PWMU.CO – Tiga Penyebab Dunia Islam Sulit Bersatu Bebaskan Palestina disampakan Dubes RI unuk Lebanon Hajriyano Y Thohari pada Pengajian dan Syawalan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Muhammadiyah/Aisyiyah se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (27/5/21) malam.
Berawal dari Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY sekaligus moderator, H Untung Cahyono MHum, membacakan pertanyaan salah satu peserta, Sumedi.
“Mengapa umat Islam begitu sulit bersatu, termasuk dalam konteks membela Palestina?” ujarnya membacakan di kolom komentar Zoom Clouds Meeting.
Pertama, menurut Hajri, umat Islam berada di negara yang berbeda-beda. Arab saja terdiri dari 22 negara. Kedua puluh dua negara itu memiliki national interest (kepentingan nasional) masing-masing. Dia menekankan, politik luar negeri selalu merupakan kelanjutan dari politik dalam negeri.
Ancaman Nasional Berbeda
Kedua, dia menerangkan, ancaman nasional negara-negara itu juga berbeda. Dulu bangsa Arab mendefinisikan ancaman keamanannya adalah Israel. “Ancaman secara militer, sebab Israel punya senjata-senjata termasuk pesawat tempur terbaru,” ungkapnya.
Kalau dilihat di media, ancaman Arab kini bisa berubah menjadi Iran. “Tapi alhamdulillah bulan lalu sudah terjadi perundingan Iran-Arab Saudi. Irak menjadi juru penemu, menyediakan tempat keduanya berunding,” ujarnya. Sayangnya, Hajri belum mengetahui bagaimana hasil dari perundingan itu.
Terlepas dari itu, Hajri menceritakan, di negara Israel juga ada masjid. Di luar wilayah Israel, ada wilayah yang diatur otoritas Palestina, di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas, yang ditembok mengelilinginya.
Orang Palestina, meskipun bukan Muslim—beragama Kristen yang mau merayakan Natal atau Paskah ke Bethlehem, Nazaret, atau gereja-gereja di sana—juga sulit melewati perbatasan Israel itu. Maka, yang melawan Israel juga bukan hanya Arab Muslim, tapi juga Arab Kristen.
Bersatu di Isu Besar, Lebih Luas
Ketiga, Hajri mengatakan, masalah di masing-masing negara juga berbeda. “Walhasil, kalau saudara mendefinisikan persatuan umat Islam itu secara ketat, ya (persatuannya kini masih) jauh dari itu. Misal, kalau bergerak ngetan (timur), ngetan semua. Ngulon (bara), ngulon semua,” jelasnya.
Dia lalu menegaskan, kalau bersatu dalam pengertian politik belum bisa. Jangankan antarumat Islam, di antara negara-negara Arab saja juga tidak bisa bersatu secara keseluruhan karena bersaing menjadi pemimpin.
“Jangan jauh-jauh, di Indonesia juga pemimpin-pemimpin Islam berebut menjadi pemimpin,” komentarnya.
Tapi, kalau bersatu dalam definisi yang lebih longgar, menurut Hajri bisa dilakukan. Misal, bersatu dalam melaksanakan Idul Fitri atau menginisiasi dana. Sebab, bersatu dalam beberapa isu besar menjadi sangat penting.
Peta Pendidikan di Israel
Pada pertemuan itu, Untung Cahyono juga bertanya terkait peta pendidikan pada penduduk di Israel yang mana sebagian penduduknya merupakan Arab Muslim.
Hajri menerangkan, jumlah penduduk Israel sekitar delapan juta. Di mana 80 persen keturunan Yahudi, yang pulang dari diaspora di berbagai negara, sedangkan 20 persennya orang Arab.
Agamanya orang Arab yang menjadi penduduk Israel itu juga bermacam-macam. Hajri menguraikan, ada yang Muslim, Kristen, Yahudi, dan juga ada yang tidak beragama. “Bahkan ada yang menjadi pengikut partai Komunis, tapi berbicara dalam bahasa Arab,” ujarnya.
Sekitar 20 persen dari penduduknya, belum resmi sebagai warga negara Israel. Tapi ada juga yang sudah menjadi pegawai negeri, wiraswasta, tentara, dosen, mahasiswa; mereka sekolahnya mengikuti sistem pendidikan di Israel. Mereka yang pintar, dikirim ke berbagai luar negeri untuk menempuh pendidikan.
Banyak juga, tambahnya, profesor keturunan Arab yang menempuh pendidikan di universitas di Israel. Menariknya, rating (peringkat) universitas-universitas Israel dan Palestina di peringkat dunia tergolong tinggi.
Selain itu, jurnal-jurnalnya juga Hajri analogikan bak samudra, lautan, karena jumlahnya yang sangat banyak. Misal, jurnal studi Palestina. “Peta pendidikan ini sangat baik untuk dipahami,” tuturnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni