PWMU.CO– Makan dan minum itu alamiah. Tapi kalau semua orientasi hanya tentang makan, maka derajat kita akan runtuh setingkat hewan. Bahkan lebih rendah.
Demikian disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Saad Ibrahim dalam ceramah halal bihalal keluarga besar SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (Smamda), Jumat (21/5/2021).
Menurut Saad Ibrahim, Idul Fitri bermakna kembali makan. Aktualisasi Idul Fitri diserahkan kepada manusia. ”Sekalipun kembali ke makanan harus ada beda sebelum dan sesudah puasa. Ini penanda Tuhan menerima ibadah puasa kita,” kata Saad yang dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Dia menjelaskan, manusia memiliki potensi mengumpulkan makanan sebanyak-banyaknya. Padahal binatang seperti harimau bagaimanapun buasnya, ia hanya memangsa hewan secukupnya, setelah itu istirahat.
”Beda dengan manusia, ia tidak cukup satu ayam, satu kambing, atau satu sapi tapi ia bisa membuat peternakan,” tandasnya.
Puasa Ramadhan itu menjadi almadrasah arruhiyah, sambungnya. Sekalipun selesai puasa lalu kembali ke makanan tidak menjadikan diri ini tersandera oleh makanan.
”Setiap tahun kita dimasukkan madrasah ruhiyah agar potensi manusia semakin baik. Betul-betul harus kita manage, atur, kita rancang dengan sebaik-baiknya. Agar puasa benar-benar meningkat dari satu tahap ke tahap berikutnya yang lebih tinggi,” tambah pakar tafsir al-Quran ini.
Dikatakan, kita patut bertanya apa kita lulus dari madrasah arruhiyah atau tidak. Kita harus mendidik dengan hati, dengan jiwa. Membersihkan diri dari hasud, dari iri, dari gregetan. Kalau guru gregetan terhadap murid sesungguhnya kita belum lulus dari madrasah arruhiyah.
Diterangkan, hati disebut qalbun, sesuatu yang dibolak-balik. Agar tidak bolak-balik, hati harus dihubungkan dengan pemilik hati. Tsabbit qulubana alaa diinika.
”Soal ada murid yang nakal, asal belum sampai pada kriminal, biasanya banyak memberikan kebaikan kepada kita. Guru telah memberikan peran yang besar dalam kesuksesan anak didik. ”Tidak selalu anak yang pintar sukses di kemudian hari. Tapi orang yang hidup dengan hatinya, ia akan mencapai kesuksesan hidupnya,” tegas pria kelahiran Mojokerto ini.
Tinggalkan Pesimistis
Puasa, kata dia, harus betul-betul memberi tanda. Sebagai guru kesabarannya semakin meningkat, termasuk irodahnya semakin meningkat. Jangan pernah berhenti dalam proses.
”Ada pemeo yang kelihatannya betul. Manusia yang merencanakan Tuhan yang menentukan. Ini aliran pesimistis. Tapi katakan manusia yang merencanakan maka Tuhan memberikan jalan. Semua irodah pasti diberi jalan oleh Allah,” tandasnya.
Aliran pesimistis lainnya yang dia sebutkan adalah ungkapan bagaikan pungguk merindukan bulan. ”Itu tak ada optimismenya sama sekali. Merindukan bulan kok tidak boleh. Padahal Cina sudah membuat bulan dalam artifisial,” lanjutnya.
Dia menambahkan, puasa merupakan tarbiyatul lil irodah, kemauan. Bicara Idul Fitri, bicara masa depan. Perilaku mencerminkan masa depan. Perilaku menjadi cetak biru masa depan. Fastabiqul khairat, mengambil posisi terdepan dalam kebaikan.
Saad Ibrahim bercerita, Rektor UIN Malang dulu ingin ambil program pasca sarjana ke luar negeri. Bahasa Inggris bagus. Ternyata keinginan ke luar negeri gagal. Akhirnya kuliah di dalam negeri.
”Kendati demikian anaknya sekarang kuliah di Belanda dan Australia. Irodahnya jatuh kepada anak-anaknya. Karena itu jangan punya cita-cita sesuai kondisi kita. Kita punya pikiran besar, wariskan kepada anak-anak kita. Guru Menteng Jakarta tidak pernah membayangkan muridnya ada yang jadi presiden Amerika. Begitu juga Pacitan bisa melahirkan SBY,” tuturnya.
Dia mengatakan, tugas guru mengarahkan anak-anak untuk punya kemauan. Walaupun sudah disaingi oleh guru Google tapi mendidik karakter tidak bisa digantikan. Manusia tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang lebih rendah apalagi ciptaan manusia.
”Elus-elus kepala siswa lalu gantungkan kepada Allah. Kalaupun nilainya jelek tapi kalau dididik dengan dimensi ilahiah maka bekal hidup sudah cukup,” tegas Pak Saad. (*)
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto