Krisis Etika, Bencana bagi Republik oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Seperti kapal, Republik ini bisa kandas. Kalau nakhoda menerabas karang dan menuju air surut. Hari-hari ini kita menyaksikan bahwa krisis memburuk akibat malpraktik administrasi publik. Krisis yang membuat limpahan sumber daya makin surut yang bisa mengandaskan kapal kehilangan haluan ini.
Potensi malpraktik administrasi publik terbesar adalah Pemilu. Instrumen rekrutmen pejabat publik di cabang legislatif dan eksekutif ini berbiaya besar tapi tak sebanding hasilnya.
Pemilu telah menjadi instrumen pemindahan bersih (net transfer) hak-hak politik publik pemilih pada elite partai politik.
Usai Pemilu, publik menjadi floating mass bak binatang ternak yang digiring ke kandang. Siap menjadi korban untuk hajatan tahun mendatang. Hak-hak politik publik dimulai dan berakhir di bilik-bilik suara Pemilu. Karena ongkos politik yang makin mahal, para pejabat publik itu menggantungkan dukungan logistiknya pada para taipan pemilik modal. Akibatnya, Pemilu yang sering disebut pesta demokrasi itu justru alat untuk memilukan publik.
Sementara anggaran Pemilu 2019 sekitar Rp 25T, DPR telah menyetujui anggaran sebesar Rp 3,6 T untuk KPU dan Bawaslu untuk 2021 ini.
Malpraktik berikutnya, hukum dan peraturan dibuat oleh pejabat publik hasil Pemilu dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan para elite partai politik dan korporasi. Hampir semua sumberdaya kini dikuasai oleh keduanya.
Kemudian ada Tes Wawasan Kebangsaan yang dipelesetkan menjadi Tes Wawasan Kebangsatan. Dilakukan oleh pimpinan KPK untuk menyingkirkan karyawan yang tak disukai.
Lalu pembebasan pajak pertambahan nilai di sektor otomotif. Ironisnya ada rencana pemajakan pada transaksi sembako, serta peniadaan subsidi listrik.
Pemburu Gelar
Malpraktik administrasi publik mutakhir adalah penganugerahan jabatan akademik guru besar bagi tokoh elite partai politik yang judul naskah orasinya tidak lazim oleh sebuah kampus unik di Sentul, Bogor.
Krisis konstitusional sejak amandemen UUD1945 telah membuka jalan bagi krisis yang makin serius: krisis etika.
Malpraktik administrasi publik itu merupakan wujud dari krisis etika yang melanda para penyelenggara Republik ini. Para law makers di parlemen dan aparat penegak hukum mestinya menerapkan standar etika tertinggi melampaui standar etika guru, dokter atau insinyur.
Sekalipun bukan kasus pertama, namun kasus di kampus Sentul ini adalah gejala puncak dari krisis etika ini: sebuah lembaga pendidikan yang diasuh oleh tentara justru memanfaatkan Permenikbud No. 40/2012 tentang penganugerahan jabatan akademik guru besar tidak tetap untuk seorang politikus senior sekaligus acting Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Etika adalah air laut di mana kapal hukum berlayar menuju pelabuhan tujuan. Jika air laut itu mengering, maka kapal itu akan kandas, dan miring. Misinya membawa penumpang ke tujuan tidak tercapai.
Sesungguhnya saat para elite yang dengan berani mengatakan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila, maka krisis etika itu dimulai justru di tingkat tertinggi. Berbeda dengan Imperium Romawi, negeri yang didirikan Bung Karno dkk ini adalah Republik yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa.
Ulasan soal ini dari perspektif Islam telah diuraikan panjang lebar dan mendalam oleh Agus Salim sebagai salah satu konseptor UUD 1945.
Fenomena politikus gila gelar dan jabatan yang memburu gelar perlu diwaspadai. Hal ini sekaligus indikasi telah terjadi krisis etika yang melanda perguruan tinggi yang mengemban amanah mulia untuk setia pada kebenaran.
Para guru besar di kampus-kampus sebaiknya mulai merenungkan kembali apakah mereka masih setia pada kebenaran, dan universitas masih memiliki previlege untuk memberi gelar akademik. Sebelum Republik ini kandas. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya 10/6/2021
Editor Sugeng Purwanto