PWMU.CO – Dubes Hajriyanto: Indonesia Konsisten Dukung Palestina ditegaskan pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah dengan tema Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah, Jumat (21/5/21) malam.
Menurut Hajriyanto Yasin Thohari, dunia kini sudah jenuh, yang membela juga jenuh. Bahkan dicekoki dengan informasi macam-macam. “Kita netral saja itu urusan orang Arab dan Yahudi, jauh juga, kita masih banyak masalah,” ujarnya mencontohkan beberapa respon macam-macam itu.
Indonesia Konsisten Mendukung
“Republik Indonesia, alhamdulillah, saudara jangan sampai punya pandangan meremehkan negara kita,” imbau Hajri, sapaannya, pada pengajian virtual yang digelar Lazismu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu.
Sebab, dia mengungkapkan, Indonesia jauh lebih konsisten dari negara-negara Arab. Indonesia sampai sekarang tidak mau membuka hubungan diplomasi dengan Israel. “Walaupun yang membujuk banyak. Yang menekan juga ada, tapi bertahan!” ungkapnya.
Turki dan Iran pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tapi Indonesia tidak. “Dari sudut itu kita harus angkat topi dan mendukung,” ajaknya.
Supaya konsisten dan komitmen dengan itu, menteri luar negeri (menlu) Indonesia Retno Marsudi juga sangat aktif terbang di PBB. Pidatonya, menurut Hajri, sangat keras, konsisten.
Dia mengutip ucapan menlu, “Apa yang terjadi bukan konflik, tetapi perang! Tapi bukan perang konvensional, perang yang asimetris! Israel itu negara, Palestina dan Hamas itu bukan negara: ormas.”
Karena itu, dalam sidang Majelis Umum PBB 20 Mei 2021 menlu menegaskan kembali, penjajahan Israel terhadap Palestina harus segera diakhiri. Terminologi yang Retno Marsudi gunakan, menurut Hajri tergolong berani. Bukan ‘konflik’, tapi ‘penjajahan’.
“Penjajahan dalam konflik Israel-Palestina adalah isu utama,” ujarnya menekankan apa yang menlu sampaikan.
Hutang Masyarakat Internasional
Maka, lanjutnya mengutip pernyataan Retno, masyarakat internasional berhutang ke bangsa Palestina. Karena, masyarakat beradab—setelah Perang Dunia kedua—mau menciptakan tata dunia baru yang lebih adil, hak asasi manusia, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan lainnya.
“Indahnya bukan main, ini jadi utang,” tegas Hajri.
Menurutnya, penjajahan terhadap Palestina bukan hanya pantas dikecam, tapi juga menjadi pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Selain itu, Hajri mengungkap, menlu Retno menyampaikan, “Indonesia meminta Majelis Umum PBB mengambil langkah menghentikan kekerasan dan aksi militer Israel untuk mencegah semakin banyak korban jiwa.”
Sekarang, sudah lebih dari seratus nyawa menjadi korban jadi jiwa. Yang mengalami luka-luka sudah tidak terhitung. Kerusakan juga luar biasa. Segera harus dibuat gencatan senjata.
Berhenti, karena jumlahnya tidak seimbang. “Perang negara dengan ormas yang tidak punya senjata,” katanya.
Bahkan menurut Hajri, namanya bukan perang tapi genosida. Kalau dibiarkan, terjadi ethnic cleansing (pembersihan etnis).
Tiga Langkah Indonesia
Maka, langkah pertama, Indonesia juga mengusulkan penempatan pasukan perdamaian dan melindungi status Masjid al-Aqsa.
Langkah kedua, memastikan akses kemanusiaan dan perlindungan rakyat sipil. “Harus dibuka! Kalau Israel gak mau ditekan untuk membuka, maka tidak bisa mengirim bantuan,” tuturnya.
Dari hasil diskusinya dengan Edi Muktiono, Direktur Penghimpunan Lazismu, bagaimana mencari akses ke Gaza. “Kalau sulit nanti coba cari jalan dari sini, mungkin pakai jalan tikus, atau tikusnya yang berjalan,” ucapnya.
Ketiga, mendorong dimulainya perundingan multilateral yang kredibel. “Sekarang harus mulai menekan Amerika!” imbaunya.
“Jangan begitu dong, anda kan adidaya dunia, gak ada lawannya atau belum ada lawannya! Dulu lawannya Soviet, sudah rontok,” tuturnya.
Bantu Pascadarurat
Alhamdulillah, ujarnya, sekarang sudah gencatan senjata. Artinya, dipatuhi setidaknya korban jiwa itu berkurang. “Dibom-bom terus ya gimana? Gak bisa membalas!” terangnya.
Jangankan di Gaza, tambahnya, mengebom Suriah itu juga tidak bisa dibalas. Perdana Menteri Lebanon dalam pidatonya melaporkan perkembangan situasi, “Dalam waktu empat bulan terjadi 1.867 pelanggaran yang dilakukan Israel, ya gak bisa apa-apa.”
Hajri mengimbau untuk tidak membayangkan Palestina sebagai negara “kuat”. Sebab, diembargo, tidak bisa beli senjata, negaranya dikacaukan terus. Tidak punya uang sampai rakyatnya mengalami kesulitan.
Masa setelah gencatan senjata sekarang, menurutnya masa pascadarurat. Maka sekarang, saatnya rehabilitasi dan pemulihan. Melihat bangunan, sekolah, hunian, rumah sakit, jalan-jalan rusak; Hajri mengimbau untuk membantu sesuai kemampuan.
Seimbangkan Nasionalisme-Internasionalisme
Tanpa harus melupakan bantuan-bantuan untuk saudara-saudara sendiri di Tanah Air yang juga perlu bantuan. Walaupun, lanjutnya, betapa besar pintu Surga bagi kita karena peluang membantu banyak pihak.
Dia mengingatkan, orang tidak boleh mempertentangkan membantu yang di dalam atau di luar negeri. Kalau bisa membantu dua-duanya kan bagus. “Kenapa mesti memilih?” tanya dia.
Apalagi memilih yang dengan mengabaikan kemanusiaan. Dia mengingat bagaimana Bung Karna dulu berpidato saat kelahiran Pancasila, menyebut nasionalisme ketika mencanangkan persatuan Indonesia. Tapi Bung Karno khawatir, kalau terlalu menekankan pada nasionalisme, nanti mengabaikan persoalan kemanusiaan yang universal.
“Dari nasionalisme nanti jadi chauvinistik, yang mengabaikan bangsa lain,” jelasnya.
Maka, tambahnya, Bung Karno membuat keseimbangan nasionalisme dan internasionalisme. Atau, perikemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan nasional. Jangan sampai persatuan nasional itu mengabaikan kemanusiaan yang adil dan beradab. Begitu pula sebaliknya.
Pro Under Dog
Dia yakin, kita bisa melakukannya. Sebagai Muslim, harus adil. Tidak boleh justru berpihak pada yang kuat, yang melakukan penindasan dan penjajahan. Kaum intelektual, yang terpelajar, mestinya lebih pro kepada yang under dog.
Hajri memperjelas, kalau ada mobil tabrakan dengan pejalan kaki, polisi selalu membuat dalil mobil yang bersalah. Baru dilihat, karena yang besar itu berlaku dalil tidak cukup hati-hati, tapi juga harus memperhatikan ketidak hati-hatian orang lain.
Terkait peran Lazismu, Hajri menceritakan ketika dia menawarkan kepada Lazismu bangunan yang tidak besar, yang dijual orang di Beirut Lebanon. Kemudian, langsung dibeli Lazismu dan dibuat sekolah untuk pengungsi Palestina di Beirut. Namanya, Madrasah Lazismu Muhammadiyah. Dia juga menceritakan, kemarin, telah terselenggara hadapan al-Quran diikuti hampir seratus anak-anak pengungsi.
“Kira-kira peran Lazismu Muhammadiyah mengulang hal itu? Mari kita bantu sesuai kemampuan kita, Insyaallah Allah akan memberi kekuatan, bimbingan, dan petunjuk-Nya,” tuturnya.
Terakhir, Hajri berpesan agar terus memelihara semangat filantropisme—kedermawanan atas dasar cinta kepada sesama—Muhammadiyah yang luar biasa dan jiwa volunterisme (selalu rela memberikan bantuan). (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni