PWMU.CO – Kaum modern berbeda dengan konservatif. Orang modern punya mobilitas tinggi, selain pandangannya terbuka, berpikiran maju, dan tidak kuper.
Demikian yang dikatakan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Profesor Achmad Jaenuri, dalam Baitul Arqam Guru dan Karyawan SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (Smamda), Senin (26/4/21).
Prof Jen, panggilannya, mengatakan pergaulan KH Ahmad Dahlan dengan model pakaian kearab-araban sudah melintas batas. “Beliau juga berdiskusi dengan berbagai pihak, dari ateis, Kristen, hingga abangan. Justru sekarang ironi, karena yang pakaiannya kearab-araban malah dicap dan disingkirkan,” ujarnya sembari mengatakan, luasnya pergaulan Kiai Dahlan karena profesinya sebagai pedagang.
Ideologi Muhammadiyah, sambungnya, memberikan dasar ibadah, sehingga memiliki konteks yang lebih luas. “Shalat, puasa, dan zakat tidak cukup hanya sampai dikerjakan lalu gugur kewajiban, tapi harus membentuk keshalihan sosial,” ungkapnya di Auditorium KH AR Fachrudin Smamda.
Sebab, kata dia, kalau ada bencana semua akan terkena tanpa pandang bulu, termasuk orang-orang shalih. Inilah yang menjadi bidang garap dari organisasi yang di dunia tiada duanya itu. “Filosofi praksis amal nyata Muhammadiyah telah mengubah kehidupan keagamaan, sosial, dan politik di Indonesia,” tuturnya.
Menurut Prof Jen, awal munculnya Islam terkesan hanya berkaitan dengan urusan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Islam belum tampak pada sekolah klasikal, pengobatan modern, dan perkembangan ilmu pengetahuan.
“Muhammadiyah gencar mengimplementasikan apa yang diterapkan Belanda dalam dunia pendidikan. Muhammadiyah merombak model pendidikan, dari sorogan ke klasikal, dari sesuai keinginan guru ke kurikulum,” jelas mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu.
Ciri Kaum Modern
Lebih lanjut Achmad Jainuri menilai, Islam mencakup segala aspek kehidupan. Dalam bidang budaya, Muhammadiyah menanamkan nilai-nilai etik. Kehidupan modern menitikkan pada karakteristik personal.
“Ada empat ciri masyarakat modern. Pertama memiliki mobilitas tinggi, dinamis. Ada dua jenis kelompok masyarakat. Pertama terbuka, enak diajak ngomong, berpikiran maju. Ini ciri masyarakat pedagang, karena banyak bertemu dengan beragam orang,” terangnya.
Kedua, kata dia, adalah kuper (kurang pergaulan), nggak enak diajak ngomong. Ini biasa terjadi pada masyarakat petani. Pagi ke sawah, siang istirahat, lalu sore ke sawah lagi. Tidak banyak bertemu orang, pergaulannya hanya dari itu ke itu saja. “Pedagang itu kaum modern, sementara petani dikelompokkan kaum konservatif,” tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya ini.
Ciri kedua, sambungnya, adalah melek huruf, literasi, dan kebutuhan prestasi, need for achievement. “Virus N+Ach atau ingin selalu berhasil dalam setiap kegiatan. Harus ada program harian, pekanan, bulanan, dan tahunan agar jelas target perjuangan,” ungkapnya.
Sedangkan ciri ketiga adalah rasional, yakni menerima perubahan dan tidak puas dengan yang ada. “Sementara ciri keempat, punctuality alias ketepatan waktu. Contoh sederhananya adalah saat ada undangan rapat dia datang tepat waktu. Dan yang kelima adalah adaptif dan terbuka. Dari manapun muasalnya, asal tidak bertentangan dengan prinsip agama, diterima, dan dikembangkan,” jelasnya.
Tugas AUM
Menurut Prof Jen, tugas amal usaha Muhammadiyah (AUM) selanjutnya ada dua. Pertama, komitmen terhadap Islam yang berkemajuan. Pada awal berdirinya Muhammadiyah, banyak warga China lebih memilih Muhammadiyah dari pada Sarekat Islam.
“Semaun dan Darsonojuga diundang dalam pertemuan tahunan Muhammadiyah. Ketika ditanya para anggota Muhammadiyah, dijawab ambil manfaat yang baik, yang tidak baik tinggalkan,” kata dia.
Tugas AUM yang kedua adalah komitmen terhadap persyarikatan. “Kita ada di bawah amal usaha yang di kelola Persyarikatan. Harus punya komitmen tinggi untuk memajukan dan mengembangkan AUM, termasuk komitmen mengembangkan Smamda,” pesannya.
Menurutnya, para guru dan karyawan AUM harus mewakafkan diri di Persyarikatan, dalam rangka mengembangkan Muhammadiyah beserta amal usahanya.
“AUM salah satu fungsinya sebagai lembaga dakwah. Dakwah bil hal, yakni bagaimana menanamkan nilai-nilai agama pada para peserta didik. AUM juga berfungsi menggali dana dari masyarakat, yakni menyuplai dana untuk dakwah Muhammadiyah,” ungkap pria kelahiran Pucuk, Lamongan ini.
Proses tersebut, kata dia, yang telah dilakukan Wali Sanga dan disempurnakan Kiai Dahlan. “Awal berdirinya, Muhammadiyah memiliki majelis pustaka, pendidikan, kesehatan, dan tabligh. Dengan memberikan pendidikan yang cukup, masalah khilafiyah insyaallah selesai,” kata Prof Jen.
Penulis Moh Ernam. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.