Kembali ke Fitrah Bangsa oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Selama setahun lebih bumi dipaksa mandek oleh Covid-19. Ekonomi dunia anjlok lebih buruk dari krisis sebelumnya. Krisis kali ini fundamental: krisis produksi dan konsumsi sekaligus.
Pembatasan sosial berskala besar telah menghentikan produksi, sekaligus menurunkan permintaan. Krisis ekonomi ini juga mendorong krisis lain dengan konsekuensi yang masih sulit diprediksi.
Setelah dipaksa dirumahkan, bermasker, dilarang mudik, kini manusia dipojokkan dengan vaksinasi paksa dengan manfaat imunitas minimal dengan risiko yang belum bisa dipetakan.
Hampir semua sektor ekonomi terpukul. Pengangguran melonjak tajam. Hanya sektor teknologi dan perdagangan kebutuhan pokok bertahan atau tumbuh. Program Bansos berskala besar digelontorkan.
Karena kontraksi produksi dan mobilitas manusia, emisi karbon turun, kualitas udara membaik. Namun ini tidak menghentikan pemanasan global. Microplastics sudah telanjur mencemari samudra. Perubahan iklim berupa banjir dan berbagai cuaca ekstrem mendera hampir semua bagian dunia.
Di negeri kepulauan di bentang alam nusantara ini, kerusakan yang terjadi ternyata lebih dahsyat. Konsekuensi terburuk dari obsesi pertumbuhan tinggi selama 50 tahun terakhir yang didorong oleh pemusatan modal politik dan ekonomi pada segelintir elite makin nyata.
Malpraktik administrasi publik makin parah: banyak regulasi dibuat oleh DPR dan pemerintah, lalu ditasfirkan oleh aparat hukum bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan para elite parpol dan korporat. Elite bahkan berselingkuh dengan kekuatan asing nekolimik baik dari Sayap Barat maupun Tembok Besar.
Semua ukuran pembangunan merosot. Korupsi masih merajalela, demokrasi menyusut, keadilan menjauh, kesenjangan pendapatan melebar, ketimpangan spasial makin parah, dan utang menggunung.
Semua alasan bagi adanya republik diingkari. Sekarang republik ini praktis makin mendekati kekaisaran Romawi di bawah Nero. Tidak ada lagi effective check and balances. Media mainstream keluh lidah, dan kampus makin asyik hidup dalam ersatz professionalism.
Kaum Kiri Sekuler
Fitrah bangsa ini telah disepakati lalu ditulis oleh para tokoh negarawan dan ulama pendiri bangsa yang lurus dalam Pembukaan UUD 1945. Diakui bahwa kemerdekaan adalah berkat rahmat Allah.
Untuk mensyukurinya, bangsa yang majemuk ini menyatakan diri sebagai bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu dalam kebhinnekaan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selama lima tahun terakhir, setelah sekian lama menunggu, kaum sekuler kiri radikal berhasil mengacak-acak jati diri hasil kesepakatan agung itu. Bahkan secara terstruktur, sistemik dan masif, mudah memfitnah warga yang menjalankan agamanya sebagai anti-Pancasila dan radikal, menzalimi kemanusiaan dengan kebiadaban, memecah belah bangsa, membajak kerakyatan dengan pemilu yang memilukan, dan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi warga bangsa yang kritis.
Setelah berpuasa sebulan penuh, tiap pribadi muslim diharapkan kompeten hidup sesuai fitrahnya yang jujur, peduli, cerdas dan amanah. Harus segera diwaspadai bahwa sebagai bangsa, kita justru makin diasingkan dari fitrah jati diri kelahiran bangsa ini.
Jika alienasi itu berlangsung terus maka dusta, ketidakpedulian, kedunguan, dan pengkhianatan akan menjadi the order of the day. Hukum menghapus keadilan, bantuan sosial dikorupsi, pendidikan mendungukan, dan penelitian justru menjauhkan manusia dari Tuhan.
Umat Islam sebagai pemilik saham penting bangsa ini menolak diam membiarkan republik amanah para pendirinya runtuh pecah berantakan. Saatnya kembali ke fitrah bangsa demi keselamatan.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya, 10/5/2021
Editor Sugeng Purwanto