PWMU.CO – Diasporamu Hadapi Tiga Tantangan Eksistensial Masyarakat Eropa. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi, membahas itu pada Syawalan bersama Diaspora Muhammadiyah Eropa, Ahad (16/5/21).
Halalbihalal virtual itu bertema Diasporamu Eropa sebagai Lokomotif Penguatan Islam Berkemajuan untuk Mencerahkan Semesta.
Dalam kegiatan itu hadir para diaspora aktif yang tergabung dalam 10 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) se-Eropa. Yaitu: PCIM United Kingdom, Turki, Jerman Raya, Prancis, Belanda, Spanyol, Hongaria, Rusia, Ceko, dan Swiss.
Kepada seluruh peserta, Haedar mengingatkan, peran senior sangat penting. Baik dalam wawasan, pemikiran, keilmuan, maupun pengalaman berada dalam relasi dunia internasional.
Hadir pula HE Dr Lalu Muhammad Iqbal, Duta Besar RI untuk Turki, dan HE Rizal Sukma PhD, Duta Besar RI untuk Inggris Raya 2016-2020. Dia berharap, kedua dubes yang hadir itu terus menjadi mentor bagi aktivis PCIM seluruh dunia dalam program diaspora Muhammadiyah.
Silaturahmi
Haedar menyatakan, forum silaturahmi bukan hanya berdimensi relasi sosial dan personal untuk mempererat persaudaraan. Silaturahmi, menurut Haedar, lebih dari itu: merupakan ikatan batin.
Kemudian dia mengutip hadits Nabi, “Bukanlah silaturahmi dalam keadaan yang normal, tapi silaturahmi itu sebenarnya mempertautkan sesuatu yang terputus.” Artinya, lanjut Haedar, harus ada nilai lebih dari silaturahmi.
“Dalam konteks mempererat tali persaudaraan, di Muhammadiyah, kita hidup dalam relasi-relasi organisasi yang impersonal, sedangkan kalau relasi-relasi personal itu tidak begitu hidup,” jelasnya.
Jadi, lanjutnya, dimensi irfani-nya (ihsan) atau keruhanian kurang begitu melekat. Komunalitasnya kurang begitu kuat, padahal sampai batas tertentu, butuh komunalitas yang erat. “Dimensi kita sebagai keluarga itu sangat penting kita bangun,” tuturnya.
Tiga Tantangan Eksistensial
Haedar menerangkan, menyamakan persepsi baik tentang Muhammadiyah, Islam, kebangsaan, dan khususnya dalam konteks diaspora Muhammadiyah, adalah isu-isu internasional yang selalu terkait kemuhammadiyahan, keislaman, dan keindonesiaan.
Dia menekankan, menyamakan persepsi penting karena dihadapkan pada realitas. Kalau mengikuti perkembangan, setidaknya tiga tantangan yang eksistensial melekat dengan negara dan masyarakat di Eropa.
Pertama, masyarakat Eropa adalah masyarakat yang sudah shared value tentang multikultural. Di mana, hak asasi manusia, demokrasi, persamaan, dan toleransi sudah menjadi built in (tertanam) dalam denyut nadi dan DNA masyarakat Eropa, apapun persepsi dan konsepsinya.
Haedar lantas melontarkan pertanyaan, “Persoalannya, di mana letak PCIM yang membawa identitas Islam, Muhammadiyah, berada di multikultural yang baik? Apakah sudah masuk di dalamnya atau masih berada di pinggiran?”
“Masyarakat Muslim Eropa, dalam piramida multikultural Eropa berada di mana? Sudah masukkah? Kalah sudah masuk, posisinya agak di pinggir atau ke tengah?” tanya dia.
Imbauan Mengkaji Posisi PCIM
Menurut Haedar, mengetahui posisi itu penting karena menentukan keadaan masyarakat Muslim ke depan. Sebagai tindak lanjut prediksi The New Forum, pada tahun 2045-2055 masyarakat Muslim jadi nomor satu di Eropa.
“Persoalannya kan kita tidak sekadar dihibur oleh angka, tapi keberadaan masyarakat Muslim di Eropa, dalam konteks multikuktural berada di posisi mana,” ungkapnya.
Haedar memaparkan penelitian awal yang mengkaji Muslim di Belanda, di mana Muslim di sana masih membawa pemikiran Islam di era 60-70-an. Padahal saat itu kondisinya masih menengah ke bawah.
Sedangkan, kelompok Muslim yang berdiaspora ini justru dari kelompok menengah ke atas. Jadi menurutnya, penelitian itu perlu kajian lebih dalam agar tahu posisi Muslim di Eropa saat ini.
Terlepas dari itu, kondisi multikultural memang jadi bagian yang lekat, bahkan di Indonesia.
Dinamika Masyarakat Sekuler
Kedua, dinamika masyarakat sekuler di Eropa. “Bagaimana hadir dengan agama Islam bisa kompatibel dengan negara dan masyarakat yang state of mind-nya sekuler, liberal, sampai agnostik, dan ateis?” tanya Haedar.
Apalagi, sambungnya, kalau Islamnya serba doktrinal. Ditambah, orientasi politik Islamis.
Dinamika ini, prediksinya, masih terus berlangsung. Dia menyadari, menjadi Muslim Eropa tidak mudah. Di satu sisi, ingin mempertahankan identitas keislamannya, di sisi lain harus lentur terhadap realitas: masyarakat dan negara yang sekuler.
“Proses adaptasi, negosiasi, dan dialog menjadi niscaya. Kalau tidak, akan selalu terjadi proses marodhoh (penyakit) antara Islam dan Eropa. Selalu akan terjadi konfrontasi, baik secara kultural, lebih-lebih secara agama,” jelas Haedar.
Dia mengibaratkan seperti bumi dan langit; antara yang sekuler, ateis, dan agnostik dengan yang sangat kental doktrin keagamaannya. “Yang moderat aja kan belum tentu bisa kompatibel,” komentarnya.
Islamophobia
Tantangan ketiga, Islamophobia. Ketika masuk ke Eropa, akan menghadapi realitas Islamophobia. Bagaimana menyikapinya adalah pilihan, apakah ingin menampilkan pola yang konservatif-tradisionalis atau pola yang liberal-sekuler atau format moderat seperti apa yang bisa hadir di situ.
Menurut Haedar, ini merupakan realitas sunnatullah, ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Maka, perlu mengingat Islam selalu adaptif terhadap perkembangan zaman dan keadaan.
“Inilah ashariyah dalam surat al-Ashr yang Kiai Dahlan ajarkan selama delapan bulan,” tuturnya. Dia juga mengungkap, dari hasil bacaannya pada karya al-Qaradhawi, ayat ini menjelaskan tentang modernitas.
Bagaimana kita hadir selalu menjawab zaman dan keadaan yang berkembang? Bagi Haedar, ini persoalan masa depan sebenarnya. Tapi juga memerlukan sains dan teknologi, juga konstruksi tentang peace making dan peace building seperti yang Rizal Sukma sampaikan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni