PWMU.CO – Haedar Nashir menegaskan, seluruh warga bangsa Indonesia agar jangan sampai terpecah soal Palestina.
Hal itu menurutnya, karena Palestina sebagai bangsa atau entitas, tidak hadir kemarin sore, tapi sudah menjadi bagian dari bangsa dunia yang perjalanannya sangat panjang.
Haedar menyampaikannya pada Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema Solusi Komperehensif Masalah Israel-Palestina, Jumat (11/06/2021)
Haedar Nashir menuturkan, Palestina telah memiliki eksistensi panjang dalam perjalananan sejarah selalu menjadi bangsa taklukan.
“Dan bagi kita kaum muslimin, Palestina bukan hanya bangsa atau jazirah. Tapi punya sejarah teologis yang kental dalam konteks historis. Karena di sana ada Masjid al-Aqsha, yang bagi umat islam, itu melekat sebagai kota suci, bahkan diabadikan dalam Surat al-Isra’,” tegasnya.
Maka menurut Haedar, tidak salah kalau kaum muslimin ada jiwa dan rasa keterkaitan dengan jazirah Palestina, karena sebagai kota suci yang punya sejarah dalam isra dan miraj nabi.
“Tahun 1634, di era Khalifah Umar bin Khattab itu kan Palestina menjadi wilayah islam. Ini merupakan sejarah teologis yang tidak lepas dari kaum muslim di seluruh dunia,” ujarnya.
Dia mengatakan, baru setelah perang dunia pertama, lebih-lebih perang dunia kedua, ketika Inggris menjajah kawasan jazirah Arab, lalu terjadi pemecahan.
“Kemudian lahirlah problem baru, di mana disitu didirikan negara Israel. Kemudian di situlah konflik Arab tidak hanya terjadi di wilayah Palestina, tapi bahkan di seluruh Jazirah Arab,” terangnya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menuturkan, sesungguhnya terjadinya konflik peperangan itu bermula dari penjajahan, yang menimbulkan berbagai eksploitasi dan terpecah belahnya bangsa Palestina.
“Di situlah, maka secara politik dan ideologi, sebenarnya bangsa Indonesia termasuk warga Muhammadiyah melakukan pemihakan terhadap Palestina,” tandas Haedar.
Di samping memang ada konteks historis dan sejarah al-Aqsha, secara khusus dan mendalam, menurutnya, hal itu juga sebagai bentuk pemihakan terhadap rasa yang terusik.
“Bukan hanya terusik, tapi juga terampas. Sebagai bangsa, Palestina belum menjadi bangsa yang bebas, lalu Israel hadir dan yang terjadi bukan perdamaian, tapi justru Israel dengan rakusnya merampas dan memperluas wilayah,” tegasnya.
Menurut Haedar, itulah gunanya substansi dari permasalahan Palestina ini. Apalagi, Indonesia sebagai bangsa yang cukup lama dijajah juga pernah merasakan penderitaan yang sangat luar biasa dan bahkan kita rasakan bekasnya sampai sekarang.
“Nah, dalam konteks kenapa para pendiri bangsa sampai memproklamasikan, mendeklarasikan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, bahkan termasuk dalam tujuan nasional bahwa kita ikut dalam ketertiban dunia dan perdamaian abadi, ini sebenarnya karena pendiri bangsa kita menghayati betul, betapa pahitnya kita dijajah,” terang Haedar.
Menurut Haedar, dijajah itu sangat menderita. Bahkan dalam konteks penjajah, saat Indonesia sudah bebas pun penjajah tidak cukup berhenti. Bahkan penderitaan itu ditambah-tambah, termasuk Muhammadiyah ikut serta dalam perang gerilya yang korbannya luar biasa.
“Artinya, penjajah itu memang rakus dan tidak pernah mau berhenti. Bahkan saat kita merdeka pun, kita masih dihalangi di PBB untuk kita diakui,” katanya.
“Dan saat kita merdeka, yang mau mengakui itu negara-negara arab. Mesir, Yaman, Syiria, Saudi Arabia (termasuk Palestina). Kalau dari kawasan lain ada India dan Australia. Sedangkan yang lain-lain ya masih menghalangi,” imbuh Haedar.
Oleh sebab itu, Haedar Nashir, sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah merasa perlu untuk menyampaikan pesan moral, bahwa Palestina ini merupakan problem kemanusiaan global selain urusan politik.
“Karena itu, warga bangsa Indonesia jangan terpecah soal Palestina, termasuk bagi mereka yang mulai lupa sejarah dengan adanya simpati pada Israel, apalagi kalau itu menjangkiti elit,” ujarnya.
Haedar mengajak agar seluruh warga bangsa belajar kembali sejarah dengan membaca spirit para pendiri bangsa.
“Bolehlah terbawa arus suasana politik primordial, tapi jangan sampai menjadi pro Israel dan anti Palestina. Karena kita juga pernah merasakan bagaimana ketika kita begitu menderita panjang akibat penjajahan,” ucapnya.
“Nah bagaimana nasib Palestina? Wallahu a’lam. Itu tarik menarik dunia masih cukup tinggi. Walaupun Palestina sudah diakui 138 negara sebagai negara merdeka, tapi kan yang kunci-kuncinya masih belum mengakui,” imbuh Haedar. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni