PWMU.CO– PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sembako menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Rencana pajak itu tertuang dalam RUU Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
RUU ini telah masuk dalam program Prolegnas 2021 DPR. Di dalamnya menyebut barang kebutuhan pokok hingga jasa pendidikan dihapus dari kategori barang tidak kena pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/6/2021) menyayangkan dokumen RUU KUP itu bocor ke masyarakat padahal belum dibacakan dalam rapat paripurna.
Akibatnya, menurut dia, keseluruhan arsitektur perpajakan keluar sepotong-sepotong yang kemudian di blow up seolah-olah tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal hari ini fokus pemerintah pemulihan ekonomi.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dalam twitternya @pratow menulis rinci tentang rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk juga pengenaan ke sembako.
”Saya perlu berbagi konteks yang lebih luas agar kita dapat mendudukkan semua wacana secara jernih,” tulis dia, Rabu (9/6/2021).
Ini tulisan lengkap Yustinus Prastowo
1. Saya bisa memaklumi reaksi spontan publik yang marah, kaget, kecewa, atau bingung. Eh, kenaikan tarif PPN berarti naiknya harga-harga dong. Apalagi ini pemulihan ekonomi. Pemerintah sendiri struggle dengan APBN yang bekerja keras, mosok mau bunuh diri? Begitu kira-kira yang saya tangkap.
2. Pemerintah, diwakili Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi, justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing
3. Maka pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR, untuk bersama-sama memikirkan: jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak.
4. Nggak usah jauh-jauh. Joe Biden sesaat setelah dilantik berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 21% ke 28%. Inggris juga berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 19% menjadi 23%. Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak untuk sustainabilitas.
5. Di sisi PPN, negara-negara juga memikirkan penataan ulang sistem PPN, antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. Ada 15 negara yang menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4%. Kita sendiri masih 10%.
6. Sekilas info. Ini kinerja perpajakan kita. Meski 5 tahun terakhir secara nominal naik, tapi belum optimal untuk membiayai banyak target belanja publik agar kita transform lebih cepat. Terlebih 2020, karena pandemi penerimaan pajak tergerus cukup dalam. Kita justru kasih insentif.
7. Lugasnya, karena pandemi ini pengeluaran meningkat cukup tajam. Di sisi lain penerimaan tersendat. Mumpung pandemi dan pajak diarahkan sebagai stimulus, kita paralel pikirkan desain dan konsolidasi kebijakan yg menjamin sustainabilitas di masa mendatang. Pasca pandemi tentu saja.
8. Kita lakukan kajian dan benchmarking. Belajar dari pengalaman dan tren negara lain. Yang gagal ditinggal, yang baik dipetik. Ini ringkasan datanya: 24 negara tarif PPN-nya di atas 20%, 104 negara 11-20%, selebihnya beragam 10% ke bawah. Lalu Indonesia bagaimana melihat ini?
9. Di antara negara2 tsb, ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multi tarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan adagium lama “semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil”, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil.
10. Dibanding negara2 ASEAN, kinerja perpajakan kita masih di bawah Thailand dan Singapura. Juga di bawah Afsel dan Argentina. Tentu saja ini tantangan: peluang dan ruang masih besar, maka perlu dipikirkan ulang mulai sekarang. Ini pertimbangan pentingnya.
11. Kenapa sih penerimaan PPN kita blm optimal? Ini salah satu jawabannya: terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Indonesia negara dg pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak.
12. Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengkonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!
13. Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai: yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yg tdk dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya?
14. Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mestinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu mensubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong.
15. Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya?Kembali ke awal, nggak ada yg tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!
16. Maka sekali lagi, ini saat yg tepat merancang dan memikirkan. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1%. Beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan.
17. Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dg PPN (misal 1% atau 5%), dengan bansos/subsidi yang diterima rumah tangga.
18. Mohon terus dikritik, diberi masukan, dan dikawal. Ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dengan DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap untuk masa depan yg lebih baik. Terima kasih, salam. (*)
Editor Sugeng Purwanto