PWMU.CO – Membandingkan Palestina dengan Papua Itu Tidak Seimbang. Di Papua tidak ada pelanggaran HAM, sehingga membandingkan persoalan Palestina dengan Papua itu tidak seimbang.
Demikian Hajriyanto Yasin Thohari membahasnya pada Pengajian dan Syawalan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Muhammadiyah/Aisyiyah se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (27/5/21) malam.
Dia membahas itu saat menjawab pertanyaan salah satu peserta, Ashad Kusuma Jaya, yang mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang dia baca di media sosial.
Pertanyaannya, “Kalau Muhammadiyah peduli pada penderitaan rakyat Palestina menghadapi tentara Israel, bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap rakyat Papua menghadapi serangan TNI?”
Muhammadiyah Sikapi Papua Vs Palestina
Hajri berpendapat, Muhammadiyah, bisa menunjukkan kepedulian pada rakyat sendiri juga. Tapi membandingkan fenomena yang Palestina hadapi dengan yang Papua hadapi itu baginya, tidak tepat.
“Tentu analogi yang tidak seimbang, mereka menyamakan persoalan Palestina yang tanahnya dikuasai, rumah-rumah mereka diambil, hak-hak mereka ditindas; dibandingkan dengan negara Indonesia dalam hal ini hubungannya dengan Papua,” terang Duta Besar RI untuk Lebanon itu.
Di sana (di Papua), lanjutnya, tidak ada pelanggaran HAM. “Kalau toh ada pelanggaran HAM, itu seperti halnya yang ditunjukkan di bagian negara yang lain; di bagian Indonesia yang lain kita juga ada keluhan-keluhan tentang HAM yang ingin mendirikan Komnas HAM,” jelas Hajri.
Hajriyanto Y Thohari menambahkan, dalam kasus Papua memang isu HAM sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Dan itu sangat superfisial atau artifisial. Isu HAM di Papua cenderung diwarnai dan dipicu oleh ide dan janji yang keliru soal merdeka atau hak selfdetermination.
Sekalipun hukum internasional tentang self-determination mengalami evolusi, antara lain dengan mencoba memperluas kriteria—misalnya dengan memasukkan pelanggaran HAM sebagai alasan penggunaan hak selfdetermination—perkembangan ini tetap tidak membuka celah hukum bagi upaya penyamaan Palestina dan Papua.
“Apalagi dasar hukum internasional bahwa Papua adalah bagian NKRI adalah Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Dan itu diakui internasional,” terangnya.
Politik Internasional Tidak Lurus seperti Muhammadiyah
Hajri mengungkap, memang power (kekuasaan) itu selalu memproduk pengetahuan. Israel ini kekuatan yang powerful, di belakangnya Amerika.
Karena itu, mereka (Israel) juga tidak diam di pojokan. Karena tidak mau dipojokkan, maka mereka memproduk informasi-informasi pengetahuan. Begitulah Hajri menerangkan cara-cara disinformasi, yang dalam politik menurutnya adalah hal wajar.
“Jangan dikira dalam politik, termasuk politik internasional, dilakukan dengan lempeng-lempeng saja. Kita orang Muhammadiyah, Islam, dan bangsa Indonesia kan cenderung lurus-lurus saja, lempeng-lempeng saja. Orang politik ini nggak lempeng!” terangnya.
Israel, lanjutnya, juga memproduk pengetahuan. “Orang Yahudi itu pintar-pintar, ditambah memiliki kekuasaan politik,” ungkapnya.
Deklarasi Balfour itu, tambahnya, karena ada nama Lord Roth Child, orang kaya ternama di Eropa yang menciptakan opini. “Orang-orang Yahudi yang disia-siakan Eropa itu punya tanah yang juga disebut sebagai ‘tanah yang dijanjikan’, dan itu ada di Palestina,” ujarnya mengemukakan opini itu.
Menurut Hajri, opini tersebut dibangun dengan konstruksi ilmu. Maka dari itu, dia berpendapat ketika di Indonesia sekarang mulai menguat dukungan kepada Israel (pro Israel)—membenarkan Israel—menurutnya tidak terlepas dari hubungan kekuasaan dan pengetahuan.
Hajri menyatakan, itu seperti pemeo ‘pemenang menulis sejarah’. Sekarang, sejarah dunia ditulis pemenang.
Israel Tak Setuju Indonesia Panglima Pasukan Penjaga Perdamaian
Hajri lantas mengungkap pertanyaan mengemuka di sana yang pernah ia dengar, “Kenapa Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel?”
“Kalau memang Indonesia mau bermanfaat besar, bekerja sama mendamaikan karena cinta damai, baiknya membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga berada di tengah-tengah kemudian mendamaikan,” jelas Hajri menerangkan opini yang menyertai pertanyaan itu.
Hajri menerangkan, orang harus tahu, negara-negara Arab yang sudah memulai hubungan diplomatik dengan Israel itu mencari alternatif dan metode baru, tapi hasilnya sampai hari ini tidak ada. Malah, banyak isu yang menyelimuti pilihan tersebut.
Jika membuka hubungan diplomatik, memungkinkan Indonesia mendapat bantuan. Tapi di balik bantuan itu ada harga yang harus Indonesia bayar nantinya.
“Yang mendapatkan bantuan perekonomian, milite, itu memang betul mendapatkan bantuan. Berapa nanti harga yang harus dibayar oleh Indonesia kalau nantinya membuka hubungan diplomatik? Itu lebih mahal lagi,” tuturnya.
Hajri berpendapat, ini tidak gampang. Pertanyaan lain ikut menyertai. “Memang di sini, beberapa pihak juga menyampaikan demikian, kenapa Indonesia tidak bisa menjadi panglima pasukan penjaga pemelihara perdamaian?”
Panglimanya malah dari Italia, tambahnya. Padahal Indonesia kontingen pemeliharaan perdamaian terbesar.
Hajri pun menjelaskan penyebabnya. Untuk menjadi panglima, perlu disetujui tiga pihak: PBB, Lebanon, dan Israel. Sedangkan Indonesia tidak pernah disetujui Israel karena tidak pernah membangun hubungan diplomatik dengan Israel.
Bantuan Muhammadiyah Lestarikan Tradisi
Pada kesempatan itu, Ashad juga menyatakan, bantuan Muhammadiyah terhadap Palestina dan bantuan kemanusiaan lain sangat besar jumlahnya. Tapi, dia khawatir share (mengumumkan) besarnya bantuan-bantuan itu membuat iri kalau ada orang-orang yang berniat jahat untuk mengambil sesuatu.
“Yang sesungguhnya kekuatan Muhammadiyah, yang berakibat buruk bagi Muhammadiyah. Ini hanya kekhawatiran,” ujarnya.
Hajri menjawab, “Menyikapi orang yang iri, selama kita berniat baik, tidak perlu khawatir!”
Apalagi, kalau menurutnya sedang berbuat baik penuh keikhlasan untuk persaudaraan, keimanan, Keislaman, kemanusiaan, dan kekonstitusionalan.
Bahkan, menurutnya, kita juga ikut melestarikan tradisi kepemimpinan Indonesia sejak zaman Bung Karno. Dia menerangkan, melalui Konferensi Asia-Afrika, jelas sekali memerdekakan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
“Yang belum merdeka itu bangsa Palestina,” ucapnya. Bung Karno kokoh ikut memperjuangkannya, karena dia ikut menyelenggarakan KAA di Bandung dengan Dasasilanya.
Hajri menegaskan bantuan Indonesia, sekarang, tetap berjalan. “Bantuan militer tidak mungkin, maka bantuannya sekarang sebatas bantuan kemanusiaan, sehingga kita tidak perlu terlalu peduli kepada orang yang iri,” tuturnya.
Yang penting menurutnya adalah ikhlas. Dia lantas mengutip potongan al-Maidah ayat 54:
وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ
Artinya, jangan takut pada celaan orang-orang yang suka mencela. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni