Menghitung Dana Haji oleh Tony Rosyid, pengamat politik dan pemerhati bangsa.
PWMU.CO– Haji batal lagi! Begitu gerutu banyak pihak. Tahun ini, calon jamaah haji dari Indonesia telah diputuskan tidak berangkat lagi. Dua tahun berturut-turut.
Apakah keputusan ini masih bisa berubah? Bisa! Yang gak boleh diubah itu al-Quran, kata Pak Kiai.
Sabar! Begitu nasihat pemerintah. Tentu, soal sabar, rakyat Indonesia paling jago. Dana rakyat dikorupsi puluhan tahun aja sabar. Apalagi cuma gak jadi berangkat haji. Soal ini, jangan diragukan lagi. Tapi, memang mesti ada penjelasan rasionalnya. Rasional buat pemerintah, rasional juga di otak rakyat. Kalau ini ketemu, clear!
Sebelum lebih jauh, kita perlu tahu dulu soal pengelolaan haji, dan lembaga apa saja yang terlibat. Ini penting, supaya tidak tumpang tindih dan salah objek.
Ada dua lembaga yang terlibat dalam urusan haji. Pertama pemerintah, dalam hal ini kementerian agama. Menag melalui Dirjen Haji bertanggung jawab terhadap kebijakan dan pengelolaan haji. Jadi, urusan batal atau tidak, itu otoritas Kemenag. Tentu, setelah konsultasi ke presiden. Karena keputusan ini punya dampak sosial dan politik. Presiden harus terlibat.
Kedua, BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Ketuanya Anggito Abimanyu. Ada tujuh orang masuk Dewan Pengawas, dan tujuh orang masuk Badan Pelaksana. Total pegawainya 150 orang.
Tugas BPKH, mengelola dana haji, termasuk menginvestasikannya, membayar seluruh kebutuhan haji, dan juga mensubsidi jamaah haji.
Subsidi
Perlu publik tahu, kebutuhan jamaah haji perorang itu sekitar Rp 70-an juta. Belum termasuk uang saku yang angkanya Rp 6 juta. Sementara jamaah haji setor hanya Rp 25 juta. Mau berangkat, nambah lagi sekitar Rp 10 juta. Total Rp 35 juta.
Jadi, kurang Rp 35 juta, plus uang saku Rp 6 juta. Dari mana ambil kekurangan ini? Dari hasil investasi dana haji.
Ada sekitar 5 juta calon jamaah haji reguler dalam daftar tunggu. Rata-rata 20 tahun masa tunggu. Jamaah ONH Plus ada sekitar 39 ribu. 7-10 tahun nunggu.
Menghitung dana haji, singkatnya, terkumpul dana Rp 150 triliun yang dikelola BPKH. Menurut Anggito, dana diinvestasikan di jalur aman. Di antaranya melalui sukuk.
Setelah masuk bank, di situ berlaku sistem perbankan. Mau dipinjam pihak ketiga untuk infrastruktur, untuk bangun pelabuhan, atau untuk ini dan itu, ya itu urusan bank. BPKH tidak punya kewenangan lagi di situ. Yang penting, dana aman dan dapat return (imbal hasil). Rata-rata imbal hasil 5 persen per tahun.
Jadi dari dana Rp 150 triliun itu setiap tahun rata-rata dapat imbal hasil Rp 8 triliun. Kalau 2 tahun, ya 16 triliun. Ini mah pelajaran tambah menambah di SD.
Berarti, kalau dua tahun batal haji, ada 16 triliun yang bisa di-save. Untuk apa? Untuk subsidi calon jamaah haji ke depan. Kalau dua tahun tidak berangkat, berarti subsidinya lebih gede dari biasanya dong? Ini baru cerdas! Yang begini penting ditanyain.
Berapa jadinya subsidi itu? Biar BPKH yang jelasin. Boleh jadi, tidak ada lagi setoran 10 juta bagi calon jamaah haji yang mau berangkat. Lumayan bukan? Boleh jadi juga uang sakunya nambah. Nah, ini perlu segera lebih transparan menghitung dana haji.
Risiko Penarikan Dana
Balik lagi, emang sekarang “betul-betul” gak bisa berangkat haji? Keputusannya begitu. Ini urusan Kemenag, Bung. Ada delapan alasan, kata Kemenag. Kalau kurang, silakan minta tambah. Kalau gak jelas, silakan dialog supaya lebih jelas. Kalau gak percaya, silakan kasih data yang Anda punya sebagai pembanding.
Hanya saja, supaya calon jamaah haji, atau masyarakat gak kaget, mestinya jangan mendadak pengumuman pembatalannya. Melalui media, jamaah perlu diajak secara intens untuk berdialog. Kasih data-data soal haji.
Dijelaskan risiko ketika berangkat sekarang. Baik risiko penyebaran covid, maupun risiko keterbatasan waktu persiapan. Karena memang, pemerintah Saudi juga belum membuat keputusan. Waktunya juga makin mepet. Dalam konteks ini, semua pihak harus jujur. Pakai data yang akurat.
Soal komunikasi, pemerintah memang harus mau evaluasi. Selama ini, suka bikin kaget, karena sering mendadak, simpang siur, dan kadang cepat berubah. Ini mesti diperbaiki. Supaya bisa meminimalisir terjadinya kegaduhan, hoak, dll.
Akibat pembatalan yang terkesan mendadak, hilang kepercayaan sebagian masyarakat terkait haji. Ada yang takut uangnya raib. Infonya, sudah ada 0,8 jamaah yang menarik uangnya. 0,8 persen dari 5,39 juta itu 50 ribu lebih calon haji. Kalau ini benar, bahaya!
Penarikan dana haji ini merugikan banyak pihak. Pertama, merugikan buat calon jamaah haji sendiri. Kalau mau daftar lagi, ngantre lagi. Panjang dan lama. Iya kalau uangnya masih ada. Masa pandemi seperti ini, uang bisa wassalam. Gak jadi berangkat haji deh.
Kedua, rugi juga buat jamaah yang lain. Kalau uang ditarik, akumulasi dana 150 triliun yang dikelola BPKH akan berkurang. Kalau berkurang uangnya, hasii investasinya juga berkurang. Ini bisa jadi ancaman buat subsidi calon jamaah haji yang mau berangkat.
Ketiga, rugi juga buat BPKH. Dana operasional 5 persen dari hasil investasi juga akan berkurang.
Intinya, narik dana haji, itu kerugian berjamaah. Karena itu, pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenag, akan jauh lebih bijak kalau gak pernah lagi menyinggung secara vulgar soal penarikan dana haji. ”Silakan kalau mau ditarik, tiga hari bisa selesai diurus.” Ini namanya nantangin Bisa bahaya!
Ah, kepanjangan. Sudah dulu ya…
Jakarta, 7 Juni 2021
Editor Sugeng Purwanto