Pengalaman Jadi Tim Medis di Gaza: Kaget Bertemu Relawan Yahudi, oleh Jamaluddin seorang dokter dan tinggal di Kamal, Bangkalan, Madura.
PWMU.CO – Alhamdulillah, saya berkesempatan sampai ke Gaza, Palestina pada 2010. Kala itu saya bersama tim Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Kami ke Gaza untuk misi kemanusiaan.
Setelah melalui bermacam hambatan, kami bisa melewati Pintu Rafah. Letaknya, di perbatasan Mesir-Palestina. Perbatasan ini adalah satu-satunya yang membuka Jalur Gaza akses ke dunia luar. Perlu kesabaran untuk melewati Pintu Rafah.
Kami misalnya, setelah menunggu dua hari di Kota Al-Aris, Provinsi Mesir Utara, akhirnya sampai juga di Kota Gaza. Sementara, ada yang sampai satu pekan bernegosiasi dengan pihak imigrasi perbatasan Rafah, baru bisa masuk. Bahkan, ada yang tidak berhasil masuk.
Saran Unik
Kami ditempatkan di semacam asrama khusus untuk tamu di lantai dua Rumah Sakit Asy-Syifa Gaza. Di sana kami berinteraksi dengan sesama relawan dari berbagai penjuru dunia.
Pada malam harinya, kami saling mengenalkan diri. Menyebutkan identitas masing-masing dan dari berasal dari negara mana. Alhamdulillah, lewat acara itu kami menjadi banyak mengenal saudara Muslim dari berbagai belahan bumi.
Setelah beberapa hari, kami menyengaja bertemu dengan salah seorang relawan yang berasal dari Yerusalem. Dia seorang Yahudi. Di tempat makan, kami berbincang hangat.
Beliau (maaf, nama dia saya lupa) adalah seorang dokter ahli bedah tulang. Beliau, antara lain, menyarankan kami untuk berhati-hati ketika melihat-lihat bekas senjata atau peluru yang dipamerkan di tempat strategis seperti di Universitas Gaza.
Penasaran Minuman
Selanjutnya, untuk kali pertama secara resmi kami diterima oleh koordinator relawan. Kami diberi sertifikat dengan prosesi layaknya wisuda sarjana. Lalu, kami diberi kesempatan keliling kampus Universitas Gaza.
Saat berkeliling, kami juga melintas tempat pameran bekas roket, bekas granat, dan selongsong peluru yang dikumpulkan di suatu tempat khusus tapi terbuka. Sempat ada yang pegang-pegang barang-barang itu karena penasaran.
Selanjutnya, kami dijamu makan siang layaknya tamu. Ada hal yang mengundang rasa penasaran. Untuk makan siang itu, tersaji menu khas makanan setempat. Tapi, jenis minumannya membuat kami tak habis pikir. Ada Coca-Cola, Sprite, dan yang serupa itu. Masalahnya, kami masih menjaga komitmen untuk tidak mengkonsumsi produk-produk yang disebut terakhir itu. Hal ini, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian keuntungan dari produk-produk itu dipakai oleh si produsen untuk membantu Zionis Israel.
Ujung dari pemanfaatan bantuan ke Zionis Israel itu adalah usaha-usaha mereka dalam memelihara penjajahannya atas Palestina. Intinya, oleh Zionis Israel bantuan itu dipakai untuk memusuhi Islam.
Sekali lagi, kami penasaran dengan jenis minuman yang tersaji. Lantas ada dari kami yang menanyakan hal itu, setengah bernada protes.
“Kami kok disuguhi minuman jenis ini? Bukankah itu bisa menguntungkan Zionis Israel,” tanya salah seorang dari kami.
“Maaf, adanya cuma itu. Itupun diperoleh dari jalur perdagangan ilegal. Penyelundupan via terowongan-terorowongan. Ya, apa boleh buat,” demikian alasan salah seorang tuan rumah.
Kami yang masih memegang idealisme, lebih memilih minum air putih saja. Sementara, sebagian yang lain ada juga yang “terpaksa” minum jenis minuman pro-Zionis Israel itu. Di saat melihat hal itu, kami yang idealis terus berfikir: “Halal sih halal, hanya saja akan selalu terbayang di pelupuk mata bahwa dengan meminumnya kita bisa menguntungkan musuh Islam.”
