PWMU.CO – Haedar Nashir: Kader Muhammadiyah Jangan seperti Ahli Kitab. Hal itu dia sampaikan pada acara Halalbihalal dan Silaturahmi Idul Fitri 1442 Keluarga Besar Muhammadiyah yang berlangsung secara virtual, Ahad (23/5/2021)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi mengatakan, halalbihalal, silaturrahmi, atau juga ucapan taqabbalallahu minna wa minkum harus menembus jantung ukhuwah kita.
Dengan mengutip hadits Nabi Muhammad SAW, Haedar menuturkan, silaturahmi itu bukanlah saling membalas kebaikan dalam hubungan baik semata, melainkan juga menjalin hubungan yang terputus.
Laisa al-waashilu bil mukaafiy, walakinna al-waashila al-ladzii idzaa quthi’at rahimuhu washalahaa.
Tidak dinamakan menjalin silaturahmi dengan membalas sesuatu (pemberian), tetapi menjalin silaturahim adalah apabila diputuskan hubungan (silaturahmi)nya, maka dia menyambungnya kembali.
“Tentu pesan nabi ini sangat mendalam, yang merekonstruksi nilai rohani kita agar dari lahir masuk ke batin. Sehingga ucapan-ucapan taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin itu menyatu dalam jiwa kita, pikiran, sikap, dan tindakan kita,” katanya.
Haedar Nashir mengatakan, istilah halalbihalal, sudah disuarakan atau dituliskan majalah Suara Muhammadiyah sejak tahun 1924.
“Silaturahmi dan halalbihalal itu akan sampai pada jantung ukhuwah, jika kita memakai pondasi yang dipesankan nabi tadi dan berpijak pada iman,” ungkapnya.
Silaturrahim Menembus Jantung Iman
Ukhuwah dalam konteks iman itu, imbuh Haedar, tentu diharapkan menjadi ukhuwah yang otentik, awet, berkesinambungan dan meskipun ada prahara atau gangguan tetap akan segera pulih, di saat silaturahmi menembus jantung iman.
Di dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 10 Allah berfirman, Innamal mu’minuuna ikhwatun fa aslihuu baina akhawaykum wattaqullaaha la’allakum turhamuun.
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.
Kenapa terkait ukhuwah berbasis iman? Menurut Haedar, karena di ayat 9 disebutkan, ada kenyataan perpecahan di tubuh kaum Muslimin. Di antara dua golongan, ada yang harus diishlahkan menjadi satu, dan ketika bersatu tegakkanlah secara adil.
“Poinnya ya bagaimana silaturahmi dan halalbihalal kita ini dapat menumbuhkan kekuatan iman yang akan memperkokoh ukhuwah kita,” tegasnya.
Jika silaturahmi dan halalbihalal menumbuhkan iman kita, Haedar mengingatkan, agar jangan sampai kader Muhammadiyah menjadi seperti ahli kitab yang selalu bertengkar.
“Di mana pertengkaran itu masuk ke hati mereka sehingga dalam al-Qur’an Allah berfirman, ‘Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah.’ Mereka itu terpecah belah fisik, jiwanya berjumpa, tetapi hati dan kalbunya tidak bertemu. Mudah-mudahan kita jauh dari itu,” katanya.
Dalam konteks persyarikatan atau bermuhammadiyah, Haedar menegaskan, bagaimana kita mengaktualisasikan semangat silaturahmi berjantung iman dan sadar akan benih-benih yang menumbuhkan pada iqtirab (kedekatan).
“Tentu dengan cara kita memproyeksikan nilai ruhani dari idul fitri maupun puasa ramadhan dan semangat silaturrahim ini dalam persyarikatan kita,” paparnya.
Persyarikatan Muhammadiyah
Haedar menerangkan, kata syarikat atau persyarikatan itu seperti dibahas pada tahun 1927 dalam Suara Muhammadiyah, memiliki arti perkumpulan beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakaat mungkin dan secara bersama sama.
“Jadi istilahnya dulu sudah sangat bagus dan indah. Agar kita Muhammadiyah sebagai organisasi atau perhimpunan terdiri dari orang orang yang berkumpul, berhimpun menjadi satu yang selalu bermufakat dengan semufakat mungkin. Meskipun kemungkinan ada perbedaan namun tetap menggerakkan organisasi secara bersama-sama,” jelasnya.
Inilah menurutnya yang membuat Muhammadiyah dari periode ke periode sampai usia satu abad lebih mampu bertahan, karena kita mampu menghayati makna kita berorganisasi.
“Dalam kaitan ini, maka bagaimana kita proyeksikan terus sampai ke bawah, termasuk anak-anakku sekalian yang ada di ortom dan para kader Muhammadiyah muda, bagaimana sedini mungkin memupuk keikhlasan, memupuk tanggung jawab, memupuk jiwa bersama dan rasa bersuara di Muhammadiyah,” tandasnya.
Perbedaan pendapat, juga perbedaan pendapatan, menurut Haedar tidak perlu membuat kita terpecah belah.
“Muhammadiyah ini ya memang dinamis bahkan egaliter, tetapi harus ada tempat atau titik kita bertemu untuk menyatukan perbedaan. Dalam perbedaan itu, ketika susah diketemukan, maka semuanya harus ikhlas mengikuti mufakat yang diambil secara kolektif kolegial dan tersistem dalam bangunan organisasi,” pesannya.
Karena menurutnya itulah yang menjadi kekuatan Muhammadiyah. Dinamika sejarah perjalanan Muhammadiyah di zaman Orde Lama, Orde Baru bahkan di kala penjajah.
“Muhammadiyah tetap kokoh karena rasa tanggung jawab dan semangat untuk bersatu dari para anggota, kader, lebih-lebih para pimpinannya. Dan selalu ada watawaa shaubil haq, watawaa shaubis shobr, wa tawaa shoubil marhamah,” katanya.
“Mudah-mudahan Allah selalu menunjukkan jalan dalam hati kita, jiwa bersaudara di tubuh persyarikatan kita,” imbuhnya. (*)
Penulis Nely Izzatul CO-Editor Mohammad Nurfatoni