Mudik: Antara Wajib, Sunnah, Mubah, dan Haram ditulis oleh Adam Mochammad Naufal, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
PWMU.CO – Tidak terasa, kita sudah hampir di penghujung Ramadan. Ini merupakan tahun kedua kita sebagai umat Muslim di seluruh dunia menjalani ibadah di bulan Ramadan beriringan dengan pandemi Covid-19 yang hingga kini belum juga usai.
Biasanya, jika sudah berada di akhir bulan Ramadan seperti ini trending topic yang selalu dibicarakan antara lain seputar Lebaran dan mudik. “Mau mudik kapan”, “naik apa mudiknya”, “mudik sama siapa”, “jalan ke kota ini macet atau tidak”, dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah hal yang umum muncul di saat-saat seperti ini.
Biasanya pula, pada pekan terakhir Ramadan di jalan-jalan sudah banyak berdiri posko-posko pengamanan mudik lebaran, warta mudik di stasiun televisi, kepadatan di jalan antarkota, atau mungkin sudah banyak juga dijumpai kendaraan yang “tidak wajar”.
Seperti sepeda motor dimuati satu keluarga yang lebih dari dua orang beserta bawaannya, mobil dengan muatan di atasnya yang tinggi muatannya bahkan lebih tinggi dari mobilnya sendiri, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah hal yang selalu kita saksikan setiap tahun mulai dari akhir Bulan Ramadan sampai libur Idul Fitri berakhir.
Larangan Mudik
Namun, sepertinya di tahun ini suasana tersebut tidak dapat ditemui. Karena, meskipun pemerintah sudah memberi kelonggaran aturan terhadap melaksanakan kegiatan-kegiatan di bulan Ramadan, tetapi tidak dengan kegiatan mudik.
Masyarakat Indonesia harus kembali gigit jari dikarenakan tahun ini merupakan kali kedua pemerintah melarang mudik. Kebijakan ini menuai respon yang bermacam-macam, baik pro maupun kontra.
Sebab, mudik dan Ramadan adalah satu hal yang sudah melekat erat dengan masyarakat Indonesia. Setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadan, mayoritas masyarakat Indonesia mudik untuk merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman bersama sanak saudara.
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik dari Jabodetabek pada tahun 2019 mencapai 14.901.468 sementara jumlah penduduk Jabodetabek tahun 2018 sebanyak 33.759.549 orang. Atau dengan persentase jumlah pemudik sebesar 44,1 persen. Ini merupakan jumlah yang besar.
Dengan adanya larangan mudik, tentu suasana hari raya Idul Fitri akan sangat berbeda. Kita semua mengetahui bahwa perayaan Idul Fitri di tahun 2020 kemarin suasananya sangat berbeda dikarenakan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah disebabkan karena adanya pandemi.
Hukum Mudik
Tetapi, mau tidak mau kita harus bijak dalam menyikapi kebijakan pemerintah tersebut. Kita harus menjadi orang yang mengedepankan kepentingan bersama daripada harus berlarut-larut dalam kekisruhan yang tak berujung.
Kita mungkin sudah tahu bahwa tradisi mudik di hari raya Idul Fitri khas Indonesia. Mungkin ada beberapa negara lain yang memiliki tradisi serupa. Tetapi mayoritas tidak. Di sini kita harus menggarisbawahi bahwa tradisi tersebut pada dasarnya bukanlah hal wajib yang diperintahkan oleh agama. Buktinya tidak semua umat muslim di seluruh dunia melakukannya.
Meski begitu, bukan waktunya lagi untuk memperdebatkan bagaimana mudik dalam pandangan agama sebagaimana kata sebagian orang yang menyatakan bahwa mudik tidak ada di zaman Rasulullah.
Esensi dari mudik itu adalah bagaimana kita bisa bersilaturahim dengan sanak saudara setelah lama tidak berjumpa karena jarak dan kesibukan masing-masing, di mana rasa persaudaraan serta jiwa sosial kita masih terpelihara dengan baik dan tidak hilang karena waktu.
Pada dasarnya, silaturahmi hukumnya wajib karena sesama Muslim pada dasarnya adalah saudara. san sesama saudara harus saling mengasihi. Dan silaturahim adalah salah satu bentuk mengasihi sesama saudara karena menunjukkan kita masih peduli terhadap orang lain.
Mudik adalah salah satu metode untuk bersilaturahim Itu artinya, ada metode lain yang dapat dilakukan untuk bersilaturahim dan mudik bukan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk bersilaturahmi. Silaturahim itu wajib, tetapi ada cara lain yang dapat dilakukan.
Mudik pada dasarnya memiliki hukum mubah (boleh), tetapi bisa menjadi wajib atau bahkan bisa menjadi haram bergantung kondisi. Jika mudik diasumsikan sebagai salah satu metode silaturahim, maka mudiknya bisa dihukumi sunnah karena dengan mudik tersebut kita terselenggaralah kegiatan silaturahim.
Tetapi dalam keadaan tertentu, mudik dapat menjadi haram. Dalam ilmu ushul fikih, ada kaidah yang berbunyi “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” yang artinya “mencegah kemudaratan (keburukan) diutamakan dibanding mengambil manfaat dari sesuatu hal”.
Mudik di Tengah Pandemi
Adapun relevansi dengan larangan mudik kali ini adalah dalam kondisi pandemi saat ini, bepergian menuju kampung halaman sangat beresiko bagi keselamatan diri kita sendiri dan orang yang akan kita temui. Maka dari itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kita lebih baik menahan diri untuk tidak mudik terlebih dahulu.
Lagipula, sebenarnya kita bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk tetap bersilaturahmi, seperti untuk mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga kita dapat menggunakan aplikasi tatap muka seperti zoom meeting dan aplikasi lainnya.
Jika butuh untuk memberikan uang bisa menggunakan aplikasi mobile banking untuk mentransfer uang, jika ingin memberikan barang kita dapat memesannya di toko online dan mengirimkannya kepada sanak famili kita meskipun itu berada di tempat yang jauh. Hal tersebut dapat dilakukan untuk tetap menyambung silaturahmi, meskipun memang diakui rasanya akan berbeda.
Maka dari itu, silaturahim dapat tetap dilakukan meskipun tanpa kegiatan mudik. Idul Fitri tetap dapat dirayakan dengan khidmat meskipun tidak bersama sanak family. Kita perlu menahan diri untuk tidak mudik terlebih dahulu.
Jika tetap ingin mudik, pastikan ada urgensi yang rasional serta bersifat memaksa untuk menjadi alasan mengapa tetap mudik. Selalu jaga protokol kesehatan bagi semuanya, baik yang mudik maupun tidak mudik agar pandemi depat segera berlalu.
Kemudian yang tak kalah penting, kita sebagai umat Islam Indonesia harus cerdas dan bijak dalam menyikapi sesuatu agar tidak mudah menjadi orang yang tersulut emosi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni