Politik Kesehatan di Masa Pandemi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Bung Karno pernah mengkhawatirkan bangsa ini bakal jadi kuli di antara bangsa-bangsa. Kekhawatirannya ini sekarang makin nyata. Pada saat masyarakat dijadikan jongos politik, ternyata hampir semua elite politik hasil pemilu sejak amandemen UUD 1945 adalah politikus yang tega menjerumuskan bangsa ini menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain.
Pemilu yang makin liberal kapitalistik telah menyebabkan ongkos politik yang mahal. Para politikus harus berselingkuh dengan para taipan untuk maju dalam kontestasi politik. Etika politik musnah saat hukum dan tafsirnya dibuat tidak lagi bagi kepentingan publik pemilih, tapi untuk kepentingan elite partai politik, para cukong dan investor asing.
Penjongosan politik penting namun terselubung disebut dengan sombong sebagai profesionalisasi. Ini adalah sebuah proses di mana seseorang melihat sebuah peristiwa dari sebuah sudut sempit disiplin ilmu tertentu.
Peristiwa itu dipahami secara reduksionis tidak terkait berkelindan dengan disiplin lain, dan bukan sebagai konsekuensi dari sebuah pengambilan keputusan manusia di hirarki yang lebih tinggi.
Keputusan tertinggi hampir selalu keputusan politik. Para guru, dokter, insinyur dan kaum profesional lain terjebak pada kebanggaan profesional semu, padahal mereka dijadikan jongos politik.
Mengaitkan sebuah peristiwa dengan politik dituding berteori konspirasi. Para profesional menolak penjelasan politik. Sarjana pendidikan tidak menyadari adanya politik pendidikan. Dokter menolak adanya politik kesehatan dalam manajemen Covid-19. Menjadi profesional artinya menjadi a-politik.
Kasus mutakhir adalah soal Covid-19. Para dokter bersikeras bahwa virus ini ada dan bisa berbahaya jika menimpa orang dengan penyakit degeneratif bawaan comorbid. Namun menyatakan kasus covid sebagai pandemi adalah sebuah politik kesehatan.
Menerima protokol WHO berarti menyerahkan sebagian kedaulatan kita kepada lembaga internasional dengan kepentingan yang bisa bertentangan dengan kepentingan nasional.
Vaksinasi dengan Sinovac untuk mengatasi pandemi ini adalah keputusan politik. Ini bisa dipahami akibat ketergantungan kita pada China, dan pendekatan layanan kesehatan yang kuratif, sehingga menjadikan publik sebagai konsumen vaksin dan obat.
Ini persis yang menimpa para petani: kesehatan padi mereka tergantung pada pestisida, dan pupuk kimia. Seperti pertanian bisa dilakukan secara organik, ada politik kesehatan yang lain: pendekatan preventif dan promotif yang berbasis masyarakat.
Masyarakat diposisikan sebagai produsen kesehatan dengan gaya hidup sehat, mengkonsumsi diet organik, dan aktif secara fisik dan mental.
Kita tidak memiliki politik kesehatan, dan politik pendidikan sehingga kita tidak pernah mandiri di dua sektor strategis ini. Hingga perguruan tinggi, kita dipaksa untuk mengikuti norma dan standar asing yang tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai masyarakat Pancasila yang hidup di sebuah kepulauan seluas Eropa.
Di sektor manufaktur, kita gagal memiliki mobil nasional, dijajah oleh industri otomotif asing, lalu dijerumuskan pada single mode trap jalan yang tidak efisien, polutif dan mematikan sekaligus menelantarkan sektor kemaritiman kita.
Pemerintah telah memutuskan untuk membeli vaksin asing, padahal ada peluang untuk mengembangkan vaksin secara mandiri. Pandemisasi ini gagal dimanfaatkan untuk mulai membangun kemandirian kesehatan. Alasan pemerintah selalu ada : darurat.
Kita biarkan WHO merampas kesempatan untuk memilih strategi yang lebih cocok bagi negeri yang sedang memanen bonus demografi ini. Beda sekali dengan Eropa yang ageing dan AS atau China yang benua dan beriklim dan berbudaya beda.
Budaya dianggap sama sekali tidak relevan dalam manajemen risiko Covid-19. Ongkos ekonomi, dan sosial akibat penghambaan pada WHO mengancam bonus demografi itu menjadi bom demografi: defisit kompetensi akibat penutupan sekolah dan kampus, dan defisit mental saat masjid ditutup. Yang surplus bagi para kambing politik cuma utang dan korupsi.
Editor Sugeng Purwanto