Kiai Dahlan tentang Iman, Ilmu, Amal, dan Ikhlas, oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh-tokoh Islam.
PWMU.CO – Di banyak kesempatan, KH Ahmad Dahlan menekankan keimanan. Kita harus teguh, misalnya, dalam memegang iman kepada Hari Akhir. Tentu saja, terkait ini, kita harus pula menyiapkan diri agar bisa hidup bahagia di negeri akhirat yang kekal. Kata Kiai Dahlan: “Kita manusia ini hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: Sesudah mati akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah” (Hadjid, 2013: 7).
Agar hidup terarah dengan baik, Kiai Dahlan memberikan semacam petunjuk jalan. Dalam hal ini, beliau sangat sering mengutip perkataan ulama yang diyakininya sebagai sesuatu yang tepat. Bahwa, “Manusia itu semuanya mati (mati perasaannya), kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. (Tapi) ulama-ulama itu dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. (Adapun) mereka yang beramalpun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas atau bersih” (Hadjid, 2013: 7).
Jika kedua paragraf di atas itu kita “gabung”, dalam pandangan Kiai Dahlan, agar kita bahagia di dunia dan di akhirat maka rawat dan kuatkanlah empat hal ini: Iman, ilmu, amal, dan ikhlas. Mari kita renungkan kaitannya.
Iman dan Ilmu
Rukun Iman adalah pelajaran paling pokok dalam Islam. Rukun Iman yang enam itu, diajarkan langsung oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw yang kala itu sedang bersama Sahabat Umar bin Khaththab Ra. “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, Hari Akhir, serta hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk” (HR Muslim).
Iman harus kuat. Dengan ilmu, iman akan semakin kukuh. Untuk mendapatkan ilmu bergurulah kepada orang atau pihak yang tepat. Sementara, jika kita di posisi sebagai orang yang memiliki ilmu, jadilah guru yang baik. Sampaikanlah ilmu yang kita punya dengan cara yang baik. Lihatlah, dalam hal Rukun Iman, bahkan ilmu tentang itu diajarkan langsung oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.
Berimanlah dan berilmulah, agar kita bisa memenuhi ketentuan Allah ini: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Mujadilah 11).
Berilmulah! Milikilah ilmu yang setinggi-tingginya. Jika berilmu, kita akan paham bahwa beriman saja tidak cukup. Bagi semua yang beriman, pada saat yang sama mereka harus mengerjakan amal shalih sesuai yang digariskan Allah dan Rasul-Nya. Sekadar contoh, kepada kaum beriman diwajibkan untuk berpuasa, sebagaimana yang dimaksud ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (al-Baqarah183).
Ilmu dan Amal
Dalam beberapa ayat perintah untuk menegakkan shalat disebutkan bersamaan dengan zakat. Misalnya, di ayat ini: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (al-Baqarah 110). Hal itu menunjukkan posisi zakat sepenting shalat. Maka, sulit kita mengerti jika ada orang yang rajin menegakkan shalat tapi abai untuk menunaikan zakat.
Terkait hal di atas, jika berilmu kita akan paham atas sikap Abubakar Ra dalam menghadapi umat Islam yang enggan membayar zakat. Alkisah, setelah Rasulullah Saw wafat, sejumlah umat Islam malas berzakat dengan aneka alasan. Sikap mereka direspon secara tegas (untuk tak menyebut keras) oleh Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Dalam sebuah musyawarah, tanpa ragu Abu Bakar menjawab pandangan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu dan para sahabat lainnya yang berbeda dengannya: “Demi Allah, aku akan memerangi siapapun yang memisahkan shalat dengan zakat.”
Abu Bakar bersikap tegas seperti itu karena dalam pandangannya, umat Islam—yang beriman—tak boleh membeda-bedakan antara kewajiban menegakkan shalat dan menegakkan zakat. Bagi beliau, kewajiban menunaikan zakat merupakan salah satu dari Rukun Islam. Tidak sempurna Islam seseorang atau suatu kaum bila menafikan penunaian zakat. Apalagi, tegas Abubakar Ra, di dalam Al-Quran perintah shalat beriringan dengan seruan menunaikan zakat.
Di musyawarah itu, seperti yang telah disebutkan, di awal Umar bin Khaththab tak sependapat dengan Abu Bakar. Tapi, setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar, akhirnya Umar bin Khaththab bisa memahami dan mendukungnya.
Pada fragmen di atas, terlihat hubungan yang menyatu antara iman, ilmu, dan amal. Untuk penghayatan lebih lanjut, cermatilah ayat ini: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (al-Baqarah 177).
Terlihat pada ayat di atas, dalam hal kebajikan posisi iman disandingkan sejajar dengan keutamaan melakukan berbagai amal shalih. Ada banyak pilihan amal shalih, seperti mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Juga, membelanjakan harta yang dicintainya antara lain kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan lain-lain.
Iman harus kita buktikan dengan amal. Jika hal itu tidak kita lakukan, maka kita akan menjadi pribadi yang aneh. Perhatikan syair gubahan Hamka di buku “Iman dan Amal Shaleh” (1982, 4) berikut ini: Engkau durhakai perintah Tuhan/ Padahal di lahir menyatakan cinta/ Di dalam alam ini mustahil/ Di alam ini pun ganjil/.
Selanjutnya, Hamka berpesan: Kalau nian cintamu tulus/ Niscaya perintah-Nya engkau taati/ Sebab orang bercinta kepada kecintaan/ Patuh dan tunduk senantiasa/.
Perhatikanlah! Hamka mewanti-wanti agar kita sekali-kali jangan pernah punya cinta palsu. “Cinta yang tak sudi berkorban, menurut yang terpakai dalam alam ini, adalah cinta palsu. Apatah lagi terhadap Tuhan, niscaya iman palsu, Islam palsu,” kata Hamka.
Amal dan Ikhlas
Iman sudah kita miliki, ilmu telah kita punyai, dan amal sudah kita kerjakan. Lalu, apa lagi? Kembali kepada ajaran ulama yang sering dikutip Kiai dahlan, maka lakukanlah kesemua itu dengan ikhlas. Adapun soal ikhlas, ada di niat. Artinya, bersihkan niat kita bahwa semua amaliyah yang kita kerjakan hanya semata-mata untuk mengharap ridha Allah.
Atas hal di atas, renungkanlah hadits ini: “Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya)” (HR Bukhari dan Muslim).
Selalulah meluruskan niat kita. Jangan sekali-kali amaliyah kita didorong oleh hawa nafsu. Allah melarang hal ini, bahkan memberikan predikat yang buruk kepada pelakunya. Cermatilah ayat ini: “Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (al-Furqaan 43-44).
Sungguh, “Apabila orang telah memperturutkan kehendak hawa nafsunya maka cahaya ketuhanan kabur dalam hatinya,” kata Hamka. Oleh karena itu, ikhlaskan niat dengan meniadakan sama sekali dorongan hawa nafsu dalam amaliyah kita. Jika sudah begitu, yaitu “Apabila manusia telah terlepas dari cengkraman ‘Tuhan hawa nafsu’, akan jernihlah kembali jiwanya dan akan timbul hakikat iman yang sejati,” tegas Hamka (Tafsir Al-Azhar, 2003: 5037).
Sudahkah Kiai Dahlan memiliki dan menjalankan empat hal yaitu “Iman, ilmu, amal, dan ikhlas” itu? Rasanya, tak perlu uraian panjang-lebar untuk menjawabnya. Cukuplah kiranya, kita ikuti perjalanan hidup beliau sejak dibesarkan oleh kedua orangtuanya dalam suasana yang penuh keimanan sampai di hari-hari terakhir kehidupannya yang tak putus memikirkan dakwah dan nasib umat Islam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni