PWMU.CO – Sebagai organisasi keagamaan, salah satu pilar Muhammadiyah adalah keberadaan ulama. Namun, berbeda dengan organisasi lainnya, kedudukan ulama dalam Muhammadiyah cukup unik. (Berita terkait: Ternyata, Bukan Antitradisi: Inilah Buktinya 12 Tradisi yang Berkembang di Muhammadiyah)
Jika di lembaga lain ulama seringkali dijadikan rujukan pendapat yang final, tidak demikian di Muhammadiyah. Tidak sedikit warga Muhammadiyah, bahkan yang hanya anggota biasa pun, bisa membantah dan mengkritiknya. Apalagi jika pendapat itu masih berstatus “pendapat pribadi”.
Kondisi ini, menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari, salah satunya karena tradisi egalitarianisme. Salah satu tradisi paling utama dan penting dalam Muhammadiyah.
(Baca juga: Cara Buya Syafii Maarif “Besarkan” Din Syamsuddin, Begini Kesaksian Hajriyanto Thohari)
“Ulama di Muhammadiyah itu betul-betul ulama di mana yang menjadi ukurannya adalah penguasaan terhadap ilmu,” jelas Hajri dalam Konsolidasi Organisasi Seri VII Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Hotel Bukit Daun, Kediri (20/11).
“Karena penguasaan terhadap ilmu, maka di situ sifat-sifat ilmu pengetahuan diterapkan,” jelas Hajri. Sifat ilmu itu, tambah Hajri, adalah bisa dikritik dan dibantah.
“Jadi meskipun Profesor Doktor Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, red) atau Doktor Saad Ibrahim (Ketua PWM Jatim, red), bisa dibantah. Egaliter saja itu.”
(Baca juga: Hajriyanto: Ceramah Itu Jangan Sedikit-sedikit Bid’ah, Sesat, Haram, dan Masuk Neraka!)
Sebelumnya, Hajri memang mengupas banyak hal tentang nilai egalitarisme yang dalam Islam memiliki nilai tinggi. Dalam pandangan Hajri, spirit Islam juga diwarisi oleh Muhammadiyah. Mengutip pendapat Ali Shariati, Hajri menerangkan posisi wukuf di padang Arafah sebagai simbol egalitarianisme.
“Seperti digambarkan dalam wukuf, Allah hendak mempertontonkan kepada dunia tentang ajaran egalitarianisme dalam Islam. Maka semua harus melepaskan pakaiannya, karena pakaian melambangkan preferensi, status sosial, maka lepas diganti dengan pakaian ihram,” kata Hajri mengutip Ali Shariati.
Karena egalitarianisme yang paling utama dan penting, maka tambah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI 2009-2014 ini, Muhammadiyah tidak mengenal darah biru dalam kepemimpinan organisasi.
(Baca juga: Hajriyanto: Ketika Kata ‘Usaha’ Membikin Beda Orientasi Amal Muhammadiyah)
Jika di organisasi lain tidak sedikit pemimpinnya harus diambil dari keturunan ini dan itu, tapi tidak demikian halnya di Persyarikatan. “Tapi tidak demikian halnya di Muhammadiyah,” kata Hajri merujuk ketidaklakuan “darah biru”.
Hajri lantas mencontohkan tentang egalitarianisme ini dalam kehidupan keseharian. “Di Muhammadiyah, putra-putrinya Kyai Haji AR Fakhruddin, tidak jadi apa-apa,” jelasnya merujuk pada ketiadaan perlakuan khusus warga Muhammadiyah pada “darah biru” dari Ketua (Umum) terlama Muhammadiyah itu.
(Baca juga: Hajriyanto: Jangan Jadi Umat Islam Sontoloyo dan Hajriyanto: Pemimpin Muhammadiyah Itu seperti Satrio Pandito)
Komentar Hajri ini tentu saja mengundang gerr para peserta. “Kurang ajar betul Muhammadiyah itu,” canda Hajri yang membuat peserta Konsolidasi Organisasi semakin tertawa lebar.
Hajriyanto juga menceritakan tentang kejadian yang terjadi menjelang muktamar 1985 di Solo. Saat itu, tambah Hajri, di Muhammadiyah memang terjadi semacam konflik seiring dengan berbagai masalah UU keormasan dan sebagainya.
“Pernah ada jumpa pers oleh forum silaturrahmi putra-putri bekas Ketua PP Muhammadiyah,” kata Hajri. “Tapi gak begitu laku. Karena egalitarianisme ini.”
(Baca juga: Serius Jelaskan Kiprah Internasional MDMC, Berhenti Sejenak karena Difoto dan Hajriyanto: Zakat, Gerakan Otentik Muhammadiyah)
Begitulah Muhammadiyah yang dalam faktanya memang tidak mengenal darah biru dalam masalah kepemimpinan karena punya tradisi egalitarianisme. Karena tradisi “persamaan” dengan pembedaan kualitas diri ini, maka pucuk pimpinan yang terpilih dalam persyarikatan tidak membedakan suku dan latar belakang promordial lainnya.
Muhammadiyah pernah punya Ketua (Umum) yang berasal dari Yogya yang bersuku Jawa, tapi beberapa kali juga berasal dari luar. Dari Minang pernah ada, begitu juga Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tidak terkecuali dari pulau kecil, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Dalam Konsolidasi Organisasi Jilid ke-7 atau pamungkas di tahun 2016 ini, dihadiri 283 unsur pimpinan PWM Jatim maupun 5 PDM: Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung, dan Trenggalek. Adapun berita kegiatan itu bisa dilihat: 283 Peserta Hadiri Konsolidasi Pamungkas PWM Jatim di Kediri, kemudian Turba PWM, Angin Segar Pemutus Polemik Muhammadiyah di Kediri.
Selain keduanya, berita dari arena Konsolidasi Organisasi ini juga bisa dilihat dalam ceramah Ketua PWM Jatim, DR M. Saad Ibrahim: Ketika Kultur Berhutang Dianjurkan oleh Pimpinan Muhammadiyah serta beberapa diskusi ringan di sidang komisi: Jangan Sampai Imam Masjid pun Tak Ada Kader. (iqbal)