PWMU.CO – Allah Menyambut Gembira Orang-Orang yang Bertobat. Menurut Prof M. Qurasih Shihab, kata id terambil dari akar kata yang bermakna kembali. Yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula.
Ini berarti bahwa sesuatu yang ‘kembali’ pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu? Hal itu dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam buku Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat, (Mizan, Cetakan XII November 2001), Qurasih Shihab menjelaskan, dalam pandangan al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa.
Sehingga idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya. Atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian dia berada dalam kesucian.
Dosa Membuat Manusia Jauh
Qurasih Shihab menjelaskan, dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat al-Quran.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu: “Janganlah mendekati pohon ini!” (al-Baqarah 35).
Namun begitu keduanya melanggar perintah Allah—karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), al-Quran menyatakan, “Maka Tuhan mereka menyeru keduanya, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?'” (al-A’raf 22).
Menurut Qurasih Shihab, kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas, antara lain.
Sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada posisi berdekatan. Yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yaitu ‘ini’.
Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula dan Allah pun demikian. Sehingga Allah harus ‘menyeru mereka’—yakni berbicara dari tempat yang jauh. Dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni ‘itu.
Kembali Dekat
Qurasih Shihab menjelaskan, di sini terlihat bahwa, baik Adam maupun Allah, masing-masng menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula.
Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam al-Baqarah 186: “Jka hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku.”
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, kata Qurasih Shihab, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula.
Al-Quran memperkenalkan dua pelaku tobat, yatu manusia dan Allah SWT: “Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih.” (al-Baqarah 37).
Manusia Berjalan, Allah Berlari
Menurut Qurasih Shihab, walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang mengatakan, “Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali” (al-Isra’ 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadits Nabi SAW pun menjalaskan bahwa Allah berfirman, “Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari.” (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah atas tobat hamba-Nya juga tercermin dari hadits yang driwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik.
“Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang pada saat ia bertobat dari salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya.
Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kedalinya sambil berkata, saking gembranya: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu!'”
Manusia Harmonis
Qurasih Shihab melanjutkan, dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-insan.
Kata ini—menurut sebagian ulama—terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini saja dapat dipahami, pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antarsesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula—harmonis—pada saat ia menyadari kesalahannya dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas, kata Qurasih Shihab, dapat disimpulkan bahwa Idul Fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Selamat Idul Fitri 1442, mohon maaf lahir dan batin! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni