga mencari iklan. Lalu mendistribusikan ke daerah.
Jadi Mas Nadjib tugas di redaksi, merangkap korektor, lalu distributor majalah, mencari agen, ngurusi iklan bahkan sampai menagih keuangan ke agen. Hebatnya, dia tidak pernah mengeluh. Rasanya tanpa kerja keras Mas Nadjib, Matan mungkin mati sejak awal.
Mas Nadjib dan Politik
Pada Februari 2002 Muhamamdiyah Jawa Timur mengalami korban kekerasan politik dari pendukung Gus Dur. Ketegangan di Jakarta berimbas ke bawah. Gus Dur akan ditunurunkan sebagai presiden oleh MPR. Ketua MPR kebetulan Pak Amien Rais yang pernah menjadi Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Mummadiyah. Maka pendukung Gus Dur di Jawa Timur mengamuk, merusak beberapa gedung sekolah dan kampus milik Muhamamdiyah. Juga merusak rumah Ustadz Abdurrahim Nur, masjid, dan panti asuhan di komplek itu.
Saya tidak tahu peristiwa itu karena sedang haji. Maka Mas Nadjib selaku wakil sekretaris yang mendampingi Pak Fasichull Lisan sebagai Ketua PWM Jatim menghadapi semua peristiwa itu, termasuk dengan petugas keamanaan.
Untuk mengetahui lebih detil peristiwa yang menegangkan, mencemaskan, dan menyedihkan itu telah disusun buku Muhammadiyah Korban Kekerasan Politik (2002) yang ditulis Ainur Rofiq Shopiaan, Nadjib Hamid, dan Faishol Taselan.
Nadjib Hamid bersentuhan lagi dengan politik ketika menjadi anggota Bawaslu dan KPU Jatim. Banyak tantangan dan godaan yang harus dihadapi, termasuk godaan uang. Saat itulah saya baru tahu betapa Nadjib Hamid orang yang kuat iman dan kokoh pendirian, termasuk godaan uang. Misalnya ada caleg yang merasa dizalimi kawannya sendiri. Lalu mengadu ke Mas Nadjib.
Akhirnya orang itu lolos karena menurut aturan harus lolos. Sebagai ungkapan terima kasih, dia membawa sejumlah uang ke rumah Mas Nadjib. Tapi dengan tegas Mas Nadjib menolaknya.
“Di Muhamamdiyah saya dididik tidak bisa menerima uang semacam ini. Maaf, tolong uangnya bawa pulang kembali,” demikian kira-kira jawaban yang diceritakan kepada saya. Padahal kalau dia terima tidak ada yang tahu. Kita belum tentu setegar Mas Nadjib.
Ketika masa anggota KPU selesai, Mas Nadjib ikut tes menjadi anggota KPU lagi. Hasilnya dia yang terbaik. Namun banyak orang luar tidak menginginkan Mas Nadjib karena dia tokoh Muhammadiyah. Sementara dari ormas keagamaan lain tidak ada yang lolos. Sikap iri hati itu bisa menimbulkan kebencian.
Maka Prof Achmad Jainuri yang anggota tim seleksi menganjurkan Mas Nadjib mundur. Nanti akan selalu diganggu. Akan dicari-cari kesalahan. Itu kondisi kerja yang tidak sehat. Juga demi menjaga ukhuwah.
Saya diminta Prof Jainuri membuat surat atas nama PWM tentang mundurnya Mas Nadjib ini. Sebelum surat saya tandatangani saya tanya ke Mas Nadjib. “Ya, benar , saya mundur. Saya manut pada nasihat para senior.” Demikian sederhana alasannya. Tanda dia tidak gila jabatan. Juga tidak memburu uang. Gaji anggota KPU lumayan. Alasan yang dibuat PWM dalam surat yang saya buat itu, Mas Nadjib diperintahkan PWM fokus segera menyelesaikan S3 yang kini lagi proses menggarap disertasi. Agar tidak kena DO.
Amanah Calon Anggota DPD
Keterlibatan dengan politik berikutnya ialah ketika menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pimpinan Pusat memerintahkan PWM Jawa Timur ada yang masuk ke dunia politik. PWM melihat dua orang: Prof Zainuddin Maliki dan Mas Nadjib Hamid. Tapi Mas Nadjib tidak bersedia. Lalu Pak Saad Ibrahim, Ketua PWM Jatim 2015-2020 menawarkan kesempatan itu kepada setiap anggota PWM. Tidak ada yang bersedia. Maka perintah kembali ke arah Mas Nadjib.
Saya tahu dia tidak tertarik terjun ke politik. Namun karena Muhammadiyah yang meminta, maka suka atau tidak suka akan dia jalani. Dia bersedia bukan karena keinginan tetapi karena perintah organisasi. Periode sebelumya Muhammad Nidzhom Hidayatulloh dan Tamhid Mashudi diperintah hal sama.
