Penetapan Syawal di Zaman Nabi ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Penetapan Syawal di Zaman Nabi ini berangkat dari hadits riwayat Ibnu Majah.
عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمُومَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ. رواه ابن ماجه
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata; telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar—mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam—mereka berkata:
“Kami tidak dapat melihat hilal bulan Syawal, maka pada pagi harinya kami masih berpuasa, lalu datanglah kafilah di penghujung siang, mereka bersaksi di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun memerintahkan mereka berbuka, dan keluar untuk merayakan hari rayanya pada hari esok.” (HR Ibnu Majah)
Makna Syawal
Syawwaal dari asal kata syaala yasyuulu syaulan bermakna rafa’a yakni meninggikan, mengangkat. Syawwal yang jamaknya syawawil wa syawwaalaat juga berarti ahadusysyuhuril’arabiyyah bakda ramadlan wa qabla dzilhijjah yaitu salah satu bulan dari bulan-bulan Hijriah setelah Ramadlan dan sebelum Dzulhijjah. Syawwaal berarti peningkatan.
Ramadhan 1442 Hijriah segera berakhir, dan selanjutnya kita akan memasuki Idul Fitri 1442. Kita masih berharap untuk dapat bertemu lagi dengan bulan Ramadhan 1443, tetapi yang memiliki rahasia waktu bagi setiap jiwa hanyalah Allah Subhanahu wa Taala. Hanya upaya yang harus kita lakukan dengan maksimal untuk memaknai kehidupan ini dalam rangka berbakti kepadaNya.
Akhiri Puasa, Shalat Id Besoknya
Pada zaman Nabi sebagaimana pada hadits di atas, yaitu hadits yang bersumber dari Umair bin Anas bin Malik, bahwa paman-pamannya dari kalangan Anshar, termasuk sahabat-sahabat Rasulullah SAW, bercerita kepadanya bahwa saat itu di akhir Ramadhan terjadi mendung sehingga hilal tidak tampak. Maka kaum Muslimin menggenapkan puasa Ramadhan menjadi 30 hari.
Tetapi di penghujung siang datanglah kafilah atau rombongan yang berkendara ke Madinah, dan mereka bersaksi di sisi Nabi dan mengatakan bahwa kemarin mereka melihat hilal bulan Syawal. Maka setelah mendapatkan informasi tersebut Rasulullah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk berbuka, yakni tidak melanjutkan puasanya di hari itu. Sehingga hari itu adalah Idul Fitri.
Rasulullah memerintahkan untuk mempersiapkan shalat Idul Fitri di esok harinya. Karena hari itu tidak memungkinkan untuk shalat Id dikarenakan sudah keluar dari waktunya karena matahari sudah meninggi.
Ada yang berpendapat waktu itu sudah masuk bakda Zawal, yakni sudah masuk waktunya shalat Dhuhur. Tetapi shalat Id tetap harus dijalankan dalam rangka syiar Islam dan jalinan ukhuwah di antara kaum muslimin.
Tentu tidak lupa zakat fitrah harus segera ditunaikan sebelum pelaksanaan shalat Id tersebut. Sehingga kaum Muslimin dapat merayakan hari raya dengan penuh kegembiraan dan penuh rasa syukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang begitu banyaknya.
Di esok harinya Rasulullah memerintahkan semua kaum Muslimin dan Muslimat untuk keluar menuju tempat shalat Id—yakni mushala atau tempat yang lapang—dalam rangka mengagungkan hari itu sebagai hari yang mulia.
Termasuk bagi wanita yang sedang berhalangan, Rasulullah memerintahkan untuk keluar tetapi tidak untuk ikut shalat. Demikian pula yang tidak memiliki pakaian atau jilbab, Rasulullah memerintahkan untuk memberikannya sehingga mereka dapat ikut bergabung dalam jamaah kaum muslimat lainnya.
Di antara kepentingan yang terselip pada saat itu adalah untuk menunjukkan kekuatan kaum Muslimin dengan banyak jumlahnya, dalam rangka menggetarkan musuh-musuh islam, sekaligus sebagai bentuk show of force untuk menjadikan ciut nyali kaum kuffar.
Waktu Shalat Id
Para ulama bersepakat bahwa waktu untuk shalat Id adalah setelah matahari agak meninggi (hina iratifaisysyams) atau sekitar waktu shalat Dhuha. Sedangkan waktu akhir dari shalat Id adalah sampai Zawal, yakni masuknya waktu Dhuhur.
Ada tiga larangan waktu untuk shalat. Yaitu: pertama, saat matahari terbit hingga agak meninggi. Kedua, ketika matahari tepat di atas langit hingga telah condong sedikit ke barat. Dan ketiga, saat matahari hampir terbenam, hingga terbenam. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِيَّ يَقُولُا ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ. رواه مسلم
Dari Musa bin Ali dari bapaknya ia berkata, saya mendengar [Uqbah bin Amir Al Juhani] berkata; “Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.” (HR Muslim)
Untuk shalat Idul Fitri dianjurkan agak ditunda karena berkenaan dengan pembayaran zakat fitrah bagi kaum muslimin, sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk lebih pagi karena setelah itu kaum Muslimin akan sibuk dengan upacara penyembelihan hewan kurban. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni