Menulis identik dengan kegiatan berpikir. Sehingga, setiap karya tulis, bisa dibilang, pasti lahir dari pemikiran cerdas. Kecuali memang tulisan sampah dan fitnah yang cenderung awur-awuran.
Selain itu, penulis yang baik biasanya juga pendengar dan pembaca yang baik. Sebab inspirasi utama menulis adalah dari mendengar dan membaca. Adapun, soal berbicara, memang ada penulis yang kurang terampil berbicara. Namun, kebanyakan penulis yang bagus, biasanya juga mampu berbicara secara bagus. Minimal yang disampaikan itu runtut dan sistematis.
(Baca juga: Memanfaatkan Sosmed dengan Cerdas dan Bijaksana)
Apa sebenarnya yang hendak saya sampaikan ini? Tiada lain adalah mari kita menjalani hidup ini secara cerdas. Berislam juga harus dengan ilmu. Dan jalan ke arah itu sudah jelas, yaitu membaca–syukur-syukur dapat dilanjutkan dengan menulis.
Membaca dan menulis ini sudah lama menjadi sunah yang diabaikan. Padahal, perintah Islam sudah jelas. Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Membaca itu gerbang ilmu. Dan menulis adalah pengikat ilmu.
Kalau mau jujur, sebab utama pertikaian dan perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya di kalangan orang Islam ini adalah minimnya tradisi membaca dan menulis. Yang berbahaya dari menurunnya minat membaca adalah meningkatnya gairah berkomentar.
(Baca: Mewaspadai Kehadiran Para Pendengki)
Adapun bagaimana kedahsyatan menulis, mari kita simak ungkapan pembaru Islam Sayyid Quthb (1906-1966): “Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Tapi satu tulisan mampu menembus ribuan, bahkan jutaan kepala.”
Itulah kenapa mukjizat Nabi Muhammad bukan tongkat, dibakar tidak mempan, bisa menghidupkan orang mati, mampu meluluhkan besi, dan semacamnya. Nabi agung yang memungkasi para nabi sebelumnya tidak diberikan mukjizat berupa kedigdayaan fiskal dan kesaktian material, melainkan Al-Qur’an. Ia adalah kitab bacaan yang mengungguli segalanya. Yang mengabadi sepanjang sejarah karena mampu meletupkan api kemajuan bagi umat Islam hingga meraih peradaban cemerlang. Semua dari inspirasi bacaan dan pengamatan terhadap Al-Qur’an.
Aneka ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan yang dahsyat itu pasti lahir dari bacaan. Dan yang dibaca adalah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Kalau tidak muncul tulisan, apa gerangan yang dibaca? Andai tidak diturunkan Al-Qur’an, dari mana kiranya pencerahan dan peradaban cemerlang ini kita dapatkan dan rasakan?
Akhir kata, mari segera kita tingkatkan keterampilan orang Islam secara keseluruhan. Tidak hanya berhenti sekadar pada keterampilan berbicara dan mendengar, namun harus kita lanjutkan menjadi terampil membaca dan menulis. Dengan dua keterampilan itulah, insya Allah, tradisi berpikir akan tumbuh dan terkikislah budaya merasa paling benar dan paling pintar sendiri, sembari gemar menyalah-nyalahkan orang lain.
Kita ingat nasihat Imam Al-Ghazali: “Saya tidak cemas dengan orang yang terus berpikir sekalipun ia sesat. Karena ia akan kembali kepada kebenaran. Tetapi saya cemas dengan orang yang tidak pernah berpikir sekalipun dalam posisi mendapatkan petunjuk. Karena ia akan menjadi bagai daun kering ditiup angin.” (*)