Saya ingatkan kalau terjun ke poitik jangan setengah hati. Jadilah caleg partai politik. Jangan DPD. Menurut saya wewenang DPD sangat terbatas. Juga kampanye sangat berat. Seperti kampanye jadi gubernur. Harus keliling 38 daerah tingkat dua. Tetapi Mas Nadjib justru pilih DPD. Alasan yang dikemuakan kepada saya sebagai anggota DPD kemerdekaannya tidak hilang. Kalau celeg partai nanti harus patuh kepada partai, kepada ketua umum, kepada fraksi, dan seterusnya
Mas Nadjib kampanye sangat serius. Dibantu Mas Nugroho Hadi Kusuma sebagai ketua tim sukses. Dia keliling sampai ke tingkat desa di pelosok Jawa Timur. Sangat capek. Lelah. Ditemani istrinya. Batuk-batuk tapi diabaikan. Dia kerahkan semua kemampuannya demi melaksanakan perintah organisasi. Dia korbankan waktu, tenaga, dan juga harta. Bantuan biaya dari PWM kepada dua orang politisi kita ini sangat terbatas. Maka harus ditambah dari kantong sendiri.
Banyak warga Muhammadiyah dan Aisyiyah di daerah ingin urunan membantu biaya. Tapi ditolak Mas Nadjib. Dikembalikan kepada mereka untuk dana organisasi saja. Sebaliknya justru Mas Nadjib yang berusaha membantu mereka. Misalnya memberi laptop untuk beberapa cabang Muhanmmadiyah atau Aisyiyah. Ketika dia mendengar PWM berencana mengganti pengeluaran itu, Mas Nadjib menolak. “Itu demi organisasi. Allah Maha Pemberi Rezeki. Nanti akan diganti Allah,” katanya ketika saya satu mobil pulang dari PWM.
Terbitkan Buku-Buku
Mas Nadjib gemar membuat buku. Dari tulisannya sendiri maupun menghimpun tulisan orang lain. Jika banyak anggota PWM menulis buku, itu tidak lepas dari tangan dingin Mas Nadjib. Dan saya orang yang paling banyak ditolongnya.
Dari 17 buku yang telah saya tulis, 12 buku Mas Nadjib menjadi editornya. Dia sangat teliti. Mulai membetulkan salah ketik, nama orang sampai data yang kurang tepat. Dia baca naskah buku saya tidak sekali tetapi beberapa kali. “Naskah itu sudah dibaca, lalu dibaca lagi masih ketemu kesalahan. Dibaca lagi masih ketemu lagi,” katanya suatu kali.
Mungkin karena membaca berkali-kali dia hafal sebagian besar isi buku saya. Saya senang kalau bagian dari buku dikutip dalam ceramahnya. Kutipan itu menjadi kontekstual di tangan Mas Nadjib. Lebih luas dan lebih menarik daripada yang saya tulis. Buku yang sering dikutip antara lain Anekdot Tokoh Muhammadiyah, Rumput Tetangga Tidak Lebih Hijau, atau Kejahatan Tidak Pernah Libur.
Mas Nadjib selalu berusaha menyenangkan orang yang mengabdi untuk Muhammadiyah. Suatu hari dia minta pertimbangan akan mengajak anggota Majelis Pembina Kader dan konstributor PWMU.CO rihlah dakwah ke luar negeri. Bagi saya ini kejutan.
Saya jawab, itu sangat baik dengan dua syarat. Pertama, tidak minta biaya ke PWM. Kedua, ketentuan yang diajak ada kreteria jelas, tidak menimbulkan iri hati yang tidak diajak. Program itu akhirnya berjalan mulus dan menggembirakan, tanpa keuangan dari PWM. Ada yang baru pertama ke luar negeri. Bahkan ada yang pertama naik pesawat terbang langsung ke luar negeri. Negara sasaran ialah Malaysia, Singapura dan Thailand.
Orang Baik Cepat Wafat?
Ketika tengah mempersiapkan buku kenangan tentang Ir Mohammad Nadjikh yang wafat dalam usia muda, saya menyampaikan humor bahwa malaikat Izrail, pengambil nyawa, itu seperti petani mengambil batang bambu dari rumpun bambu. Petani itu akan mengambil bambu yang lurus dan baik. Bukan bambu yang bengkok. Demikian juga Izrail. Dia mengambil dulu orang yang lurus dan baik. Bukan orang yang bengkok.
Mas Nadjib tertawa. Lalu berkomentar, “Mari kita titeni (perhatikan), siapa lagi diantara orang PWM yang mati paling dulu. Mungkin dia orang terbaik seperti bambu paling lurus.” Ketika Mas Nadjib wafat paling dulu, tiba-tiba saya teringat humor itu. Ternyata dia kelompok bambu lurus.
Tapi sesungguhnya tak ada hubungan antara kematian dan orang baik. Itu hanya perasaan saja. Kita ingin orang baik bersama kita selama mungkin. Ketika orang baik itu diambil Tuhan, maka kita kaget, merasa terlalu cepat. Kurang lama bersama kita.
Mas Nadjib Hamid, orang yang dirindukan banyak orang itu telah kembali ke haribaan Ilahi. Semoga selalu bahagia di sisi-Nya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Tulisan Kenangan Manis bersama Nadjib Hamid: Orang Baik Cepat Wafat? ini kali pertama diterbitkan oleh majalah Matan Edisi 178 Mei 2021.