Guru Besar dan Meme BEM UI oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO– Ketika saya kirimkan berita ke seorang guru besar soal BEM UI memberi Jokowi gelar King of Lip Service, dia menjawab bahwa UI sudah kenyang dengan permainan politik.
Jika guru besar harus mengambil sikap politik, itu tidak sesuai dengan prinsip UI sebagai Rumah Pengetahuan. Adalah tugas utama universitas untuk menciptakan pengetahuan. Namun perlu diingat, bahwa kampus tanpa mahasiswa hanya gudang megah dan dosen-dosennya satpam berdasi.
Siapakah yang bertanggung jawab dalam penciptaan pengetahuan ini? Bagaimana peran mahasiswa?
Sebagai seseorang yang pernah dilatih untuk berpikir hingga strata tertinggi, dan melatih para sarjana menjadi magister dan doktor, saya merasakan kebenaran sinyalemen Ben Anderson bahwa banyak kampus di Indonesia selama paling tidak lima tahun terakhir telah dilanda penyakit profesionalisi.
Saya hari ini menyebutnya profesionalisis sebagai penyakit. Para guru besar karena asyik dikejar publikasi, jika tidak ter-scopus mampus, mereka makin terasing dengan realitas kehidupan di luar kampus.
Omongan dan diksi mereka makin sulit dipahami publik. Jelas kehidupan di dalam kampus lebih aman dan tentram, sementara kehidupan di luarnya penuh dinamika dan gejolak.
Dalam proses knowledge creation ini, para ilmuwan sangat tergantung data. Dari data itu mereka mengolahnya, mencari hubungan-hubungan yang paling mungkin antara satu data dengan data lainnya. Satu atau beberapa variabel dengan variable lainnya. Alat itu disebut statistika.
Dengan kehadiran internet dan medsos, berkembang pula sains data. Ada big data, data mining, sampai pemanfaatan kecerdasan buatan dalam pengolahan data. Jika 1954 Darrell Huff menulis how to lie with statistics, kemampuan sains data yang diterapkan melalui internet dan medsos saat ini mencapai taraf yang problematik: menggunakan data untuk melakukan disinformasi, memanipulasi kenyataan dan pengendalian perilaku massa.
Perubahan sosial besar-besaran di Timur Tengah yang dikenal sebagai Arab Spring merupakan eksperimen sosial besar-besaran di zaman internet dan medsos.
Ketersediaan data besar yang disediakan oleh internet dan medsos telah mendorong sains sosial ke arah rekayasa sosial hampir secara real time. Sebelumya, ilmuwan sosial harus menggunakan satu generasi atau lebih dalam kurun waktu bertahun-tahun untuk menguji kebenaran teori-teori mereka.
Perkembangan ilmu ekonomi sebagai mahkota ilmu sosial telah diwarnai oleh pendekatan matematika bahkan fisika. Ekonometri lebih dekat pada ilmu pasti daripada ilmu sosial. Demikian pula sosiometri berkembang dengan memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan.
Dalam hal dinamika politik penting saat ini, seperti biasa, data penting tidak lagi disediakan oleh ilmuwan. Mereka hanya menonton. Hampir selalu demikian. Apalagi guru besar. Mereka menunggu data untuk diolah lalu berteori. Data-data itu disediakan oleh mahasiswa. Kali ini persediaan data itu diorkestrasikan oleh BEM UI.
Dengan harap-harap cemas, mungkin para guru besar sedang menguji satu hipotesis: jika bualan sudah melebihi takaran maka rakyat mual, sebal dan rezimpun tanggal.
Saya tidak tahu apakah para guru besar itu sadar bahwa teorinya dibangun di atas data yang disediakan mahasiswa dengan keringat, darah dan airmata.
Jatingaleh, Semarang, 30/6/2021
Editor Sugeng Purwanto