PWMU.CO – Prof Achmad Jainuri: Agama Sumber Utama Pendidikan Karakter. hal itu dia sampakan dalam Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2021 dengan tema “Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Muhammadiyah”.
Acara diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dan Forum Silaturrahmi Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) Jawa Timur, Tim Pokja Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Efektif Muhammadiyah digelar secara online Zoom Cloud Meetings dan live YouTube, pada Kamis (27/5/21).
Wakil Ketua PWM Jawa Timur Prof Achmad Jainuri MA PhD berkesempatan mengisi acara di sesi kedua, dengan tema “Esensi Pendidikan Muhammadiyah dalam Konteks Merdeka Belajar”.
Jainuri menjelaskan, munculnya kebijakan baru dari pemerintah tentang pendidikan itu tidak hanya berpengaruh pada sekolah Muhammadiyah, tetapi juga pada sekolah pada umumnya, baik negeri maupun swasta.
“Terkait dengan kebijakan merdeka belajar, tadi Pak Hidayatulloh (Rektor Umsida) sudah menyinggung beberapa aspek, demikian juga Bu Arbaiyah (Ketua Majelis Dikdsmen PWM Jatim) , yaitu terkait dengan kebijakan merdeka belajar sebetulnya ada beberapa hal, bahkan banyak hal kalau kita amati,” jelasnya.
Muatan Karakter dalam Merdeka Belajar
Jainuri mengatakan, dari rangkaian pidato yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim soal merdeka belajar, setidaknya ditemukan ada delapan hal yang menarik.
“Tapi di sini tidak akan dibicarakan semua itu. Saya garisbawahi bahwa aspek penting di dalam pendidikan merdeka belajar, saya menemukan juga apa yang disebut dengan muatan karakter,” jelasnya.
Di sini, sambungnya, relevansinya kalau bicara tentang pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah yaitu pendidikan karakter.
“Penguatan karakter dalam pendidikan Muhammadiyah sudah dirintis oleh KH Ahmad Dahlan. Sebelum Ahmad Dahlan sendiri mendirikan organisasi Muhammadiyah, beliau bolak balik yogja-Magelang. Di Yogja dan Magelang dia mengajar di sekolah pamong praja,” jelasnya.
Apa yang diajarkan? Menurut Guu Besar UINSA Surabaya itu, pengajarannya lebih menitikberatkan pada pendidikan agama. Jadi kalau karakter yang dimaksud dalam pendidikan Muhammadiyah itu bersumber pada nilai-nilai agama, nilai etika, nilai moral agama yang harus ditanamkan pada peserta didik.
“Itu yang sangat penting, kenapa Ahmad Dahlan mau mengajar di sekolah pamong praja itu? Karena mereka itu calon penentu kebijakan di daerah masing-masing. Kalau keputusan atau ketentuan itu berdampak bagi kehidupan masyarakat luas itu tidak dilandasi oleh sebuah proses, tidak dolandasu oleh sebuah nilai, apa jadinya?” katanya.
Jadi karena itu, KH Ahmad Dahlan menganggap penting itu mengajar agama di sekolah itu. Jadi dalam konteks ini KH Ahmad Dahlan lebih menitikberatkan pada pendidikan agama dalam konteks ini sebagai penguatan karakter, atau penguatan pendidikan karakter.
Oleh karena itulah, dirumuskan syarat formal di dalam sistem pendidikan Muhammadiyah yang itu muncul dalam kurikulum yang disampaikan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pendidikan Agama Sumber Utama Penguatan karakter
Keseimbangan ilmu agama dan ilmu umum ini dilandasi pada nilai ajaran Islam yang diklaim sebagai universal itu. “Cuma persoalannya, kurikulum model seperti ini sampai sekarang sudah terus dilakukan, tetapi saya tidak yakin apakah memang ada squad evaluasi yang intens terkait dengan pelaksanaan kurikulum ini,” jelasnya.
Dia lalu mengunkapkan soal pilot project SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo tentang pendidikan Ismuba (al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan bahasa Arab).
Implikasinya siswa masuk jam enam pagi pulangnya jam dua siang. Hal itu kemudian mendapat kritik dari aktivis pendidikan humanis karena diangga terlalu overload apa yang diberikan oleh sekolah Muhammadiyah itu.
“Dan mungkin iya, karena siswa dijejali banyak ilmu yang harus ditangkap dalam waktu bersamaan. Apa betul dengan adanya banyak mata pelajaran yang diberikan ke siswa itu apa betul betul akan bisa membentuk ulama yang intelek? Ini yang penting,” tanyanya.
Jadi, sekali lagi dalam konteks ini termasuk Muhammadiyah, kemarin juga sangat kritis soal penguatan pendidikan karakter ini. Pendidikan agama tetap menjadi sumber utama dari penguatan karakter ini. Cuma problemnya adalah bagaimana penanaman nilai etika agama itu.
“Sesuai dengan nilai agama yang diberikan, pertama saya melihat ada korelasi dengan pendidikan Muhammadiyah yaitu penguatan karakter,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, terkait juga dengan pengembangan kurikulum dan ini sebenarnya di dunia pendidikan yang namanya pengembangan atau penyempurnaan kurikulum itu selalu menjadi perhatian. Karena itu harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
“Apakah empat atau lima tahun atau berapakah itu. Pengembangan aau peninjauan kurikulum ini dilakukan karena adanya tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Dan tuntutan metodologi. Jadi itu alasan kita benahi,” jelasnya.
Sekarang apa yang harus dibenahi dalam konteks pembenahan kurikulum ini? “Menteri kan ingin bahwa apa indikator yang harus nampak pada lulusan sekolah, dan terutama ini Muhammadiyah. Tidak hanya output, jadi tidak sekadar mereka sudah selesai dan lulus dapat ijazah,” jelasnya.
Ketiga, ini menjadi revitalisasi terutama orientasi pendidikan ini harus dilakukan pada sekolah-sekolah. Perlu merujuk pada orientasi pendidikan yang dirasa SMK Muhammadiyah sudah cukup responsif.
“Karena itu sebelum mereka lulus, banyak yang sudah memesan tenaga itu. Dan itu mungkin yang diminta oleh menteri. Agar itu tidak sekedar alat produksi maka nilai nilai yang terkait dengab karakter itu tadi harus juga ditanamkan,” terangnya.
Merdeka Belajar dengan Aktualisasi Diri
Keempat, merdeka belajar. Menurut Prof Jainuri merdeka belajar itu lebih pada prosesnya, bahkan dalam pengajaran ini, orang diberikan kebebasan untuk sekolah, guru, dan murid.
“Kebebasan itu apa? Ya kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar mandiri, kreatif. Jadi peserta didik ini sebenarnya yang diminta Bu Arbaiyah itu untuk bisa self actualization atau aktualisasi diri. Ini yang dimaksud bebas,, jelasnya.
Dan itu sebetulnya Islam kan disitu, jadi memberikan kebebasan pada peserta didik untuk memilih ilmu apa saja yang sesuai kebutuhan. Bagaimana kemudian sistem kurikulum menjamin peserta didik untuk bisa seperti itu.
“Di perguruan tinggi itu kan sudah dikemas dalam bentuk SKS, tapi SKS yang kita jalankan sebenarnya terkait dengan angka kredit dalam proses pembelajarab yang masih paket ini kemudian yang gak match,” jelasnya.
Karena itu tadi juga dikatakan bahwa bagaimana siswa secara bebas bisa beraktualisasi diri ini, fasilitas sarana juga harus tersedia untuk itu.
“Saya melihat beberapa proses yang diberikan pada siswa terutama pada bulan Ramadhan. Anak anak diminta untuk mencatat kultum atau ceramah agama setelah tarawih. Itu kemudian dikumpulkan begitu saja. Coba kalau anak-anak dikasih kesempatan untuk mengekspresikan apa yang dia tulis, apa yang dialami di depan kelas. Itu penting,” usulnya.
Dalam rangka bagaimana siswa itu bisa ngomong di hadapan teman-teman mereka. Ini akan menjadi sebuah kebiasaan bagus. Mereka akan mampu ngomong di publik, di depan umum.
“Kan sayang kalau tugas hanya dikumpulkan dan dinilai saja. Coba anak anak disuruh maju untuk menyampaikan apa yang mereka tulis. Itu saya rasa lebih bernilai dari pada hanya nilai 10 atau 100 tanpa kemudian kerjaan itu disuruh mengekspresikan atau mengaktualisasikan di depan kelas seperti itu,” ungkapnya.
Komponen Guru Penggerak
Kelima, komponen guru penggerak ini yang penting. Jadi apa sebetulnya guru penggerak itu? “Guru penggerak adalah guru yang mengutamakan murid dari masalah apapun dalam proses pembelajaran,” terangnya.
Guru penggerak menurut Jainuri adalah guru yang tidak terikat oleh perintah, tidak sekadar memenuhi perintah, tetapi kreativitas diri di dalam langkah untuk melaksanakan proses belajar mengajar itu dia lakukan.
“Jadi yang terpenting penguatan karakter dan juga self actualization atau aktualisasi diri bagi peserta didik itu yang sangat penting. Bagaimana mewujudkannya di tingkat sekolah ini hendaknya menjadi pikiran dari para penentu kebijakan dan para pengelola kebijakan sekolah Muhammadiyah Jawa Timur,” tandasnya. (*)
Prof Achmad Jainuri: Agama Sumber Utama Pendidikan Karakter: Penulis Ria Rizaniyah Editor Mohammad Nurfatoni