Kisah Yahudi Baik Hati
Kembali ke relawan Yahudi asal Yerusalem itu. Beliau ikut prihatin dengan perkembangan terakhir di Palestina.
Beliau mewanti-wanti, meminta kita agar jangan sampai memegang bekas selongsong peluru karena itu senjata Zionis Israel yang mengandung radioaktif.
Ada pula bekas sejenis bom yang disebut dengan “DIME bomb”. Bom jenis ini kalau sampai meledak di depan kita, akan berputar-putar setinggi sekitar satu meter seperti akan mengiris atau menggergaji apa saja yang ada di sekitarnya. Adapun DIME singkatan dari Dense Inert Metal Explosive.
“Lho, kok Anda tahu,” tanya kami.
“Oh ya, saya tahu karena saya warga Israel,” kata dia sambil mengaku terus terang kalau dia adalah seorang Yahudi.
“Meski demikian, saya memilih bergabung dengan relawan,” lanjut dia menjelaskan posisinya.
Atas fakta itu, kami sempat kaget. Bahwa, ada juga Yahudi yang baik hati.
“Kenapa Anda bergabung sebagai relawan, sementara Anda seorang Yahudi,” tanya kami lebih lanjut untuk meyakinkan.
“Ya, karena saya tidak suka dengan kebijakan negara saya yang menyerang Palestina khususnya Gaza dengan membabi-buta. Maka ketidaksukaan itu saya tunjukkan dengan menjadi relawan kemanusiaan, membantu menolong korban di pihak Palestina,” jelas beliau.
Dia, rupanya, seorang Yahudi tulen tetapi punya rasa simpati kepada Palestina. Dia bergabung dengan relawan medis untuk kemanusiaan di Gaza.
“Kok bisa,” kami terus bertanya kepada dia.
“Ya, karena kami tidak suka dengan kebijakan negara kami yang menyerang Palestina dengan membabi-buta, melanggar kemanusiaan. Kami bersimpati dengan rakyat Palestina. Tidak semua orang Yahudi sama. Memang, banyak oknum-oknum Yahudi garis keras yang suka menyerang Palestina. Tapi sebagian dari kami tetap bersimpati dengan Negara Palestina. Apalagi sebagai orang medis, saya tetap peduli pada masalah-masalah kemanusiaan tanpa batas”.
Ya, benar, Zionis Israel memang membabi-buta. Mereka juga menyerang wanita dan anak-anak. Ini, melanggar kemanusiaan.
Bahkan, mereka gunakan bom phospor. Tentang akibat bom ini, belakangan kami baru tahu setelah sampai di Rumah Sakit. Kami saksikan, betapa dahsyatnya luka-luka yang diderita oleh pasien. Mereka terbaring di ruangan khusus.
Sekilas Yerusalem
Bagaimana keadaan Yerusalem, pada 2010? Di sana, baik-baik saja. Sebenarnya penduduk di sana dapat hidup berdampingan antara Yahudi dan bangsa Palestina. Kala itu penduduk Palestina yang muslim di sana berjumlah kurang-lebih 200.000 orang, di sekitar Masjid al-Aqsha. Ada juga yang Kristen.
Memang sesekali ada penyerangan dari tentara Israel yang biadab. Kadang, mereka berdalih untuk menegakkan aturan bahwa yang boleh ke Masjid Al-Aqsha hanya yang tua-tua. Misal, diatur bahwa hanya yang berusia 55 tahun ke atas yang boleh. Juga, ada aturan-aturan lain yang mengekang warga Palestina, yang muslim khususnya.
Sejatinya sesama penduduk, baik-baik saja. Biasa kalau ada gesekan-gesekan antar-penduduk. Itu, tidak seberapa. Keadaan memang lalu mengkhawatirkan ketika tentara Israel terlibat. Mereka tak segan-segan menyerang secara brutal.
Begitulah keadaan Kota Yerusalem. Di kota itu, di dalamnya ada Masjidil Aqsha serta dua tempat ibadah lain, masing milik Yahudi dan Nasrani. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni