Imam Besar di mata Jaksa Penuntut oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Beberapa hari lalu merespon pledoi Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam kasus RS Ummi Bogor, dalam repliknya Jaksa Penuntut Umum sempat menyinggung, dengan nada meremehkan atau menghina, gelar Imam Besar yang disematkan masyarakat pada HRS.
JPU menyebut, gelar Imam Besar itu isapan jempol belaka. HRS dalam dupliknya mengatakan, gelar yang pertama kali disematkan padanya oleh ulama Nanggroe Aceh Darussalam itu sebenarnya berlebihan. Itu tanda cinta mereka padanya saja setelah FPI menjadi LSM pertama yang segera turun tangan dalam bencana tsunami di NAD.
Saya tidak tahu apakah singgungan oleh jaksa itu disengaja, direncanakan, secara tertulis atau tidak. Namun sikap JPU ini sebuah sikap yang tidak profesional karena keluar dari pokok tuduhannya mengenai kasus di RS Ummi Bogor yang disangkakan ke HRS.
Pernyataan “Imam Besar adalah isapan jempol” adalah tuduhan baru atas HRS. Padahal perkara resminya menunggu putusan di PN Jakarta Timur. Atas tuduhan baru ini, masyarakat pecinta HRS dari berbagai daerah, ormas, dan kelas sosial akan membuktikan benar tidaknya dengan memeriahkan PN Jaktim hari Kamis ini.
JPU rupanya tidak menyadari, selaku wakil pemerintah, jabatan jaksa diembannya sesungguhnya adalah pelayan. Upayanya melindungi negara, tidak boleh menzalimi rakyat. Semua pejabat publik dan ASN digaji oleh negara untuk melayani rakyat pemilih dan pembayar pajak.
Dengan upaya meremehkan HRS ini, JPU tidak saja tidak tahu diri. Sikap meremehkan itu berasal dari akhlak pejabat yang buruk. Ini sebuah korupsi akhlak. Benar relevan gagasan revolusi akhlak yang diusung oleh HRS.
Tuduhan Imam Besar Isapan Jempol oleh JPU ini merupakan bagian dari korupsi akhlak untuk melemahkan dan mematahkan agenda pemberantasan korupsi yang diemban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tuduhan JPU pada HRS perlu dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pelemahan KPK. Sesungguhnya, Revolusi Akhlaq HRS memberi basis moral bagi KPK. Oleh JPU ini, basis moral KPK ini digerogoti dengan rakus sekali.
Namun isapan jempol yang lain telah terjadi pekan lalu. Juga di Bogor. Pekan lalu itu telah dilakukan pemberian jabatan akademik tertinggi ( Honoris Causa ) kehormatan pada seorang politikus senior oleh sebuah perguruan tinggi berkampus di Sentul, Bogor.
Oleh sebagian masyarakat yang kurang terdidik, jabatan akademik profesor itu dipikir adalah sebuah gelar akademik. Saya tidak tahu kapasitas akademiknya, namun JPU kasus HRS ini rupanya sedang mengalihkan tuduhan jabatan isapan jempol itu dari Sentul ke Jakarta Timur.
Imam Besar bagi Dr Habib Rizieq Shihab adalah jabatan, bukan gelar. Seperti profesor mengguncang jagad akademik, jabatan Imam Besar lebih mengguncang jagad politik. Isapan jempol JPU bisa jadi peluit guncangan itu.
Jatingaleh, Semarang, 24/6/2021
Editor Sugeng Purwanto