Sang Pangeran dan Euro 2020 oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Sang Pangeran adalah sebuah traktat politik yang disusun oleh teoretikus politik Italia paling terkenal Niccolo Machavelli pada 1513. Buku ini terbit dalam bahasa Italia Il Principe, kemudian diterjemahkan menjadi The Prince atau Sang Pangeran.
Buku ini adalah sebuah studi klasik oleh Machiavelli tentang kekuasaan, bagaimana cara memperolehnya, memperluas, dan menggunakannya dengan hasil yang maksimal.
Melalui Sang Pangeran, Machiavelli juga mengajarkan bagaimana mempertahankan kekuasaan selama mungkin dan bagaimana menghancurkan lawan-lawan politik dengan berbagai cara.
Buku ini sebenarnya tidak mewakili seluruh karya-karya Machiavelli selama masa hidupnya. Tetapi Sang Pangeran menjadi karya yang paling diingat, karena ditulis dengan lugas. Buku ini menjadi semacam buku petunjuk praktis cara memperoleh kemenangan dalam politik dengan merebut kekuasaan dan mempertahankannya dengan berbagai cara.
Salah satu kutipan paling dikenal dari Machiavelli adalah the end justifies the mean, yang dengan agak longgar diterjemahkan menjadi ’tujuan menghalalkan cara’. Dari situ muncul istilah Machiavellis yang pejoratif, untuk menggambarkan semua tindakan politik yang pragmatis dan tidak bermoral, sebagai upaya mendapatkan kemenangan dan kekuasaan.
Pandangan-pandangan yang diuraikan oleh Machiavelli dalam Sang Pangeran mungkin kedengarannya ekstrem. Namun jika ditilik dari seluruh kehidupannya terlihat bahwa selama hidup di Frenze situasi politik sangat kacau penuh konflik berkepanjangan.
Dari hasil kontemplasi dan perenungannya, Machiavelli memberi nasihat kepada Sang Pangeran mengenai cara-cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan stabilitas di wilayah kekuasaan Sang Pangeran.
Teori-teori Sang Pangeran sering kali dipuja sebagai metode-metode cerdik dan licik, yang dapat digunakan oleh penguasa yang sedang mencari kekuasaan untuk memperoleh tahta, atau oleh seorang penguasa untuk mengukuhkan pemerintahannya.
Salah satu diktum terkenal dari Sang Pangeran adalah bahwa seorang penguasa lebih baik ditakuti daripada disegani atau dihormati. Ini menyiratkan bahwa pendekatan kekerasan dan kekuasaan lebih diutamakan daripada pendekatan persuasif. Lebih baik membuat musuh takut daripada membuat mereka hormat.
Machiavelli sangat menganjurkan agar Sang Pangeran tidak dibenci. Kalau harus memilih apakah Sang Pangeran harus ditakuti atau dicintai, ia menyatakan, ”Seorang Pangeran yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan apa yang ia kuasai, dan bukan berdasarkan apa yang orang lain kuasai. Sang Pangeran harus berusaha agar ia tidak dibenci. Yang terbaik adalah ditakuti dan dicintai. Tapi kalau seseorang tidak dapat dua-duanya, maka lebih baik ditakuti daripada dicintai.”
Puncak Tujuan
Pandangan Sang Pangeran ini sekarang diuji di arena Euro 2020. Akankah timnas Italia menjadi tim yang dicintai ataukah ditakuti. Apakah mereka ingin bermain cantik dan dipuja-puji oleh penggemar sepak bola di seluruh dunia tapi tidak menjadi juara, atau ditakuti dan malah dicaci maki, tapi menjadi juara.
Tentu opsi kedua yang dipilih. Berapa banyak penggemar sepak bola dunia yang tidak menyukai gaya permainan Italia? Tentu sangat banyak. Italia tidak peduli. Mereka boleh saja tidak menyukai Italia, tapi yang penting mereka takut kepada Italia. Kalau pada akhirnya Italia menjadi juara, maka itulah the ultimate goal, puncak cita-cita yang paripurna.
Filosofi Sang Pangeran diterapkan dengan sangat tepat di Italia. Sangat penting untuk mendapatkan kemenangan, dan sangat penting mempertahankannya dengan berbagai cara. Dan yang lebih penting adalah, menjadi juara dengan menerapkan berbagai cara yang memungkinkan.
Gaya sepak bola Italia adalah gaya sepak bola Sang Pangeran. Terkesan pragmatis dan tidak memberi penekanan kepada keindahan. Kemenangan adalah tujuan utama, dan itu dilakukan dengan menerapkan sistem pertahanan yang sangat ketat.
Belum diketahui apakah Enzo Bearzort membaca dan mendapat ilham dari Sang Pangeran, ketika pada 1970-an menemukan sistem permainan Catenaccio yang membawa Italia menjadi juara dunia pada 1982.
Sistem itu disebut sebagai sistem gerendel, karena pintu pertahanan ditutup dengan ketat dan kemudian digembok dengan gerendel, sehingga tidak memungkinkan untuk bisa dibongkar oleh seorang striker paling jempolan pun.
Ketika Beazort menjadi pelatih timnas Italia, sistem gerendel menjadi andalan yang dahsyat. Tim-tim hebat yang paling produktif pun dibuat tidak berdaya ketika ingin mendobrak pertahanan Italia yang dikawal oleh para tukang jagal Claudio Gentile, yang mendapat julukan sebagai ’si perusak seni sepak bola’.
Bintang Argentina, Diego Maradona, yang merupakan pemain berteknik tinggi, dibuat mati kutu oleh Gentile. Sebelum pertandingan semifinal antara Argentina melawan Italia digelar, Italia sadar betul mereka perlu mencari cara untuk menghentikan Maradona. Karena jika Maradona dibiarkan sesukanya, Maradona akan senang hati mengobrak-abrik pertahanan Italia.
Lalu pelatih Enzo Bearzot, menginstruksikan Gentile untuk menjaga ketat Maradona sepanjang pertandingan. Gentile pun mempelajari pergerakan Maradona lewat rekaman video. Ketika pertandingan, Gentile menjaga Maradona dengan sangat agresif. Ia tak segan menebas Maradona setiap bintang Argentina itu menguasai bola.
Tercatat 23 pelanggaran dilakukan Gentile pada Maradona saat itu. Tapi dari pelanggaran sebanyak itu, ia hanya mendapatkan satu kartu kuning. Italia kemudian menjadi juara di akhir kompetisi. Bintang-bintang hebat seperti Zico dari Brasil dan Pierre Littbarski dari Jerman, tak mampu menembus gerendel Italia yang dijaga Gentile.
Sistem gerendel masih banyak dipakai sekarang. Meski disebut sebagai sepak bola negatif, tapi masih ada saja pelatih yang setia menerapkannya. Jose Mourinho adalah salah satu di antaranya. Cara bermainnya yang defensif dijuluki sebagai pertahanan parkir bus, atau mungkin parkir truk, atau parkir kereta api.
Mourinho tidak peduli, yang penting dia bisa membawa Chelsea juara, membawa Inter Milan treble winner, dan membawa Real Madrid menjadi raja Eropa mengungguli musuh bebuyutan Barcelona.
Sepak Bola Positif
Pasukan Italia di bawah Roberto Mancini di palagan Euro 2020 sekarang berbeda dengan pasukan Italia gaya lama. Mancini dikenal sebagai pelatih yang suka menerapkan sepak bola positif yang menyerang. Ia membuktikannya di Italia. Ia membuktikannya di Inggris bersama Manchester City, dan sekarang ia akan membuktikannya di Euro 2020.
Italia di bawah Mancini kokoh dalam bertahan. Unsur Catenaccio masih kental dalam permainan duet Bonucci dan Chelini yang menjadi andalah utama Mancini di benteng pertahanan. Duet ini bisa disebut pewaris sejati tradisi Catenaccio Italia. Di bawah kawalan duet ini gawang Italia tetap perawan sampai babak penyisihan tuntas.
Di garis depan, Italia mempunyai penyerang-penyerang oportunis yang siap membunuh setiap kali ada peluang sekecil apapun. Ciro Imobile dan Manuel Locatelli seperti pembunuh berdarah dingin yang siap mengeksekusi setiap peluang. Keduanya masuk daftar top skor, dan punya peluang untuk menjadi pencetak gol terbanyak di gelaran ini.
Locatelli mencuri perhatian tim-tim besar Eropa. Ia bisa menjadi Paolo Rossi baru yang menjadi pembunuh berwajah bayi ketika Italia menjadi juara dunia. Rossi dijuluki sebagai Bambino d’Oro, bayi emas. Ia bisa membunuh sambil tersenyum. Ia mencetak gol sambil tertawa.
Mengawali babak 16 besar, Italia diunggulkan untuk bisa melewati hadangan Austria. Bahkan, Italia diunggulkan untuk bisa melaju sampai jauh.
Kali ini Sang Pangeran, sangat mungkin, bisa menjadi penguasa Eropa. (*)
Editor Sugeng Purwanto