PWMU.CO – PCIM Diajak Internasionalisasikan Islam Moderat. Demikian ajakan Hajriyanto Yasin Thohari pada Kajian Ramadhan, bertema Penguatan Islam Moderat di Eropa, Sabtu (1/4/21).
Kajian ini diselenggarakan atas kolaborasi PCIM Hongaria dan Kedutaan Besar RI di Budapest. Maka, hadir juga Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Hongaria HE AH Dimas Wahab dan Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Hongaria Hazim Hamid.
Pesertanya tidak hanya anggota PCIM Hongaria, tapi juga dihadiri PCIM Perancis, Turki, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Rusia.
Indonesia Utamakan Islam Moderat
Hajri—sapaan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Lebanon—mengatakan, Indonesia sangat mengutamakan Islam moderat. Bahkan, hal ini menjadi kebijakan nasional yang mendapat dukungan umat Islam di Indonesia.
“Moderasi beragama—dalam konteks Islam—jadi bagian strategi membangun Indonesia,” ujarnya.
Dia menceritakan, memahami bangsanya beragam, para pendiri bangsa Indonesia sejak awal sudah mewariskan kesepakatan bentuk berbangsa dan bernegara. Yaitu NKRI yang berdasarkan pancasila, yang telah nyata berhasil menyatukan bangsa Indonesia.
“Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler, juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Hajriyanto menegaskan, bagi Muhammadiyah, NKRI yang berdasarkan Pancasila merupakan darul ahdi wa syahadah. Yaitu negeri konsensus, kesepakatan, atau perjanjian.
“Muhammadiyah tidak akan pernah mengkhianati janji itu dan akan selalu setia mengawal perjalanan RI menuju pencapaian cita-cita,” ungkap Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Periode 2015-2020 itu.
Di Indonesia, lanjutnya, nilai-nilai agama dipelihara dan dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat istiadat lokal, tentunya yang tidak bertentangan dengan ketauhidan. Hukum agama juga dilembagakan oleh negara. Ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan damai.
“Itulah sesungguhnya jati diri bangsa Indonesia!” ujar Hajri.
Internasionalisasikan Islam Moderat
Sekarang, menurut Hajri, Islam moderat di Indonesia perlu mengembangkan fokus ke luar negeri. Dalam rangka menginternasionalisasi itu, Hajri yakin peran para peserta dalam kajian ini, sangat penting dan strategis.
“Untuk itu, perlu studi Eropa agar lebih memahami secara komperehensif tentang Eropa,” ajaknya kepada seluruh peserta.
Dengan begitu, harapannya, Islam bisa berkembang dan berkoeksistensi dengan mulus di luar negeri, dapat membantu kerja sama, dan mewujudkan rahmatan lil alamin.
Studi Eropa, menurut Hajri penting, agar tahu sejarah relasi dan interaksi Islam Arab dan Eropa (Barat) itu sudah sejak lama. Hajri lantas bercerita, interaksi itu sejak Bani Umayyah yang didirikan Khalifah Muawiyah—beribukota di Damaskus, Arab—pada tahun 697 Masehi.
Waktu itu Muawiyah menyerang Siprus dan Konstantinopel, tapi Muawiyah gagal. Mereka baru berhasil menaklukkan Konstantinopel pada masa Ottoman. “Pada masa Ottoman sekitar tahun 1600an pernah mengepung Wina,” ujarnya.
Bisa dibayangkan, lanjutnya, orang Eropa jika membaca sejarah ini akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap Islam Arab. “Jadi untuk memahami fenomena Islamophobia, bisa melihat sejarah ini,” ungkap pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah itu.
Hajri menerangkan, cara pandang orang Eropa terhadap Islam Indonesia beda dengan cara pandang terhadap Islam Arab. “Opini tentang Islam di Indonesia beda dengan opini Islam di Arab bagi orang-orang Eropa yang punya trauma,” jelasnya.
Karena itu, menurut dia, Indonesia punya peluang untuk memperkuat Islam moderat. “Penguatan Islam moderat di Eropa harus diletakkan!” imbaunya.
Tantangan Islamophobia Bersumber Trauma
Hajri mengungkap, dalam konteks sejarah, baik Eropa maupun negara dengan mayoritas Islam saling memiliki trauma satu sama lain.
Eropa, tegasnya, memiliki trauma terhadap Islam. Hajri ingat pernyataan Esposito, “Satu-satunya peradaban yang pernah menaklukkan Eropa adalah Islam.”
Setelah sebelumnya Hajri menceritakan sejarah bagaimana Islam (Arab) menimbulkan trauma pada orang Eropa, dia lalu mengungkap dinamika hubungan keduanya
Hajri menceritakan reaksi Eropa yang menimbulkan trauma pada orang Islam. “Eropa mengalahkan Ottoman pada Perang Dunia I,” ujarnya.
Keruntuhan Ottoman ini, lanjutnya, menandai mulainya kolonialisme Eropa atas Arab dan Timur Tengah sampai berakhirnya Perang Dunia II. Menurutnya, inilah penyebab Islam juga punya trauma terhadap Eropa.
“Pernah terjadi kolonialisme dan imperialisme, bahkan di Indonesia sampai ratusan tahun,” ungkap Hajri.
Hajri melanjutkan bercerita, pasca-Perang Dunia II, Eropa menjadi dunia pertama yang sudah nyaman, bahkan semakin nyaman setelah perang dingin. Sementara itu, dunia ketiga masih bergolak dengan persoalan politik dan ekonomi. Akibatnya, ada banjir pengungsi dan terjadi pergeseran demografi.
Dengan begitu, lanjutnya, muncul golongan kanan, antiimigran, supremasi kulit putih, Judeo-Christian Civilization, dan “American”—kulit putih—Great Again. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni