PWMU.CO – Analisa tentang Sombong yang Menyesatkan Masa Depan. Analisa Widyaningrum MPsi Psikolog menyampakan itu saat memberi motivasi pendidikan di Wisuda XXI SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb), Selasa (22/6/21).
Konsep growth mindset baru ia pelajari saat di akhir bangku SMA, tepatnya dari pengalaman gagal lulus tes masuk kampus impiannya: UGM. Analisa mengatakan, growth mindset berarti tidak menilai kegagalan sebagai akhir dari segalanya, tapi mau mencoba lagi.
Pemikiran ini kebalikan dari pemikiran fixed mindset atau “sombong” yang pernah menyesatkannya ketika belajar di SMP. Analisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajak para peserta belajar dari pengalaman belajarnya selama ini.
Partner belajar Wardah Inspiring Teacher di Auckland 2019 itu berpendapat, pendidikan adalah eskalator untuk mencapai masa depan yang bisa mengubah kehidupan kita.
Indonesia 2045 Negara Kaya
Analisa—panggilan akrab founder Sehati Menginspirasi itu—mengungkap kesepakatan dalam sebuah konferensi internasional di awal pandemi. Saat itu dia hadir bersama Kemenpora, pelajar Indonesia, dan anak-anak muda di negara itu.
“Semua sepakat, setiap bangsa punya masa depan, dan Indonesia… Tau nggak sih dek, 2045 kita akan diramalkan menjadi negara kaya?” kata dia.
Negara yang sangat kaya, menurut pembicara di Istanbul Youth Summit di Turki tahun 2020 itu, tidak mungkin jika tidak ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Melihat efek pandemi yang luar biasa di bidang ekonomi, Analisa bertanya, “Apa bisa Indonesia jadi negara kaya di tahun 2045?”
Dia menjelaskan, 25 tahun ke depan, Indonesia mendapat “bonus” demografi. “Sekarang generasi yang paling banyak populasinya adalah milenial. Kita lagi dapat bonus dimana usia yang paling banyak di Indonesia itu jauh lebih banyak usia produktif yang menghasilkan pendapatan,” jelasnya.
Tapi, pada tahun 2045, akan terjadi penurunan: aging population. “Kita akan lebih banyak usia yang nonproduktif, jadi untuk mengejar kekayaan Indonesia di masa 2045, nggak akan tercapai atau sulit tercapai kalau nggak 25 tahun ini kita perjuangkan!” tuturnya.
Estafet Mimpi untuk Generasi Pemegang 2045
Analisa bertanya, “Di mana peran adik-adik yang sekarang baru lulus dari SD ini?”
“Sepuluh tahun lagi, anda akan memasuki usia di mana anda sudah meraih masa depan. Dan 10 tahun lagi merupakan momen 2045, misi Indonesia 2045 ada di tangan anda,” ungkapnya.
Pertanyaan lain muncul, “Bagaimana estafet mimpi-mimpi dari generasi sebelumnya ini bisa tercapai?”
Dia menyatakan punya keyakinan kuat terkait alasannya sebagai psikolog memilih aktif di media sosial, seperti Youtube. “Karena saya tau banget nih, anak-anak yang lahir di generasi Z dan Alfa kalau dibawa ke ruang psikolog biasanya sudah takut duluan,” ujarnya.
Tapi, lanjutnya, kalau diminta membuka Youtube, mereka langsung mau dan merasa dekat dengan psikolognya.
Jadikan Diri sebagai Nakhoda
Pada saat pandemi ini, Analisa menyatakan para wisudawan menghadapi tantangan berbeda. “Memang pandemi ini tidak mudah, kita semua lelah. Sekolah dari rumah, banyak yang merasa bosan,” ujarnya berempati.
Bahkan dalam penelitian tahun 2020, lanjutnya, banyak orangtua mengalami parental burnout. Dia menyadari semua sedang mengalami stres berkepanjangan, sampai akhirnya lelah atau mengalami pandemic fatigue. Ini akibat ketidakpastian kapan pandemi berakhir.
Meski demikian, dia meyakinkan, “Kita bisa survive (bertahan)!”
Psikolog klinis lulusan UGM itu mengarahkan wisudawan agar menempatkan diri sebagai nakhoda. “Seperti Anda adalah seorang nakhoda. Adik nahkoda di atas kapal masing-masing,” tuturnya.
Nakhoda itu tidak tahu navigasi yang mengarahkan dia untuk berlayar. “Itu bukan dia yang mengendalikan, tapi Allah!” tegasnya.
Pada saat mau berlayar menyeberangi pulau, lanjutnya, tiba-tiba angin datang dari barat. Padahal dia mau lewat sana. Mercusuar memberikan sinyal. Meski dia memohon agar angin itu tidak lewat jalur yang dilewatinya, angin itu tetap akan datang. Demikian Analisa menerangkannya.
Tapi, imbuhnya, nakhoda akan tetap sampai dengan catatan dia tau tujuannya ke mana. Sebab, dia punya navigasi kuat yang dia pahami, yakini, dan bisa menyesuaikan setir kapalnya.
Analisa kemudian menekankan kepada wisudawan, bukan berarti ketika mereka tidak bisa membuat sekolah daring ini selesai, mereka bisa menyalahkan pandemi. “Itu namanya nakhoda menyalahkan angin!” ujarnya.
“We can’t control the wind (kita tidak bisa mengendalikan angin), kita hanya bisa menyesuaikan setir kita,” tuturnya.
Maka, Analisa menyarankan agar wisudawan membuat tujuan dan menjadi nakhoda yang punya navigasi.
“Sombong” yang Menyesatkan Masa Depan
Analisa pun menceritakan kilas balik perjalanan belajarnya selama ini, dengan latar belakang ayahnya sebagai karyawan BUMN dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Usai lulus SD, Analisa kecil punya mimpi ingin lulus sekolah setinggi mungkin. Dia menceritakannya dengan mata berkaca-kaca.
Menjadi lulusan sekolah dasar yang mampu menembus SMP favorit di kota kelahirannya, Jogja, dan termasuk peringkat atas, membuatnya ‘sombong’. “Waktu SMP saya jadi malas belajar, karena merasa sudah pintar,” ceritanya.
Dia juga terlalu asik—dalam hal positif selain belajar—berorganisasi, jadi penyiar radio, dan atlet basket. “Sampai waktu ujian nasional, saya malah ikut kompetisi basket, di mana saya nggak belajar waktu itu,” ujarnya.
Akibatnya, Analisa lulus SMP dengan peringkat 256 dari sekitar 400 siswa. Padahal ia awalnya masuk dengan peringkat 10. “(Sekolah) di SMP yang saya pengin sudah tercapai, agak sombong dan asik dengan kegiatan lain, (jadi) masuk ke SMA yang jauh dari keinginan saya,” kisahnya.
Justru saat itu, sebagai nahkoda, Analisa mengaku sadar navigasinya agak tersesat. Dia pun mengingatkan, “Masuk SMP bukan akhir segalanya, melainkan awal menentukan masa depan!”
Mau Jadi Apa? Banyak Baca dan Eksplorasi!
Di SMA, Analisa mulai mencari tau akan kuliah di mana. Saat itu dia mengatakan pilihannya masih berubah-ubah. Jadi menurutnya wajar jika wisudawan yang masih lulus SD itu belum menentukan tujuan yang pasti dan realistis.
“Tenang aja, berdasarkan teori yang saya pelajari pada saat kuliah, adik-adik kalau masih 12 tahun ke bawah, kalau ditanya mau jadi apa agak tidak realistis,” terangnya.
Misal, seperti anaknya yang menginjak usia tujuh tahun. Saat ditanya mau jadi apa, anaknya menjawab ingin jadi Elon Musk.
Dia menambahkan, saat lulus SD—berusia13 tahun—dan ditanya mau jadi apa, jawabannya masih berubah-ubah dan muncul ketidakpercayaan dalam diri. “Ah nggak ah, nggak mungkin, aku kan nggak pinter,” ujarnya mencontohkan.
Nanti, imbuhnya, ketika berusia 19 tahun baru mulai realistis. Meski menjadi tidak percaya diri lagi. Untuk itu, Analisa menyarankan agar wisudawan banyak membaca dan mengeksplorasi, sehingga tau mau menjadi apa nantinya.
Fixed Vs Growth Mindset dan Milestone
Meski di SMP sempat sombong, di SMA dia kembali berupaya tidak sombong. Sombong yang dia maksud berarti fixed mindset. “Bukan sombong secara terang-terangan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Analisa menjelaskan bentuk sikap sombong, “Punya pemikiran bahwa merasa sudah bisa, jadi setiap ada challenge (tantangan) kita hindari, jadi kita nggak mau belajar lebih.”
Lalu ketika gagal tes masuk UGM, Analisa menerapkan growth mindset. Dia mengikuti bimbingan belajar di dua tempat usai pulang sekolah. “Alhamdulillah keterima di (Universitas) Gajah Mada, di Fakultas Psikologi yang jadi keinginan saya,” ucapnya.
Dia kira mimpinya sudah menjadi kenyataan, tapi ternyata itu baru permulaan lagi. Katanya, ada mimpi lagi yang dia buat: milestone baru.
Analisa menyarankan kepada para wisudawan untuk menentukan milestone yang diinginkan dalam hidup. “Mau jadi apa sih? Walau pada perjalanannya mengalami kegagalan, tapi akhirnya tau navigasinya mau ke mana,” jelas dia. (*)
Analisa tentang Sombong yang Menyesatkan Masa Depan: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni