PWMU.CO – Tiga tantangan Muhammadiyah saat ini menurut Prof Dr Haedar Nashir pertama revolusi sains dan teknologi. Kedua multikulturalisme. Dan ketiga kebangkitan agama.
Hal itu Haedar Nashir utarakan pada acara Halalbihalal dan Silaturahmi Idul Fitri 1442 H Keluarga Besar Muhammadiyah, Ahad (23/05/2021).
Revolusi sains dan teknologi yang begitu luar biasa revolusioner, menurut Haedar Nashir, menuntut Muhammadiyah bisa mengatasinya secara konstruktif, proaktif dan solutif.
Revolusi Saintis Abad 21
Terkait revolusi sains dan teknologi, Haedar mengatakan, Google Ventures telah menginvestasikan 34 persen portofolionya yang bernilai sekitar dua miliar, pada sejumlah start up yang menekuni sains kehidupan, termasuk proyek ambisius untuk pemanjangan usia.
“Sampai seorang sejarawan Noah Harari mengatakan, akan terjadi revolusi saintis abad 21 yang spektakuler. Ia mengatakan, masalah fundamental umat manusia saat ini bisa direkonstruksi, termasuk tentang kebahagiaan,” ujar Haedar.
Dengan revolusi saintis abad 21 itu, lanjut Haedar, Noah Harari mengatakan, manusia ke depan adalah manusia yang bisa memiliki kemampuan untuk hidup, bahkan bisa melawan kematian melalui proyek sains abadi.
“Yang dengan proyek itu, manusia dapat menciptakan kehidupan yang lebih sehat, lebih baik, lebih maju, bahkan dengan artificial intelligence (AI) mampu merekayasa agar manusia hidup berusia di atas 150 tahun sampai 500 tahun,” terang Haedar.
Bahkan, Noah menantang dan menanyakan konsep kematian yang dalam agama-agama itu bersifat metafisik, menurutnya dengan sains dan teknologi kematian itu akan bersifat teknis.
“Inilah yang dia (Noah Harari) sebut sains melawan kematian. Dengan premis: kematian adalah masalah teknis dan solusinya pun bisa bersifat teknis yakni dengan pemanjangan usia,” papar Haedar.
Hal ini, menurut Haedar tentu saja menjadi agenda Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan dakwah, bagaimana menghadapi perkembangan pemikiran sains dan teknologi yang seperti itu.
“Di sinilah pentingnya kita terus mengkaji pemikiran-pemikiran keislaman kita secara bayani, burhani, irfani. Sebagai bagian dari realitas yang bersifat revolusi sains dan teknologi itu, kita juga berhadapan secara praksis dengan apa yang sering saya sebut simulakra media sosial saat ini,” terangnya.
Medos Ibarat Pisau Bermata Dua
Menurut Haedar, media sosial (medsos) menjadi bagian dari Revolusi Industri 4.0 itu seperti pisau bermata dua.
“Satu bisa kita manfaatkan untuk kebaikan-kebaikan hidup, termasuk untuk kepentingan dakwah, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya termasuk juga untuk interaksi sosial yang lebih canggih, tetapi juga medsos dapat mereduksi akal budi dan keadaban,” tandasnya.
Dia memaparkan, temuan dari Microsoft bahwa orang Indonesia tahun ini tingkat kesopanannya terendah di asia tenggara dalam bermedia sosial.
Disebutkan, bahwa 68 persen dari yang tidak sopan itu justru dilakukan oleh mereka yang sudah berusia dewasa, yang menjadi tolak ukur adalah segala macam hoaks, kebencian dan diskriminasi.
“Poin ini tentu menjadi penting bagi kita sebagai organisasi dakwah. Bagaimana menghadirkan dakwah yang membawa dan membangun keadaban publik, karena islam itu menegakkan akhlaq karimah,” kata Haedar.
Tantangan Kedua
Tantangan kedua adalah multikulturalisme. Demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, toleransi dan kebebasan, termasuk kebebasan berfikir, menurut Haedar sudah melekat menjadi denyut nadi kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Yang terkoneksi dengan alam pikiran universal mengenai multikulturalisme, lebih-lebih setelah reformasi 1998, Indonesia menjadi negara yang liberal dalam ekonomi, politik, budaya dan pandangan keagamaan,” papar Haedar.
Menurutnya, di awal-awal reformasi ada kelompok yang mengaku antiagama dan menuntut untuk memperoleh ruang publik, kemudian belakangan juga agama setempat bermuculan, termasuk mendapat pengakuan dari Mahkamah Konstitusi (MK) dan itu tidak bisa dicegah.
Mengutip pernyataan Dubes Turki, Lalu Muhammad Iqbal, Haedar menambahkan, sekarang ini ada 60 sampai 70 persen media Indonesia itu merilis, memberitakan juga mengangkat di medsos orang Indonesia yang pro-Israel. Bahkan yang pro-Israel itu dari aktivis-aktivis ormas Islam.
“Ketika saat ini arus besar kita sedang pro-Palestina, namun ada elite yang memandang bahwa Palestina itu bukan urusan kita. Ini merupakan reaksi dari makin menyebarnya alam pikiran multikulturalisme di Indonesia,” kata Haedar.
Tantangan Ketiga
Tantangan ketiga adalah kebangkitan agama yang dalam istilah sosiologi disebut religious revitalitation.
Revitalisasi agama, menurut Haedar, sejatinya juga membawa pada proses bangkitnya berbagai agama, paham agama dan praktik agama yang hadir sebagai respon atas realitas kehidupan yang dianggap chaos dan dianggap banyak hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini.
“Tetapi arus dari revitalisasi agama itu kecenderungannya bertransformasi pada berbagai macam arus. Ada arus yang sangat ke kanan, ada yang sangat ke kiri, dan berbagai arus dari yang besar sampai yang kecil,” katanya.
Maka, menurutnya, tidak heran kalau setelah reformasi, berbagai macam pandang keagamaan di Indonesia begitu rupa dan ini fenomena dari revitalisasi agama.
“Semua itu tentu menjadi tantangan kita untuk bagaimana memproyeksi fungsi, visi, misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah dalam konteks kehidupan yang dinamis, bahkan pada batas tertentu menghadirkan realitas baru,” terangnya.
Dan menghadapi persoalan-persoalan ini, menurut Haedar, kita tidak cukup memadai dengan sikap muaradhah atau hanya bereaksi dengan sikap-sikap yang konfrontasi.
“Tetapi kita harus menghadapi dengan pendekatan lil muwajahah, dengan pendekatan yang bersifat konstruktif dan alternatif bahkan memberi solusi,” katanya.
“Inilah tantangan kita dalam kehidupan berorganisasi, berdakwah dan pergerakan. Perlu ada transformasi dakwah dengan mengacu pada tiga aspek yakni pembebasan, pemberdayaan dan pemajuan,” tandasnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni